Headline Majalah PERANTAU

Pencarian Lokal

Custom Search

Titipan Link Teman

Saturday, December 6, 2008

Spiritualitas

Religius Fransiskan Dalam Gelanggang Pertaruhan Uang
(Jimmy Hendrik Rance Tnomat, OFM)
Masih segar dalam pita ingatan saya ketika Magister novis (sekitar enam tahun lalu) mengatakan kepada kami bahwa “bila ketiga nasehat Injil (kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan) tidak diinkorporasikan dalam diri orang sehingga menjadi bagian yang integral dalam hidupnya, maka bisa dipastikan bahwa orang yang bersangkutan akan membiarkan hidupnya mengalir begitu saja....” Beliau mengatakan hal ini ketika ia menjelaskan mengenai makna penghayatan ketiga nasehat Injil bagi para religius. “.....bahkan dalam karya pun orang tersebut akan lebih memilih tempat basah, dan kerapkali buat pusing pimpinan” lanjutnya.
Salah satu penggalan yang menarik buat saya dari ungkapan di atas adalah tempat basah. Waktu itu, yang kecantol dalam benak dan pikiran saya soal sebutan tempat basah adalah lahan atau tanah yang cukup subur. Maklum, saya berasal dari keluarga petani yang sehari-hari mengakrabi (saudari) tanah ini, sehingga ketika mendengar sebutan itu saya langsung berasosiasi mengenai tanah yang subur. Ternyata dalam perjalanan waktu saya baru menyadari bahwa sebutan itu punya konotasinya. Sebutan itu, sekurang-kurangnya di kalangan kaum berjubah, dikonotasikan dengan suatu tempat karya yang mendatangkan banyak kemudahan, kemapanan, kenyamanan, fasilitas, dan termasuk di dalamnya soal uang. Artinya, tempat basah yang dimaksud itu tidak lain adalah tempat karya di mana segala kebutuhan -bagi kaum berjubah- terpenuhi. Apalagi di zaman (globalisasi) ini, salah satu tolok-ukur dari segala hal yang membawa kemudahan (memenuhi kebutuhan) itu adalah uang.

Zaman di mana Uang Menjadi Sang Maharaja Baru
Sampai pada pemahaman di atas, saya coba berenung lebih jauh soal situasi kapitalisme ekonomi global yang tengah ‘menebar pesonanya’ saat ini. Tentu hal ini tak bisa kita pisahkan dari apa yang disebut sebagai globalisasi. Berbicara soal globalisasi, ada paradoks yang kita jumpai. Di satu pihak, globalisasi memberi andil dalam proses perkembangan kehidupan manusia. Dengan adanya proses globalisasi banyak hal yang bisa kita lakukan dan peroleh dengan cara yang sangat mudah. Misalnya soal informasi, pengetaahuan, dan teknologi. Di lain pihak, revolusi informatika, pengtahuan, dan teknologi, yang ditampakkan oleh era globalisasi ini, telah melahirkan ketergantungan sendiri dalam diri manusia. Kemuajuan teknologi di bidang informasi membuat orang betah berlama-lama di depan TV untuk nonton sinetron kesayangannya, atau berlama-lama di depan internet. Hal ini menggantikan kebiasaan ngerumpi yang sebenarnya lebih mendekatkan ikatan emosional antar individu. Saya sendiri melihat bahwa ruang hubungan sosial antar manusia akhirnya bersifat impersonal. Tak berlebihan kalau saya mengatakan di sini bahwa globalisasi ternyata membawa ekses-ekses negatif yang menghancurkan kehidupan dan mengancam integritas dunia (manusia). Selain kemajuan dalam bidang yang saya sebutkan tadi, globalisasi juga mendapat formatnya yang paling jelas dalam kapitalisme ekonomi. Kapitalisme ekonomi global yang kemudian mendapat mantel barunya dalam neo-liberalisme telah mengubah dunia menjadi sebuah arena pertaruhan uang. Ia telah merekonstruksi dunia ini menjadi dunia yang dipenuhi tangisan kematian. Tidak ada lagi kehidupan, yang ada hanya uang dan uang.
Jim Hoagland mengatakan bahwa “Ciri yang menentukan dari era politik post-modern sekarang ini ialah dominasi uang yang mutlak sebagai prinsip yang mengatur hubungan manusia dan hubungan internasional. Waktu yang masih ada tampaknya tidak lebih dari beberapa hari saja” (David C. Korten, The Post-Corporate World (edisi terj.) Obor: Jakarta, 2002). Pernyataan Jim ini memang secara tepat merepresentasikan situasi dunia kita saat ini. Ciri yang paling nampak dalam dunia saat ini adalah dominasi uang atas kehidupan manusia. Segala sesuatu bahkan manusia sendiri yang menciptakan nilai tukar uang dinilai dengan seberapa besar nilai tukarnya terhadap uang. Uang menjadi sang maharaja baru yang menguasai segala sumber kehidupan.

Uang Bukan Tujuan Hidup
Bicara soal uang tidak gampang. Sensitif! Pengelolaannya tidak gampang. Untuk itu, kalau saya tidak keliru, perlu orang yang secara khusus belajar tentang pengelolaan atau management keuangan, dlsb. Di setiap tarekat, ada orang yang secara khusus menggeluti hal ini. Pengelolaan keuangan ini, hemat saya, penting tetapi bukan tujuan hidup. Kita lihat misalnya dalam tulisan-tulisan Paulus yang memberi perhatian pada kolekte untuk Yerusalem (lih., Gal 2:10; 1 Kor 16:1-4; 2 Kor 8-0; Rm 15:25-32; juga Kis 24:17). Tulisan-tulisan Paulus ini memperlihatkan bahwa pengelolaan uang mendapat perhatian serius. Memang, saya sendiri sadari bahwa maksud tulisan-tulisan itu selalu dalam konteks yang lebih luas. Dalam 2 Kor 8:4 dan 9:13 Paulus menyebut kolekte itu koinonia artinya persekutuan (bdk, Rm 15:27). Juga, di sini kelihatan bahwa pengelolaan uang penting, tetapi bukan tujuan hidup.
Di samping itu, tak bisa kita elakkan bahwa uang itu sangat berguna. Kata Pengkhotbah: “untuk tertawa orang menghidangkan makanan, anggur meriangkan hidup, dan uang memungkinkan semuanya itu” (10:19). Ini berarti bahwa uang adalah sarana yang berfaedah. Tetapi, hemat saya, kalau uang menjadi tujuan maka segala-galanya akan kacau-balau. Sebab “siapa mencintai uang tidak akan puas, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya” (Pkh 5:9). 1 Timotius malah berani berkata bahwa “akar segala kejahatan ialah cinta uang” (1 Tim 6:10). Sebab “tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Mat 6:24). Mungkin saja karena keserakahan, uang yang sebenarnya menjadi sarana dibuat menjadi tujuan.

Religius Dalam Gelanggang Pertaruhan Uang
Dunia berubah dan membawa manusia pada sebuah gelanggang pertaruhan uang. Siapa yang tidak bertahan atau tidak kuat, bisa dipastikan bahwa ia akan tergelincir keluar dari gelanggang ini. Akibatnya, segala hal dapat dihalalkan atau direlatifkan agar orang bisa tetap eksis dalam gelanggang ini. Yang kuat kian kuat, sementara yang lemah makin terperosok dalam ketidak-berdayaannya. Ketimpangan terjadi di sana-sini. Keadilan pun makin disangsikan terjadi dalam gelanggang ini.
Nuraniku bertanya apakah kaum religius, secara khusus kita yang mengaku diri pengikut setia Il Poverello, mesti ikut dalam pertaruhan itu? Kalau toh ikut sebagai salah satu peserta, strategi apa yang menjadi perisai kita? Apakah strateginya itu adalah mencari tempat basah? Kalau demikian, bagaimana dengan tempat kering? Apakah kita masih ‘berbangga’ sebagai ksatria Kristus, bentara raja agung, yang ‘berbendera’ spirit hidup St. Fransiskus Assisi dan ‘bertamengkan’ option for the poor bila orientasi hidup kita adalah mencari keamanan, kenyamanan, kemapanan, keuntungan sebesar-besarnya, dlsb dalam gelanggang ini?Pikiran liar yang juga mengusikku adalah di mana letak keadilan, solidaritas, dlsb? Apakah selama ini kita sudah adil, misalnya terhadap mereka (karyawan/ti, guru, dll) yang selama ini dengan setia bersama kita membangun dan mengembangkan karya (misalnya sekolah, rumah sakit, panti, dll) kita? Apakah kita sudah memberi kepada mereka apa yang menjadi hak mereka? Atau kita sebaliknya bertindak seperti pemilik kebun anggur (bdk Mat 20:15) yang dengan bebasnya menggunakan hak miliknya menurut kehendaknya sendiri?

Saudara Kelana

Apa Yang Perlu?
Pernah semboyan “Indonesianisasi” laku keras di masyarakat kita. Ada rasa bangga dalam suara orang yang mengucapkannya. Mungkin karena nuansa yang terkandung dalam semboyan itu ialah Indonesia menjadi pusat dan patokan untuk semua yang datang dari luar. Apapun yang berasal dari negeri lain, kalau mau diterima dalam lingkup yang disebut Indonesia, harus bisa disesuaikan dengan kepribadian bangsa kita. Penulisan sejarah pun harus Indonesiasentris, ditulis dan dibaca menurut perspektif dan kepentingan bangsa. Lain halnya dengan sekarang. Orang lebih gencar dan bangga bicara tentang “globalisasi”. Batas-batas negara menjadi kabur dan masyarakat dunia menjadi bagaikan satu kampung sejagad, “global village”. Mana yang menjadi pusat dan patokan? Bukan lagi satu negara atau bangsa seperti Indonesia tetapi sesuatu yang lain, satu kekuatan yang sulit diidentifikasi, tangan yang tidak terlihat. Di bidang ekonomi, globalisasi berarti “pasar bebas”. Satu negara menjual dagangannya ke negara lain dengan harga yang ditentukan oleh pasar itu sendiri. Dalam suasana pasar bebas itu yang menjadi pusat yang menentukan pastilah negara yang adikuasa dan perusahaan multinasional yang lincah berdagang.
Globalisasi dan pasar bebas membawa dampak dalam ukuran keperluan kita. Ada banyak hal yang sebelumnya tidak masuk dalam daftar kebutuhan kita, kini mungkin kita anggap amat perlu hanya karena paksaan yang halus tetapi amat kuat dari tangan yang tidak terlihat itu.Telepon, misalnya.Ketika hanya ada telepon kabel, alat ini sudah amat otoriter. Kalau dia berdering, orang pasti bergegas angkat gagang telepon, biarpun harus meninggalkan piring nasinya diserbu lalat. Apalagi sekarang dengan telepon selular. HP menjadi tiran yang mahakuasa.Dia ditaruh di saku, ditempelkan di pinggang atau dikalungkan di leher agar jangan sampai dia memanggil dan tidak disahuti. Awak kabin pesawat udara berulang mohon agar HP dinonaktifkan. Alasannya amat serius: mengganggu komunikasi pilot dengan risiko bencana mati untuk kita semua. Meskipun begitu tetap ada yang tidak peduli. Kuasa si tiran itu memang luar biasa kuatnya. Dalam gereja pun, di tengah perayaan liturgi, tidak jarang si tiran itu memberi perintah, dan dituruti. Ternyata dia lebih berkuasa daripada Tuhan, karena sudah masuk dalam daftar barang yang mutlak perlu untuk manusia yang mengglobal itu. Selera makan kita pun turut terkena. Ayam goreng Sri Ningsih tidak lagi mencukupi. Kita juga merasa perlu ke Kentucky Fried Chicken. Bukan karena lebih enak dan lebih bergizi, tetapi lebih bergengsi. Dan banyak hal lain kita rasa perlu hanya karena mau gengsi itu.Kemiskinan di kampung-kampung bertambah.Sebenarnya, kata pengamat ekonomi, bukan pertama-tama karena pendapatan berkurang, tetapi karena apa yang dianggap perlu itu bertambah.Kurang uang, maka hanya mau “raskin” yang penuh kutu. Tetapi ada uang untuk pulsa, tv, DVD dan elektronik lainnya yang menuntut pengeluaran terus-menerus.
Masalahnya di situ. Apa sebenarnya yang perlu untuk kita? Patokan mana yang bisa dipakai untuk menentukan yang ini perlu dan yang itu tidak perlu? Rasul Paulus memberikan pegangan yang amat sederhana:”Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah itu”( 1 Tim 6:8). Pasti kita katakan itu tidak realistis karena dunia kita sudah berbeda jauh dengan dunianya Paulus. Fransiskus lebih radikal lagi. Menurut dia, yang perlu untuk kita hanya satu, yaitu memiliki Roh Tuhan dan membuka diri kita untuk karyanya yang kudus (AngBul X,8).
Namun ia tetap realistis seperti Paulus. Juga bagi Fransiskus makanan dan pakaian tetap perlu. Tetapi berapa banyak? Pasti tidak perlu memiliki gudang beras dan toko pakaian. Ia “memegang” batas minimal. Makanan didapat sebagai upah kerja dari hari ke hari. Dan pakaian ditetapkan dengan jelas dalam Anggaran Dasar (AngBul II).Itu aturannya. Tetapi, kalau mau, aturan itu mudah sekali ditarik-ulur seperti karet. Pasalnya karena adanya klausul: “kalau perlu”. “Kalau perlu”, karena kebutuhan, Saudara-saudara boleh pakai sepatu meski sebenarnya dilarang. “Kalau perlu”, sesuai dengan keadaan tempat dan musim serta daerah dingin, para minister dan kustos boleh menerima apa yang dibutuhkan untuk keperluan mereka yang sakit dan untuk pakaian saudara lainnya. Jadi patokannya ialah “kalau perlu”. Bagi Fransiskus patokan sederhana itu mencukupi. Ia percaya bahwa setiap Saudara, dalam terang Roh Kudus, mampu mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan cara hidup yang dijanjikannya. Sayang, Fransiskus tidak menyadari bahwa kalau kita masuk supermarket dan melihat semua tawaran “pasar bebas” yang begitu menggiurkan, kita rasa semuanya perlu, dan uang keluar tanpa pertimbangan. Tapi bukan para saudagar dan “artis-artis” iklan yang salah. Kelemahan berada dalam diri kita sendiri. Kita seperti kolam yang bocor, kata Nabi Yeremia. Berapa banyak pun air dituangkan ke dalamnya, tidak pernah cukup. Karena itu, untuk menentukan apa yang perlu dan apa yang tidak perlu, jangan tanyakan pada kolam yang bocor itu, yang pasti menjawab semua perlu. Tanyakanlah pada “minister dan kustos”, kata Fransiskus. Atasan kitalah yang berwenang menentukan apa yang kita perlukan, sesuai dengan kehendak Tuhan. Itulah makna ketaatan religius pada atasan.

Fokus

MIMPI MEMBANGUN EKONOMI BERKEADILAN
DI TENGAH PUSARAN KAPITALISME PERTAMBANGAN GLOBAL
(Kristo Tara, ofm)
Ada suatu pemahaman baru yang tumbuh dalam beberapa tahun terakhir ini terkait dengan globalisasi. Banyak orang melihat globalisasi adalah jargon yang diusung oleh para pendukung neo-liberalisme dalam konteks ekonomi yang menelanjangi segala batasan negara demi hegemoni pasar bebas. Lewat jargon ini, para kapitalis mendorong negara untuk meretas segala ikatan nasionalisme dan melucuti identitas kebangsaan, mengobrak-abrik ketahanan nasional lantas meraup kekayaan sumber daya alam. Demikianlah, menurut Mansour Fakih (2001), dalam konteks ekonomi, globalisasi merupakan pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam sebuah sistem ekonomi global.
Joseph Stiglitz benar ketika ia mengatakan bahwa Indonesia adalah korban globalisasi. Penulis buku Making Globalization Work itu bertutur demikian: “Indonesia adalah korban globalisasi yang masih menghadapi tantangan berat berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran dan memacu pertumbuhan ekonomi” (Bisnis Indonesia, 15/08/2007). Korban globalisasi yang dimaksudkan peraih hadiah nobel ekonomi 2001 ini adalah kepatuhan Indonesia terhadap Konsensus Washington yang disodorkan lembaga keuangan dunia (IMF dan World Bank) lewat paket privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi pasar. Lantas Indonesia terjerumus dalam pusaran pasar bebas dunia sekaligus terjebak dalam kebijakan privatisasi koruptif.

Kapitalisme Pertambangan Global
Salah satu sumber ekonomi yang paling diminati para investor saat ini adalah sektor pertambangan. Menurut Price Waterhouse Coopers (PWC), pendapatan negara dari 12 industri tambang yang mereka survei sebesar Rp. 5.666.000.000.000. Pemerintah terpukau oleh angka tersebut, lantas dengan sekuat tenaga membuka lahan negara seluas-luasnya untuk industri pertambangan. Benarkah pertambangan mendongkrak pendapatan nasional dan mensejahterakan masyarakat Indonesia?
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di mana dan kapan saja, perusahaan pertambangan yang dikelola secara besar-besaran tidak akan menguntungkan negara pemilik apalagi masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Pendapatan negara dari sektor pertambangan ternyata tidak sebanding dengan daya rusaknya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebab, selain pengerukan sumber daya alam, seluruh tahapan dan proses industri pertambangan selalu menyisakan persoalan yang merugikan dan menambah penderitaan masyarakat dalam semua aspek. Konflik sosial horisontal-vertikal, hancur dan hilangnya sumber daya ekonomi dan budaya rakyat, serta kerusakan ekologi adalah biaya yang harus ditanggung rakyat.
Penghisapan sumber daya ekonomi berjalan beriringan dengan peminggiran kaum marginal yang tergusur dan tergerus secara sistematis dan legal. Angka kemiskinan meningkat, jumlah pengangguran prduktif terus bertambah. Sejalan dengan itu, kriminalitas dan konflik sosial tumbuh pesat. Lantas pelanggaran HAM menjadi kisah keseharian dalam pusaran impunitas yang langgeng. Sialnya pemerintah tidak terlalu ambil pusing dengan persoalan kerakyatan, tetapi sibuk menadah rezeki dari kran-kran koorporasi kapitalis. Kemiskinan dan ketidakadilan akibat kapitalisme ekonomi di sektor pertambangan adalah fakta, tetapi kesejahteraan ekonomi masyarakat di balik tambang adalah mitos yang diciptakan para kapitalis dan birokrat yang korup.

Mungkinkah Menciptakan Ekonomi yang Berkeadilan?
Di dalam cengkraman tangan kapitalisme ekonomi global yang begitu kuat, nampaknya sangat sulit untuk menciptakan ekonomi yang berkeadilan bagi semua. Kita mengharapkan lahirnya sistem ekonomi alternatif yang lebih memberi ruang bagi rakyat. Hanya saja gerakan-gerakan ekonomi alternatif sering kali mudah dipatahkan oleh tangan-tangan kapitalis. Lantas apa yang bisa kita lakukan?
Kekuatan kapitalis bisa dihadang lewat kritikan dan penolakan terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Kaum intelektual dan politisi pro rakyat harus terus-menerus didorong agar memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat. Penguatan civil sociaty harus terus dirawat agar tidak terjebak dalam permainan jahat para kapitalis.
Dalam level praksis, kekuatan kapitalisme pertambangan global bisa dilawan lewat proses advokasi masyarakat. Dalam konteks itu, kita boleh belajar dari kegiatan advokasi yang dilakukan oleh komisi JPIC OFM terhadap masyarakat Lembata terkait rencana pertambangan emas oleh PT. Merukh Enterprisess.
Setelah melakukan penelitian investigatif untuk mendapatkan sebuah laporan yang lebih komprehensif mengenai rencana pertambangan, maka JPIC OFM bersama JPIC SVD Ende dan lembaga masyarakat lokal memutuskan untuk mengambil langkah advokasi. Advokasi yang dimaksudkan adalah pendampingan terhadap masyarakat korban atau calon korban pertambangan agar menyadari posisi mereka sebagai warga negara yang bisa memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya dari klaim sepihak pengusaha dan pemerintah. Karena itu, proses advokasi ini pertama-tama adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat agar menyadari seluk-beluk pertambangan dengan segala dampak dan konsekuensinya.
Untuk mempertajam proses advokasi JPIC OFM, dalam kerja sama dengan masyarakat lokal dan lembaga lain, mengagendakan beberapa kegiatan. Pertama, sosialisasi laporan hasil penelitian JPIC OFM kepada masyarakat dan pemerintah. Tujuannya agar, baik masyarakat, pemerintah maupun perusahaan memahami persoalan rencana pertambangan secara lebih komprehensif. Ruang ini juga menjadi kesempatan untuk memberikan pendidikan yang mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat.
Kedua, kajian ekologis, sosial, ekonomi dan budaya. Tujuannya agar masyarakat, pemerintah, dan perusahaan memahami dampak pertambangan terhadap kehidupan ekonomi, sosial-budaya, dan alam ciptaan. Dengan pemahaman ini, diharapkan masyarakat bersama pemerintah dapat mengembangkan potensi ekonomi sektor lain yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan dalam meningkatkan PAD.
Ketiga, penguatan komunitas basis. Kegiatan ini dimaksukan untuk memberikan pendidikan dan pencerahan kepada masyarakat terkait dengan kesadaran akan pentingnya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak ulayat dan hak guna kawasan hunian; hak masyarakat adat untuk memiliki, memanfaatkan, dan mengelola kawasan sumber dayanya; penglolaan hutan harus terus-menerus mempertahankan dan memperbaiki kualitas sosial ekonomi masyarakat lokal sekaligus melestarikan keanekaragaman hayati; serta pemberdayaan masyarakat di bidang pertanian.
Keempat, membangun jaringan kerja. Untuk memperkuat barisan advokasi, selain JPIC SVD dan lembaga masyarakat lokal, JPIC OFM juga membangun jaringan kerja dengan sejumlah lembaga, baik nasional maupun internasional misalnya, Ecosoc Right, Walhi, Jatam, Kompas, Parhesia Institute, JPIC OFM Internasional, Mission Central, dan lembaga lain yang konsern terhadap persoalan masyarakat lokal.
Kelima, kegiatan advokatif lain yang dibuat JPIC OFM adalah menyelenggarakan diskusi panel di Jakarta dan Lembata dengan tema “Membongakar Mitos Kesejehtareaan Rakyat di Balik Usaha-Usaha Pertambangan”; melakukan lobby dengan berbagai pihak (nasional-internasional) yang peduli pada persoalan tambang dangan lingkungan; serta publikasi kertas posisi, film dokumenter, dan buku. Apakah dengan kegiatan seperti itu kita sedang bermimpi membangun sebuah sistem ekonomi yang berkeadilan bagi semua? Tentu saja ya! Atau setidaknya kita sedang membangun jaringan, menghimpun kekuatan untuk membangkitkan keadilan dan memungut kembali puing-puing kesejahteraan rakyat yang tergilas lemas oleh kekuatan ekonomi kapitalis. Akhirnya, apapun caranya, semua pengikut St. Fransiskus dipanggil untuk berpihak pada keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.

Fokus

EKONOMI YANG BERKEADILAN, MUNGKINKAH?
( Iron Rupa, OFM)

Kenaikan harga bahan bakar minyak menimbulkan dua fenomena dalam kehidupan bermasyarakat. Di satu sisi, bagi kelompok masyarakat miskin, kenaikan BBM adalah sebuah bencana bahkan kutukan bagi keberlangsungan kehidupan mereka. Kenaikan BBM mempunyai efek yang sangat luas kepada semakin melonjaknya harga-harga bahan kebutuhan pokok dan juga pelayanan jasa khususnya transportasi. Tidak mengherankan kalau gelombang demonstrasi yang mengekspresikan penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM semakin hari semakin dominan. Menanggapi sikap penolakan masyarakat, pemerintah mengambil langkah untuk memberikan bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan khusus mahasiswa (BKM) bagi mereka yang dikategorikan miskin serta berprestasi lewat kriteria pemerintah.
Di sisi lain, permintaan akan produk-produk kebutuhan non-primer khususnya motor dan mobil kelas 1.000 CC pada saat kenaikan harga BBM pun tetap menunjukkan grafik naik. Bagi mereka, golongan orang-orang yang kaya dan bermodal, fenomena kenaikan BBM seakan-akan tidak “mengganggu” kenyamanan kehidupan mereka. Hal ini menjadi semakin jelas kalau melihat semakin banyaknya mobil-mobil mewah yang berseliweran di jalanan. Bahkan bagi para pemilik modal dan kaum spekulan khususnya di bidang minyak, kenaikan harga BBM dilihat sebagai “berkah” untuk menarik keuntungan individu yang sebesar-besarnya.
Fenomena ini menunjukkan potret riil dari ekonomi yang tidak berkeadilan. Gelombang arus globalisasi yang senantiasa mengusung jargon kesejahteraan global ternyata menjadi janji yang mendekati sebuah utopia. Pertanyaannya adalah apakah ekonomi yang berkeadilan masih mungkin diharapkan dan diperjuangkan agar dapat terealisasi di muka bumi ini? Bagi kaum penganut sikap pesimisme, kemiskinan material sudah, sedang dan akan terus ada di dunia ini. Sehingga gagasan ekonomi yang berkeadilan adalah sebuah pengharapan semu. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa upaya menumbuhkan ekonomi yang berkeadilan menjadi tidak mungkin dan sulit. Sebaliknya, arus sejarah globalisasi ini bagi kita haruslah diarahkan pada upaya membawa alternatif-alternatif terbaik untuk membangun ekonomi yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat.

KARAKTER GLOBALISASI
Dalam seminar Dies Natalis XXXIV STF Driyarkara-Jakarta, 5 April 2003, Rm. B. Herry-Priyono SJ mengungkapkan bahwa di paroh dasawarsa 1970-an, sebuah tata ekonomi baru yang dinamakan globalisasi baru mulai bergerak. Filsafat ekonomi-politik globalisasi adalah neoliberalisme. Dalam sistem neoliberalisme, manusia pertama-tama dan terutama dilihat sebagai homo economicus (manusia ekonomi). Ini berarti bahwa cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi merupakan satu-satunya model yang mendasari semua tindakan dan relasi antarmanusia, baik itu persahabatan, keluarga, tata Negara maupun hubungan internasional.
Pemahaman bahwa hakekat manusia sebagai manusia ekonomi (homo economicus) semata memonopoli dan menggilas hakekat manusia yang multidimensi. Hakekat manusia sebagai homo socius (manusia sosial) dan manusia sebagai homo religious (manusia religius) direduksi kepada perhitungan untung rugi (utilitarianisme), manusia ekonomi (homo economicus).
Ada dua hal yang ingin dicapai dari gagasan manusia sebagai homo economicus semata. Pertama, relasi antar pribadi serta hubungan-hubungan kita yang lain mesti dipahami dengan memakai konsep dan tolok ukur ekonomi sistem pasar. Ini berarti, kita berkawan dan berelasi dengan sesama kita haruslah dituntun dengan kalkukasi profitnya khususnya ditakar dengan nominal uang / modal. Saya sebagai seorang religius dalam memilih kawan atau rekan kerja, saya akan menilai apakah rekan kerja saya cukup bermodal atau tidak, relasi ini membawa keuntungan buat saya atau tidak. Kalau ia dari kalangan mampu dan menguntungkan saya, maka saya bekerja dengan semangat. Tetapi jikalau rekan kerja kita dari kalangan ”kurang mampu”, kita cederung bersikap ogah-ogahan.
Kedua, prinsip ekonomi sistem pasar neoliberalisme ini digunakan sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi berbagai kebijakan pemerintah suatu Negara. Bukan saja dalam relasi antar individu, sistem mengeruk profit dan perolehan laba yang sebesar-besarnya menjadi ukuran kebijakan pemerintahan sebuah negara. Kebijakan pemerintah haruslah terarah pada penumpukan keuntungan dan modal. Alhasil, perhatian kepada kesejahteraan masyarakat menjadi ”sekunder”. Bahkan demi penumpukan modal dan keuntungan bagi ”pemerintah suatu negara”, pengorbanan dari masyarakat menjadi sebuah ”keharusan”.
Tampak bahwa neoliberalisme ekonomi secara perlahan mengingkari tujuan hidup bersama yakni “kesejahteraan bersama” (commonwealth). Tujuan yang diusung oleh neoliberalisme adalah akumulasi “kekayaan individual” (individual wealth). Di sinilah terjadi penggusuran ruang hidup sosial, hidup bersaudara dalam kebersamaan dengan urusan individual. Globalisasi dengan filsafat ekonominya neoliberalisme telah meningkatkan persaingan demi penumpukan kekayaan pribadi dengan akibat bahwa kesejahteraan rakyat atau bersama menjadi nomor kedua. Bukan prioritas. Kesejahteraan bersama menjadi efek semata bukan tujuan utama.

RELEVANSI HIDUP FRANSISKAN
Persoalan terlihat jelas berkaitan dengan kehidupan kita sebagai Fransiskan dari fenomena globalisasi adalah sebagai berikut. Pertama, penghargaan terhadap sesama saudara didasarkan pada penghasilan finansial, produktivitasnya dan kemampuan-kemampuannya yang diukur dengan kriteria ekonomi (uang). Kedua, adanya gap atau kesenjangan antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin yang makin lebar. Ketiga, kesejahteraan dan persaudaraan bukanlah menjadi dasar dan puncak hidup. Sebaliknya urusan individu, masing-masing pribadi semata adalah yang prioritas.
Ketiga persoalan ini menantang dan menguji penghayatan dan pengamalan spiritual Fransiskan kita. Pertama, kriteria homo economicus ini bertentangan dengan spirit Fransiskan kita. Spriritualitas kita sebagai fransiskan melihat manusia (bahkan seluruh alam ciptaan) adalah saudara dan saudari kita sebagai sesama ciptaan-Nya. Konsep manusia sebagai saudara mengindikasikan dua hal. Pertama, unsur sosial dan persaudaraan dalam solidaritas menjadi karakter manusia ala fransiskan. Bagi para pengikut St. Fransiskus, homo socius adalah hakekat manusia sebagai citra Allah yang selalu ingin berelasi dengan manusia ciptaan-Nya. Kedua, pengakuan manusia sebagai saudara membangun cara hidup fransiskan yang membawa damai, yang menerima orang lain apa adanya tanpa ada kriteria apapun. Bagi para fransiskan, sesama adalah saudara yang dianugerahkan Tuhan bagi kita. Oleh karena itu, seperti apa adanya saudara kita dihadapan Allah demikianlah saudara itu harus dihormati dan dihargai. Bukan dihormati dan dihargai karena jabatan, popularitas dan produktivitas serta profitnya bagi Ordo atau Tarekat.
Kedua, membangun sikap peduli dan solidaritas ala gerakan Fransiskan awal. Kepedulian, persaudaraan, dan solidaritas serta kegembiraan menjadi trade mark saudara-saudara awal pengikut St. Fransiskus Assisi. Berhadapan dengan konteks sosial yang membuat jurang antara kaum borjuis dan kaum proletariat, saudara-saudara fransiskan mempopulerkan cara hidup sederhana, cara hidup yang mau berbagi dengan mereka yang berkekurangan. Mereka tidak saja menganjurkan, tapi mereka melakukannya. Mereka menjual harta miliknya, membagikannya kepada orang yang membutuhkan dan mengikuti St. Fransiskus. Kita memang tidak perlu menjual seluruh harta benda ordo dan tarekat untuk membantu mereka yang membutuhkan, tapi kita bisa berbagi dari apa yang kita miliki khususnya perhatian dan cinta kita kepada orang-orang di sekitar kita khususnya yang membutuhkan.
Ketiga, mengokohkan dan memprioritaskan nilai-nilai kebersamaan dan hidup bersaudara. Berhadapan dengan tawaran hidup individualisme yang menawarkan keterbukaan untuk mencari kenikmatan dan kesenangan pribadi semata-mata, spiritualitas Fransiskan mengajak kita untuk memilih dan memprioritaskan kebutuhan bersama dalam komunitas, ordo atau tarekat. Kita diajak untuk tetap mengedepankan janji setia kita untuk menyerahkan seluruh hidup dalam ordo atau tarekat.

SEBUAH EKSPEKTASI: EKONOMI KERAKYATAN
Ekonomi yang berkeadilan selalu mungkin diwujudkan jika nilai-nilai penghargaan terhadap sesama manusia menjadi prioritas. Rakyat dilihat sebagai subjek ekonomi bukan sebagai objek ekslploitasi. Pada titik inilah, ekonomi rakyat perlu diprioritaskan dan diutamakan. Sebuah sistem ekonomi yang bersumber dan berpuncak pada kepentingan rakyat atau masyarakat banyak.
Sebagai seorang fransiskan, penghargaan kepada sesama sebagai saudara dan membangun sikap peduli dan bersolider dengan mereka yang membutuhkan serta proaktif membangun jaringan untuk memengaruhi kebijakan publik yang berorientasi pada kepentingan masyarakat menjadi pilar-pilar yang kokoh untuk membangun karakter ekonomi yang berkeadilan. Membangun dan mengembangkan ketiga aspek ini, hemat saya, kita sedang bangkit dan bergerak untuk terlibat dalam membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik dan lebih sejahtera.Oleh karaena itu dalam menjawab persoalan dan tantangan yang diberikan oleh globalisasi, para pengikut St. Fransiskus diajak untuk mampu memberi alternatif-alternatif cara hidup yang membuka kesadaran bersama bahwa upaya menciptakan keselamatan (baca: kesejahteraan) manusia bersama pada hakekatnya adalah juga menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama. Mulailah dari diri sendiri, keluarga, komunitas, ordo atau tarekat maka ekonomi yang berkeadilan mampu terwujud.

Wednesday, April 9, 2008

Rapat PERANTAU (Senin,7/4): Penuh Kebingungan...!!

Rapat redaksi PERANTAU (Senin,7/4) kali ini dihadiri oleh Pater Eddy Kristiyanto, OFM, Diakon Iron Rupa, OFM, Br. Titus Angga, OFM, Fr. Bovan, OFM, Fr. Theo Beta, OFM dan Fr. Maurits Rakadewa, OFM. Rapat kali ini dilangsungkan di Pastoran Hati Kudus Kramat Raya, Jakarta Pusat.
Dimulai dengan keluh kesah dari para saudara yang merasa tidak ada gunanya mengerjakan majalah PERANTAU lagi karena tidak adanya perhatian positif dari keluarga pengikut St. Fransiskus Assisi yang lain.
Belum ada kantor redaksi PERANTAU yang jelas, tidak adanya sarana dan prasarana seperti komputer, dan sebagainya, tidak adanya bantuan dari keluarga fransiskan yang lain (padahal katanya PERANTAU milik bersama...!), tidak ada anggaran biaya yang jelas, tidak ada struktur kepengurusan yang jelas, dan sebagainya. Intinya semua diselimuti ketidakjelasan. Muncul pertanyaan apakah PERANTAU masih dibutuhkan? Lebih luas lagi apakah SEKAFI masih dibutuhkan?
Sungguh mengecewakan! Para saudara muda dari OFM telah bersusah payah jatuh bangun untuk membangun PERANTAU tapi tidak ada tanggapan positif dan solusi yang terbaik.
Dalam rapat tersebut kami tertawa dalam ironi. Karena kami sedih dan merasa lucu dengan kesedihan itu sendiri.
Edisi Januari-Februari ini direncanakan akan terjadi perombakan wajah PERANTAU selain itu juga akan ada publikasi Weblog PERANTAU.
Dalam rapat tersebut kami akhirnya meninggalkan secarik pesan kepada Ketua PTF (pemimpin tarekat-tarekat fransiskan-fransiskanes) Pater Paskalis B. Syukur. Intinya meminta kejelasan PERANTAU.
Sdr/sdri terkasih, ini hanyalah sebagian dari kekurangan kita. Apakah kita masih mau bersatu sebagai sebuah keluarga atau hanya mau berjalan sendiri-sendiri saja? Silahkan menjawabnya sendiri.

Tuesday, March 4, 2008

Edisi Januari-Februari: Sambung Rasa

1. Perempuan dan Penderitaan
Saya ingin menanggapi tulisan Sr. Christina Sri Murti, FMM di majalah Perantau edisi Maret-April 2007 yang berjudul “Syukur Karena Aku Perempuan”. Dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa hakikat perempuan adalah diciptakan untuk memberikan hidup dan hidup untuk memberikan diri sebab dalam diri perempuan ada benih-benih kekuatan untuk menyerahkan diri secara total kepada seseorang, Allah ataupun suatu kehidupan tertentu. Oleh sebab itu, perempuan mempunyai kemampuan untuk akrab dan dekat dengan penderitaan. Dalam bagian berikutnya masih dijelaskan lagi mengenai hati perempuan yang peka dalam menghadapi kemalangan, kebahagiaan yang lahir dari penderitaan dan pemberian diri, pengkhianatan panggilan sebagai perempuan, serta mencintai secara tidak bijaksana.
Tulisan ini sangat menarik perhatian saya sebab di tengah maraknya perjuangan terhadap kesetaraan gender, ada orang yang mengingatkan kembali hakikat panggilan sebagai perempuan. Penderitaan dan hal-hal semacamnya sudah menyatu dengan kodrat hidup sebagai perempuan yang memang ditakdirkan hanya untuk menjadi rekan kerja manusia pertama.
Namun selain itu saya juga melihat bahwa ada cara pandang yang perlu diseimbangkan. Benar bahwa kelahiran perempuan membawa benih-benih kekuatan untuk menghadapi segala macam penderitaan dan ketidaknyamanan. Namun tidak boleh dilupakan bahwa perempuan juga mempunyai cara-cara tersendiri untuk menciptakan kebahagiaan. Dengan kata lain, kebahagiaan perempuan tidak selamanya lahir dari penyerahan diri yang total terhadap penderitaan yang mereka alami. Ketegaran perempuan dan kebijaksanaannya dalam menghadapi hidup tidak hanya dilahirkan oleh kemalangan dan penderitaan mereka, tetapi juga merupakan bakat yang gratis dari Tuhan. (Christa, Jogyakarta)

2. Frekuensi Penerbitan
Hai, saya baru satu kali membaca majalah Perantau. Menurut saya isinya cukup menarik untuk dibaca dan bermanfaat dalam memberikan informasi. Sayangnya saya belum tahu bagaimana caranya untuk mendapatkan Perantau. Apakah Perantau terbuka untuk umum, atau didistribusikan hanya untuk kalangan tertentu? Bagaimana frekuensi penerbitannya?
O.K, itu saja dari saya. Terima kasih atas perhatiannya, semoga Perantau semakin maju dan tetap eksis. Viva Perantau. (Perantaunisti, Jakarta)

Jawaban :
Hai juga. Terima kasih atas perhatian saudara kepada majalah kita ini. Cara mendapatkan Perantau cukup mudah, apalagi saudara tinggal di Jakarta. Saudara dapat menghubungi kami
via email dan memberitahukan alamat saudara. Setelah itu, kami akan segera mengirimkan terbitan Perantau terbaru ke alamat saudara, atau saudara dapat mengambilnya sendiri ke alamat kami.
Majalah Perantau adalah hasil kerjasama keluarga Fransiskan dan Fransiskanes yang berada di Indonesia. Jadi, sebenarnya terbitannya pun dikhususkan bagi para biarawan/biarawati Fransiskan tersebut. Namun tetap tidak menutup kemungkinan orang lain untuk membacanya mengingat spiritualitas Fransiskan yang cukup kaya juga merupakan kekayaan seluruh gereja. Terima kasih.

3. Salam persaudaraan
Selamat Natal dan Tahun Baru. Semoga Roh Natal dan Tahun Baru memberikan semangat baru kepada kita semua dan Tuhan senantiasa menyertai hidup kita. Saya sangat senang karena sudah dua tahun “berkenalan” dan “menjadi sahabat” Perantau. Saya sungguh merasakan bahwa persahabatan ini telah memberikan banyak hal positif terhadap perjalanan hidupku. Artikel, tulisan, opini dan tulisan lain yang termuat dalam Perantau membiaskan sinar-sinar inspiratif yang menggelitik saya untuk melakukan perubahan.
Namun, saya sangat sedih karena beberapa bulan terakhir sahabatku Perantau mulai menghilang dari kehidupanku. Mengapa? Kata itulah yang selalu mengusik saya dan Bolehkah redaksi bercerita untuk menguak kata ‘Mengapa’ itu?
Saya juga masih bingung karena ternyata Perantau memiliki saudara kandung yakni Gita Sang Surya dan Taufan. Bolehkah redaksi menjelaskan tentang perbedaan dan persamaan antara majalah-majalah tersebut?
Dengan penuh harap aku menanti jawaban redaksi. (Christian, Jakarta)

Jawaban :
Salam persaudaraan.
Saudara Christian, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya karena kerinduan saudara untuk mendapatkan Perantau baru dapat kami penuhi dalam edisi ini. Beberapa bulan terakhir memang sedang terjadi pergantian pengurus dan redaksi Perantau sehingga jadwal penerbitannya pun agak terganggu. Namun jangan khawatir karena redaksi sudah mengkombinasikan beberapa tema yang sempat tertunda menjadi satu edisi yang cukup tebal. Untuk hal tersebut Redaksi memohon maaf.
Mengenai kebingungan saudara tentang perbedaan Perantau dengan dua majalah lainnya, akan kami jelaskan di sini. Perbedaan utamanya adalah pokok yang dibicarakan dalam majalah tersebut. Pokok pembicaraan Perantau adalah mengenai spiritualitas Fransiskan, sehingga pembacanya pun sebagian besar dari kalangan biarawan/biarawati Fransiskan. Gita Sang Surya adalah majalah yang diterbitkan oleh lembaga
Justice, Peace and Integrity of Creation. Jadi isinya pun seputar hak asasi manusia, ekologi, keadilan dan semacamnya. Sedangkan Taufan adalah majalah intern Ordo Fratrum Minorum di provinsi Indonesia, sehingga isinya mencakup informasi ordo di seluruh Indonesia dan juga surat-surat, entah dari Minister Jendral maupun Minister Provinsi. Semoga kebingungan saudara sudah terjawab.

Terima kasih.

Edisi Januari-Februari: Refleksi

Semua Orang Ingin Sejahtera
(Titus Angga Restuaji, OFM)

Baru-baru ini saya pergi ke pasar Senen. Membandingkan suasana tempat tersebut saat ini dengan 5-4 tahun yang lalu memang ada yang berbeda. Keruwetan lalu lintas memang masih menjadi ‘ciri khas’ tempat tersebut, apalagi menjelang sore hari. Namun setidaknya keruwetan daerah pasar Senen, terutama sekitar jembatan layang, berkurang dengan ‘dipindahkan’nya para pedagang yang dulu sering mengganggu pemakai jalan karena lapak-lapak mereka yang ‘memakan’ badan jalan. Kolong jembatan yang biasanya menjadi rumah para pemulung dan tunawisma ditembok rapat sehingga penduduk Jakarta tidak perlu melihat pemandangan tak sedap. Namun, beberapa bagian dari tembok penutup kolong jembatan layang itu kini sudah dijebol. ‘Hasil jebolan’ tersebut menjadi seperti pintu dan jendela tempat orang dan udara keluar masuk.
Peristiwa tersebut secara spontan menyita perhatian saya. Tembok penutup kolong jembatan yang jebol tersebut menyampaikan sebuah pesan bagi wawasan saya: kemiskinan tidak bisa ditutupi dan setiap orang akan berusaha sekuatnya untuk mencapai kesejahteraan. Saya tidak tahu siapa dan apa tujuan orang-orang yang menjebol tembok itu. Namun, saya berandai-andai bahwa mereka yang menjebol tembok itu ingin tinggal di dalamnya.
Tembok yang menutupi kolong jembatan layang. Jika kita melihat sesuatu yang tertutup atau terbungkus, secara spontan kita ingin mengetahui apa yang ada di dalamnya; bertanya: “Apa yang terbungkus dan tertutup itu?” Apa yang ada di balik tembok penutup jembatan layang itu? Setahu saya sebelum ditutup dengan tembok tempat itu adalah tempat beristirahat dan bahkan mungkin menjadi rumah bagi para tunawisma, pengemis, pemulung beserta anak-anak mereka. Tempat itu kumuh karena banyak sampah hasil kerja para pemulung. Mungkin juga tempat itu berbau pesing dan apek karena sebagai rumah, tempat itu tidak menyediakan tempat khusus bagi penghuninya untuk kegiatan Mandi, Cuci dan Kakus (MCK). Pokoknya suasana tempat itu sangat kumuh dan tidak sedap dipandang.
Namun, penduduk Jakarta tidak perlu khawatir akan berlama-lama melihat gambar kemiskinan tersebut. Pemerintah kota sudah siap siaga dengan solusinya: “Ditembokin aja! Cepat dan efektif. Kan, langsung nggak kelihatan kekumuhan itu.” Bersamaan dengan itu inti persoalan kemiskinan pun ikut ‘ditembok’.
Tembok itu jebol! Hingga suatu saat kenyamanan itu terusik kembali: tembok yang menutup kolong jembatan itu ‘terjebol’. Ah, ternyata tembok itu tidak sekokoh kelihatannya. Bukan, bukan! Bukan ‘terjebol’ tetapi ‘dijebol’! Rupanya kekokohan tembok itu tidak dapat menahan kuatnya semangat para tunawisma untuk mempunyai rumah, untuk sejahtera. “Kesejahteraan itu seharusnya milik kami juga!” Teriak mereka kuat-kuat.
Saya yakin pelaku penjebolan tembok tersebut tak hendak menjebol tiang-tiang penopang jembatan layang. Karena jika memang benar dugaan saya bahwa mereka yang menjebol tembok tersebut bertujuan untuk tinggal di bawah jembatan layang itu, maka menjebol tiang penopang jembatan layang berarti membinasakan hidup mereka sendiri. Itu bukan tujuan mereka. Tujuan mereka adalah kesejahteraan hidup, bukan kematian. Maka dalam mencapai cita-cita kesejahteraan pun mereka pasti tak pernah berdoa: “Tuhan, semoga mereka yang kaya Kau jatuhkan dan jadi miskin, dan kami yang miskin Kau angkat jadi kaya.” Siapa tahu Tuhan membantu mereka menjadi sejahtera melalui tangan orang-orang yang punya. Yah, siapa tahu?
Memang tepat pertanyaan ini: Apakah jika mereka telah mempunyai ‘rumah’ di kolong jembatan itu mereka dapat dikatakan sudah sejahtera? Tentu saja tidak. Tapi, bagi mereka itu lebih baik dari pada tidak mempunyai tempat berteduh sama sekali. Walaupun tak punya harta berharga, mereka masih punya harapan bahwa anak-anak mereka dapat bertahan hidup, bahkan tumbuh sehat jika mampu, agar nasib keluarga dapat terangkat. Walaupun setiap hari mereka harus menerima kenyataan bahwa ‘kesejahteraan’ itu nyatanya hanya milik orang-orang ‘yang berpunya’, atau yang setidaknya tercukupi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Bukan milik mereka yang kebutuhan dasar sehari-hari pun tidak selalu terpenuhi. Tetapi mereka berhak berharap untuk menjadi sejahtera kan? Walaupun itu hanya harapan. Mereka berhak bermimpi kan? Walaupun mungkin akan terus tinggal sebagai mimpi? Jika mimpi untuk menjadi sejahtera adalah milik semua orang, mengapa kenyataan kesejahteraan hanya dimiliki oleh sebagian orang? Mimpi dapat jadi tak terwujud karena orang tidak mau bangun dari tidur. Namun, mimpi juga tidak dapat terwujud karena sesudah bangun orang pun tak diberi kesempatan untuk meraih mimpinya.

Saling-silang
Bagi siapa saja, kesejahteraan memang tidak datang dengan sendirinya. Ia menginginkan manusia mengejarnya, berlari, agar tidak saja manusia ‘kenyang perutnya’ tetapi juga lincah, kuat dan bahagia. Andaikan setiap orang di muka bumi ini telah tercukupi kebutuhannya akan sandang, pangan, dan papan, akankah pencarian untuk kesejahteraan berakhir? Saya rasa tidak. Kesejahteraan menyangkut juga yang batiniah: Apakah hati saya damai karena hubungan yang baik dengan tetangga? Apakah saya mampu berekreasi setelah sibuk bekerja? Apakah relasi saya dengan Sang Sumber Hidup terpelihara baik?
Namun, orang yang lapar akan sulit untuk mengganti rasa laparnya dengan berekreasi sepanjang hari. Bahkan orang yang tak punya rumah tidak akan tahu siapa tetangganya untuk disapa. Kesejahteraan bagi para tunawisma, pemulung dan anak-anaknya pertama-tama adalah mempertahankan hidup: makan supaya dapat bekerja lagi, sandang supaya dapat bergaul dengan orang lain dan tempat tinggal yang tetap sebagai penanda identitas yang lebih jelas. Untuk mendapatkan kesejahteraan itu mereka harus mengejarnya.
Bagi penguasa yang berhati nurani, yang tahu kekuasaannya berasal dari rakyatnya, kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan rakyatnya. Penguasa yang berhati nurani menghendaki rakyatnya hidup dalam ketercukupan, keteraturan, kenyamanan, kerukunan. Ada yang kaya, ada yang sederhana, tetapi tidak ada yang miskin. Setiap titik kemiskinan adalah penodaan atas janjinya terhadap rakyatnya. Penguasa yang berhati nurani akan mendorong dan membantu rakyatnya untuk giat bekerja; menyusun kesejahteraan hidupnya, membangun kesejahteraan masyarakatnya. Untuk mendapatkan kesejahteraan itu pemerintah harus mengejarnya.
Kesejahteraan bermakna “ke-saling-silang-an” karena dalam mencapainya seseorang tidak dapat mengabaikan orang lain. Tanpa pemerintah kesejahteraan akan menjadi kekacauan. Tanpa rakyat, siapa yang akan bekerja demi kesejahteraan bersama? Kesejahteraan harus diperjuangkan secara bersama-sama, karena akan dimiliki bersama. Untuk mencapai kesejahteraan setiap orang harus menganggap orang lain adalah saudara-saudarinya; untuk berbagi dan menerima, untuk memahami dan dipahami, untuk mengerti dan dimengerti, untuk menguatkan dan dikuatkan.
Bagi kita yang berkecukupan apa makna kesejahteraan itu? Jika kita setuju bahwa kesejahteraan adalah hak semua orang dan harus diwujudkan secara bersama-sama, tentu kita juga akan berjuang untuk diri kita, keluarga, tetapi juga untuk orang lain: berlaku adil, tidak serakah, hemat, belas kasih, peduli. Karena setiap orang ingin sejahtera.

Edisi Januari-Februari: Dinamika

DARI KONFERENSI PBB TENTANG

PERUBAHAN IKLIM

(Peter Aman, OFM)

Bali selama kurang lebih dua minggu, 3 – 15 Desember 2007, menjadi sorotan global. Betapa tidak. Belasan ribu delegasi dari sekitar 187 negara hadir di sana. Kelompok-kelompok LSM dalam dan luar negeri juga tumpah ruah di Nusa Dua, tempat Konferensi berlangsung.

Yang mendorong mereka mengalir ke Bali hanya satu, yakni keprihatinan global tentang bumi kita yang semakin panas. Emisi gas rumah kaca umumnya dituding sebagai penyebab utama pemanasan global. Tetapi emisi gas rumah kaca bukanlah suatu subyek yang harus bertanggungjawab terhadap akibat dampak negatif yang disebabkannya. Emisi gas rumah kaca adalah produk buatan manusia yang tidak menimbang dampak ekologis dari perilakunya, khususnya dalam penggunaan atau pemanfaatan sumber-sumber alam.

Pencemaran udara akibat emisi bahan bakar fosil dan minyak bumi erat terpaut pada pola hidup (konsumtif) dan pola produksi yang diterapkan oleh manusia. Penebangan hutan berskala jutaan ha setiap tahun untuk dikonversi menjadi ladang-ladang sawit bersumber pada keinginan manusia menumpuk harta di dunia sambil merugikan kehidupannya sendiri di masa kini dengan rusaknya hutan. Toh ternyata para pengikut St. Fransiskus Assisi tidak berpangku tangan, malah turut serta membabat hutan untuk perkebunan sawit mereka.

Konferensi Pemanasan Global di Nusa Dua Bali kembali mengingatkan kita bahwa lingkungan hidup yang tidak lagi utuh cepat atau lambat akan mengancam dan memusnahkan keutuhan ciptaan secara keseluruhan. Tentu, apa yang disepakati di sana bukanlah hukum-hukum yang mewajibkan. Kewajiban untuk peduli pada bumi tentu mesti lahir dari kesadaran dan tanggung jawab atas kehidupan dan keberlangsungan kehidupan, baik manusia maupun ciptaan secara keseluruhan.

Salah satu pokok yang menarik dari Konferensi ini adalah munculnya gagasan untuk menopang dan menunjang kehidupan masyarakat pinggiran hutan, agar mereka tidak membabat hutan demi sesuap nasi. Kehidupan mereka harus dibantu, kebutuhan harus dipenuhi dan hutan harus dijaga. Jadi mesti ada kompensasi yang adil. Ketika rakyat dilarang membabat hutan maka pemerintah harus menemukan alternatif demi kehidupan mereka.

Gagasan ini kelihatannya indah, tetapi di balik itu tetap tidak berubah cara pandang bahwa kerusakan hutan terutama disebabkan oleh rakyat-rakyat kecil sekitar hutan. Yang tidak diakui dan ingin disembunyikan adalah hasrat dan nafsu besar kaum kapitalis yang membabat habis hutan dan penghancuran kekayaan hayati di dalamnya demi tanaman monokultur, semacam sawit, untuk keuntungan ekonomis sesaat.

Keluhan kelompok masyarakat asli yang disuarakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) atau sejumlah utusan dari Afrika, Asia, Amerika Latin, tetap menjadi seperti suara yang berseru di padang gurun. Ideologi hidup ekologis, masih tunduk tak berdaya di hadapan ideologi ekonomi kapitalis, yang mempertaruhkan keberlanjutan kehidupan atas nama uang.

Para pengikut St. Fransiskus Assisi, Pelindung Ekologi, akan terus menerus ditantang untuk hadir dan mewujudkan kharisma dan warisan spiritualnya yang pekat akan nilai ekologis. Kehadiran para pengikut St. Fransiskus di hampir semua pulau di Nusantara ini mestinya menjadi ‘jiwa dan suara hati’ bangsa untuk terus mengingatkan bahwa merusak alam adalah merusak keseluruhan keutuhan ciptaan; merusak keutuhan ciptaan adalah pelanggaran terhadap mandat awali manusia untuk memelihara keutuhan ciptaan dan keutuhan kehidupan secara keseluruhan.

Edisi Januari-Februari: Dinamika

KELUARGA FRANSISKAN DI TENGAH
PEMANASAN GLOBAL

(Iron, OFM)

Pada hari Selasa 29 Januari 2008, JPIC-OFM Indonesia mendapat kunjungan seorang saudara Fransiskan Capusin yang terlibat di Fransciscan Internasional (FI), yakni Sdr. Bernd Beermann, OFMCap. Kedatangan Sdr. Bernd ke Indonesia terkait erat dengan tugasnya sebagai anggota staf FI dalam bidang ekologi. Sebagai koordinator animasi ekologi FI, saudara Bernd diutus oleh FI untuk berpartisipasi sebagai peserta pada Konferensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Perubahan Iklim (United Nations Conference on Climate Change) di Nusa Dua Bali, 3 – 14 Desember 2007.
Tentu saja, selain mengemban amanat untuk berpartisipasi dalam diskusi global tentang dampak masalah dari pemanasan global (Global Warming), Saudara Bernd yang bertanggung jawab untuk menyebarluaskan berita-berita kegiatan FI khususnya menyangkut keadaan ekologi ke dalam website FI ini pun mengambil kesempatan ini untuk mengunjungi dan mensosialisasikan dampak pemanasan global terhadap para saudara-saudari keluarga Fransiskan di Indonesia. Dalam refleksinya, Saudara Bernd menyadari sungguh bahwa panggilan untuk menjaga keutuhan ekologi-alam ciptaan merupakan panggilan dasar seorang Fransiskan dalam membangun persaudaraan semesta, bersaudara bukan saja dengan sesama manusia tetapi juga dengan seluruh alam ciptaan.
Salah satu bentuk riil upayanya adalah dengan mengadakan sharing bersama tentang dampak pemanasan global dan FI di ruang audio visual JPIC-OFM. Hadir dalam sharing yang penuh dengan suasana persaudaraan itu yakni para saudara Fransiskan yang terlibat di JPIC-OFM, beberapa saudara muda (Frater yang belum profesi kekal) yang sedang studi di STF Driyarkara, para saudari FMM yang datang dari Slipi dan Bogor serta saudari dari FSGM. Sharing ini difasilitasi langsung oleh saudara Peter Aman selaku direktur JPIC-OFM.
Semua peserta yang hadir bersama-sama dengan Saudara Bernd mengawali sharing dan diskusi ini dengan terlebih dahulu menyaksikan film dokumenter tentang kerusakan alam di Riau. Diceritakan dalam film dokumenter tersebut bagaimana kekuatan korporasi-korporasi global menghancurkan hutan secara meluas di daerah Sumatra. Demi mengejar target ekonomi lewat penanaman kelapa sawit, hutan-hutan pun ditebang dan dialihkan menjadi kebun kelapa sawit. Sistem monokultur inilah yang merusak sistem keseimbangan alam-ekosistem pada hutan-hutan tersebut. Tambahan pula, kehidupan suku anak dalam yang mengandalkan hutan sebagai habitat dan tempat tinggal mereka pun dihancurkan. Mereka dipaksa untuk keluar dari rumah dan lingkungan yang telah mereka diami bertahun-tahun lamanya.
Setelah bersama-sama menyaksikan kehancuran hutan di Sumatra, Saudara Bernd memaparkan berbagai hal menyangkut kondisi dan dampak ekologi saat ini bagi kehidupan manusia. Pertimbangan ekonomi-bisnis umumnya mendasari upaya untuk mengganti ekosistem hutan dengan sitem monokultur penanaman kelapa sawit. Penghancuran hutan dan eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam merupakan suatu potret betapa perspektif ekosistem belum disadari oleh manusia. Manusia terjebak dalam dunia industri dengan pengejaran keuntungan (uang) menjadi prioritas dan target.
Menurut saudara Bernd, sistem ekologi atau ekosistem yang telah terbentuk pada hutan secara alamiah yang telah dihancurkan akan mengakibatkan adanya ketidakseimbangan pada ekosistem yang baru (hutan kelapa sawit). Sebagai sebuah ekosistem, alam semesta merupakan satu rangkaian jaringan yang saling terkait dan bergantung antara satu dengan yang lain.
Manusia sebagai salah satu bagian dari rantai ekosistem memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga dan merawat alam semesta ini. Sebab menjaga alam semesta berarti menjaga kehidupan untuk terus berlangsung dan sebaliknya menghancurkan hutan (alam) berarti menghancurkan kehidupan seluruh makhluk di alam semesta ini termasuk manusia.
Bagi saudara yang juga mendalami secara khusus ilmu kimia dan biologi ini, pemahaman dan pemaknaan alam semesta sebagai sebuah jaringan ekosistem amatlah diperlukan bagi semua umat manusia. Sebab dengan pemahaman yang tepat akan alam semesta sebagai sebuah ekosistem dan manusia sebagai salah satu bagian dari mata rantai ekosistem tersebut, maka kita mampu berpikir dan bertindak secara bijak dan tepat terhadap alam, seperti memelihara tanah dan hutan kita. Bahkan menurut saudara Bernd, persoalan ekologi pun dapat dikategorikan sebagai persoalan human right.
Setelah mendengar pemaparan dan sharing dari saudara Bernd, peserta diajak oleh moderator untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan dan sharing seputar pengalaman atau persoalan ekologi. Sharing dan pertanyaan-pertanyaan berkisar pada dua hal. Pertama terkait dengan upaya bagaimana membangun kolaborasi dan jaringan antara sesama keluarga Fransiskan dan juga dengan kelompok religius, agama dan keyakinan lain serta Non Government Organization (NGO) atau dengan seluruh masyarakat. Kedua adalah bagaimana melihat kompleksitas persoalan ekologi termasuk sampah di Jakarta dan bagaimana upaya mencari alternatif mengatasinya.
Bagi saudara Bernd, sosialisasi dan kampanye tentang isu kerusakan ekologi baik di tingkat internal Fransiskan maupun di luar Fransiskan sangat urgen. Alasannya karena semua manusia akan merasakan akibat dari global warming apapun latar belakangnya. Proses menanggulangi persoalan ekologi yang kompleks membutuhkan kerjasama dengan semakin banyak orang. Pada titik inilah menurut beliau, keluarga Fransiskan harus proaktif mensosialisasikan dan bertindak nyata secara bertahap guna mengatasi persoalan global ini dengan membangun kerjasama dengan semua orang yang memiliki kehendak dan tujuan mulia yakni memelihara alam semesta.
Menjawab persoalan kedua, saudara Bernd melukiskan kaitan yang erat, rumit dan kompleks antara kebijakan pemerintah, kepentingan korporasi-bisnis dan pemeliharaan keutuhan ciptaan. Menurut beliau, sebagaimana kasus sampah di Jakarta, regulasi yang tepat dengan mengindahkan keutuhan alam dari pemerintah untuk meng-counter eksploitasi berlebihan dari pabrik-pabrik industri dan sampah buangan rumah-rumah tangga sangat membantu mengurangi berbagai akibat negatif dari sampah. Pada tahap ini, pendekatan dan dialog dengan para pengambil kebijakan dalam pemerintah menjadi sangat penting bagi keluarga Fransiskan.
Tentu saja, efektivitas menanggulangi persoalan kerusakan ekologi khususnya sampah di Jakarta sangat bergantung pula pada kesadaran dan tindakan nyata semua warga masyarakat Jakarta untuk lebih bijak dalam mengatur sampah dalam rumah tangganya masing-masing. Ini berarti termasuk cara pengelolaan sampah dari semua keluarga besar Fransiskan di Jakarta.
Bagi saudara Bernd, kata-kata dan tindakan nyata tiap-tiap saudara dan saudari untuk menjaga dan merehabilitasi ekosistem di mana kita berada merupakan langkah yang pertama dan strategis untuk mengatasi kerusakan alam yang makin mengkhawatirkan saat ini. Oleh karena itu, bagi beliau, kita membutuhkan saudara-saudari yang sungguh-sungguh memberi perhatian, berkomitmen dan bertindak konkrit terhadap persoalan ekologi. Di sinilah aspek kefransiskanan kita ditantang untuk memelihara persaudaraan alam semesta.
Komunitas FI, dengan berbagai karya dan tindakannya, merupakan salah satu upaya Persaudaraan untuk mewujudkan Keutuhan Ciptaan. Saudara Bernd pun berharap bahwa dengan kehadiran perwakilan FI di Bangkok yang mengakomodasi berbagai isu Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan di kawasan Asia-Pasifik, kolaborasi dan kerja sama di antara kita semakin erat dibangun untuk mewujudkan spiritualitas Fransiskan kita yang terarah pada penciptaan persaudaraan semesta yang adil, damai dan utuh.
Akhirnya, sharing dan diskusi ekologi ini pun diakhiri dengan makan bersama. Suasana persaudaraan dan kebersamaan tampak nyata di wajah-wajah peserta yang cerah setelah mendapat banyak sharing dan dukungan dari utusan FI ini. Kita berharap bersama semoga dengan kunjungan persaudaraan dan sharing dari saudara Bernd, kita sebagai keluarga besar Fransiskan semakin berani untuk terlibat bersama-sama dalam menangani persoalan-persoalan kerusakan alam semesta di tempat kita masing-masing dengan membangun jaringan dan kerja sama di antara kita.

Edisi Januari-Februari: Puisi

ADIL

(Kristian Emanuel Stefan)

Adil???.......Adil???......Adil???.......

Itu seperti garam,

yang kalau tidak asin,

Bukan garam namanya

Atau seperti anjing galak,

yang kalau tidak menggonggong

Bukan anjing galak namanya

Adil itu seperti udara,

yang kalau dapat diraba

Bukan udara namanya

Ia seperti, ehem….ehem….kotoran,

yang jika tidak berbau

Bukan kotoran namanya

Tapi……

Ada yang bilang kalau adil itu seperti langit,

yang kalau dapat dicapai

Bukan langit namanya

Ia lebih seperti air

yang entah panas entah dingin

Tetap air namanya

Ia seperti manusia

yang entah putih entah hitam

Entah tua entah muda, entah tinggi entah pendek

Tetapi manusia namanya

Dan ia seperti baju

Yang entah besar entah kecil, entah baru entah lama,

entah sobek atau masih bagus

Tetap baju namanya

Yah entahlah…

Tapi jelasnya adil itu harus seperti es

Yang entah besar entah kecil

Harus terus didinginkan agar tetap es namanya

Edisi Januari-Februari: Cerpen

Nelangsa
(Mulyadi, OFM)


“Sudahlah Pak, suuuuudah,...jangan dilawan, diri kita sendiri tidak akan menang melawan aparat” Kataku sambil menarik-narik tangan ayahku yang mau melawan aparat. “Kalau rumah kita sendiri digusur itu bisa dicari kembali Pak, tetapi kalau jiwamu...tidak bisa dicari dan tidak ada gantinya” Teriakku sambil menarik tangan ayahku yang semakin kuat memberontaknya. “Aku tidak terima kalau rumah ini digusur dan pindah dari tempat ini. Mengapa tidak dari dulu daerah ini ditertibkan? Sudah bertahun-tahun aku buka usaha di sini, kok hancur karena anak-anak kemarin sore ini, saya tidak menerimaaaaa.” Teriak ayahku sambil berontak melepaskan tangannya dari cengkraman tanganku, kemudian memukul aparat.

“Dor..., dor..., dor” suara tembakan membuat kerumunan massa lari tunggang-langgang. “Bapakkkk..., tidakkkk....” Teriakku sambil berlari menghampiri ayahku yang terkapar di tanah karena dua peluru yang merobek perut dan menembus kaki ayahku. “Bapak...,kenapa bisa sampai begini, kalau Bapak tidak melawan tidak mungkin sampai begini. Pemerintah khan sudah memberikan ganti ruginya, memang ganti ruginya tidak sebesar rumah kita yang lama” Diiringi tangisanku dan dengan memeluk tubuh ayahku sembari mencoba mengangkatnya. “Cepat panggil ambulan.” Teriakku sambil melepaskan baju yang berlumuran darah dari tubuh ayahku dan merobeknya kemudian mengikatkan ke kaki ayahku.

***

“Bagaimana dok, keadaan ayah saya” sapaku ketika dokter baru keluar dari kamar operasi. “Saya tidak menjamin. Keadaannya masih kritis karena peluru yang yang menembus perut ayahmu terpecah menjadi tiga bagian, dua bagian masuk ke usus besar, sebagian lagi mengenai tulang belakang dan jika diambil, resikonya ayahmu akan mengalami kebutaan dan lumpuh total, karena ditambah peluru yang ada di kaki ayahmu. Tetapi saya akan mencoba membantu kamu semaksimal mungkin dan yang terpenting doamu untuk ayahmu dan tim medis.” Dokter menjelaskan dengan penuh perhatian.“Iya, dok. Terima kasih.” Ujarku kepada dokter sambil diiringi tetesan air mata. “Tuhan kasihanilah kami, berikanlah kesabaran dan kekuatan bagi ayahku dan aku.” Aku berseru dengan menengadah ke atas, kemudian duduk membungkuk sembari menutupi muka dengan kedua telapak tanganku.”Bapak, seandainya Bapak mendengarkan saranku tadi, tidak mungkin peristiwa buruk ini terjadi, aku tidak kehilanganmu, tidak kehilangan rumah apa lagi harta yang sudah kita sendiri kumpulkan bersama” Teriakku sambil memukul-mukul tembok dan mengiringi langkah kaki dokter yang sudah kembali ke kamar operasi.

***

Dua tahun kemudian....

“Pak,....Bapak, sekarang kita sudah tidak punya apa-apa lagi. Ganti rugi dari pemerintah, yang bentuknya seperti rumah lebah madu itu sudah aku jual, untuk biaya pengobatan Bapak. Kemudian aku berupaya untuk meneruskan usaha Bapak, tetapi tidak berkembang, aku tidak mungkin meminjam uang ke lintah darat, nanti susah membayar bunganya, akhirnya usaha Bapak juga ikut aku jual untuk menebus ongkos perawatan Bapak di rumah sakit ini. Sebelumnya, aku mencoba mencari keadilan dengan minta bantuan ke lembaga bantuan hukum, tetapi bukannya untung aku dapat malah buntung yang kudapat. Banyak aturan lagi, bayar sini bayar sana, ke sana ke sini, semua usahaku sia-sia dan percuma, hanya buang-buang waktu” Kataku mencoba menjelaskan kejadian yang telah dua tahun berlalu sambil mendorong kursi roda ayahku saat ke luar dari rumah sakit. Tetapi ayahku diam seribu bahasa setelah mendengarkan penjelasanku. Dia hanya menatap ke depan, kosong, menerawang, hampa tak berarti.

“Dra..., Chandra apa kamu masih punya uang?” suara memelas dari ayahku. “Masih, Pak. Sisa dari ongkos perawatan Bapak di rumah sakit” jawabku sambil menuntun Bapak masuk ke dalam bajaj yang telah ku pesan tadi sebelum masuk ke rumah sakit Sinar Pelita. “Dra...., Chandra, kita pulang saja ke desa yah , moga-moga sisa warisan Bapak masih ada. Dan mungkin saja hidup di desa lebih tentram, karena kita tidak mungkin membuka kembali usaha di Jakarta yang sudah pengap suasananya. Yahh..., sambil meneruskan masa tuaku yang sudah hampir bau tanah” kata Bapak sambil meneteskan air matanya. “Jangan berkata seperti itu lah pak, tidak baik. Bapak sudah tua, yahhh aku mengerti. Tetapi lebih baik kita lihat saja keadaannya dulu, kemudian baru bisa melakukan perencanaan apa yang mau kita jalankan.” Jelasku sambil menghiburnya.

***

Di kampung halaman ayahku Desa Jati Waringin, Solo.

“Apa katamu...?, Jadi bagian warisanku sudah tidak ada lagi!!!, Jan...Jan...Paijan, kok kamu tidak menganggap kakakmu yang paling tua, balasanmu apa ke kakakmu ini?. Mentang-mentang sekarang aku buta, cacat dan sudah tidak punya apa-apa lagi. Mana pengertianmu, tanah yang aku titipkan ke kamu dan pajaknya selalu aku bayar melalui kamu. Uang kirimanku untuk membayar pajak tanah itu, yoo tidak kurang dan pasti lebih. Kemudian kembaliannya, tidak kamu kembalikan. Itu semua kuanggap upah merawat tanahku. Dan sekarang aku hanya punya si Chandra, aku sekarang mau minta rumah dapurmu saja, untuk tidur anakku laki-laki, dan kalau kamu masih punya belas kasih, tolong beri aku anak kambingmu satu saja untuk usaha anakku. Ini saja permintaanku, yaaa... kamu tidak memberikan.” Marah ayahku kepada Paijan adik ayahku yang tertua.

“Yoo, aku minta pengampunan dari kamu mas, soalnya aku kalah main judi, semua aku jual untuk membayar utang. Tinggal rumah ini dan rumah dapur yang aku punya dan ayam tinggal lima tok, ayam jantan dua dan ayam betina tiga. Kalau kambing aku tidak punya. Aku hanya bisa memberimu rumah dapur dan ayam jantan satu dan ayam betina satu.” Jawab adik ayahku sambil meneteskan air matanya tanda penyesalan.

“Jan...,Jan..., aku sudah menasihatkan kamu jangan main judi, tidak ada untungnya, kasihan anak dan istrimu. Sekarang tinggal menangis saja yang kamu besarkan. Sampai di sini saja aku berbicara. Aku mohon diri. Dra, ayo kita keluar dari sini. Kita menumpang tidur di kakakmu, Mas Rebo, sehari atau dua hari saja, aku tidak mau tidur di rumah adikku.” Sambil menggeser kursi rodanya sendiri menuju pintu keluar. “Iya Pak. Paklék, Chandara mohon diri.” sahutku dengan bergegas mendorong kursi roda ayahku menuju ke rumah Mas Rebo yang tidak jauh dari rumah adik ayahku, mungkin hanya sepelemparan batu jauhnya.

***

Dua minggu kemudian, di pusaran ayahku....

“Bapakkkkkkkk....” Teriakku di tengah pusaran ayahku tanda tidak menerima kepergiaan ayahku. “Mengapa kamu cepat meninggalkan aku?aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Siapa lagi yang bisa aku jadikan tumpuan dan teladan hidupku? Semua saudaramu sama-sama membenci aku, sekarang aku mau hidup di mana? Mengapa hidup kita begitu nelangsa ? Tuhan berikanlah aku kekuatan, berikanlah aku jalan. Mamang aku percaya kalau Tuhan akan menerima ayahku di sisi-Nya. Tetapi sekarang apa yang bisa aku lakukan, Gustiiiiiiiiiiiiiiiiiiii?” pintaku kepada Tuhan dengan iringan tangisan kesedihan yang semakin mendalam dengan iringan tepukan tangan ke dadaku sendiri.

Edisi Januari-Februari: Fokus

MEMBANGUN KESEJAHTERAAN BERSAMA
(Surip Stanislaus OFMCap.)

Pengantar Redaksi:
St. Fransiskus Assisi selalu mengucapkan salam “Pax et Bonum, Pace e Bene” dan mengingatkan agar para pengikutnya selalu menggunakan salam itu. Tak sulit melacak dari mana asal-muasal salam yang disukai Fransiskus itu. Tentu dari Kitab Suci yang tidak saja dibaca, tetapi terutama dihidupi oleh St. Fransiskus sendiri. Tulisan Sdr. Surip Stanislaus OFMCap berikut ini mengantar kita untuk memahami makna serta konteks alkitabiah dari salam itu. Bagaimanakah arti salam, slm, syalom itu dalam Kitab Suci? Apa hubungannya dengan istilah kesejahteraan umum? Selamat membaca!

Shalom! Kiranya satu kata Ibrani ini dapat merangkum seluruh pembicaraan kita tentang kesejahteraan bersama. Kita sering menerjemahkan kata itu dengan “damai”. Namun tidak jarang kita hanya mengartikan damai dengan tidak ada perang, tak terjadi konflik, dan ketenangan batin. Sebenarnya shalom mempunyai cakupan yang lebih luas lagi. Akar kata Ibrani slm lebih dekat dengan kata selamat atau mungkin juga salam. Sebab ide dasarnya berkaitan dengan totalitas yang berhubungan dengan kebaikan. Sebagaimana kita mengucap selamat untuk segala sesuatu yang baik, demikian muatan kata shalom. Sebagaimana kita memberi salam dan titip salam untuk pengalaman dan harapan yang baik-baik saja, demikian halnya shalom. Jadi, apapun yang mendatangkan kebaikan dapat disebut shalom. Karena itu shalom memang mencakup keseluruhan yang baik, entah itu soal kesehatan, kedamaian, kemakmuran, kesejahteraan, keharmonisan, keadilan, kesuksesan, kemerdekaan, keselamatan, kebahagiaan ataupun pengharapan.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama shalom lebih mengerucut pada makna kesejahteraan sosial yang lahiriah. Penafsir kawakan sekaliber G. von Rad berpendapat bahwa banyak kutipan memaparkan kalau shalom sering dipakai untuk menunjuk pada keadaan kelompok dari pada perorangan. Pada umumnya shalom dipakai sebagai konsep sosial. Shalom itu terungkap dalam bentuk kesejahteraan sosial yang lahiriah. Jadi, shalom dalam Perjanjian Lama lebih menyangkut soal kesejahteraan manusia. Kesejahteraan itu sifatnya bukan individual, tetapi sosial, bukan perseorangan, tetapi bersama. Kesejahteraan itupun bukan terutama berkaitan dengan hal-hal spiritual, tetapi material, bukan rohaniah, tetapi lahiriah.
Shalom yang berarti kesejahteraan bersama secara lahiriah itu akan menjadi terang benderang kalau kita sandingkan dengan soal keadilan. Dalam Perjanjian Lama ada dua kata Ibrani yang menunjuk pada keadilan, yaitu mishpath dan sedakah. Kata mishpath biasa kita terjemahkan dengan “hukum” atau “keadilan”. Kata ini berasal dari kata shaphat yang berarti “mengadili untuk menyelamatkan seseorang dari penindasan” dalam konteks yuridis, etis maupun religius. Dengan demikian para pemimpin yang membebaskan Israel dari penindasan bangsa-bangsa lain (Hak 2:16-19; 3:10; 4:4; 10:2-3; 11:27; 12:7-14; 15:20; 16:13) disebut shophetim (para hakim), karena mereka bertindak demi keadilan dan untuk menyelamatkan orang-orang Israel dari penindasan.
Kata sedakah atau sedek berasal dari akar kata sdq yang berarti “keadilan”. Kata ini mengacu pada intervensi Yahwe yang membebaskan Israel dari perbudakan di tanah Mesir. Sebab alasan pembebasan itu adalah keadilan sosial, di mana Allah menegakkan persaudaraan antarmanusia. Untuk itu Allah membuat hukum yang melindungi hak dan kewajiban semua manusia, khususnya yang miskin dan tertindas, dan mengoreksi praktek-praktek ketidakadilan lewat para nabi-Nya. Dengan demikian keselamatan dan kesejahteraan umat manusia tergantung dari praktek keadilan sosial.
Perjanjian Lama menyajikan peran yang sangat dominan dari para nabi dalam memerangi ketidakadilan untuk menciptakan kesejahteraan sosial secara material. Para nabi itu muncul dari berbagai lapisan sosial, tetapi mereka memiliki satu keprihatinan yang sama terhadap keadilan. Mereka prihatin terhadap tatanan sosial yang tidak melindungi nilai-nilai manusiawi dan sosial, tetapi malah menghancurkannya. Maka, diilhami oleh visi tentang Kerajaan Allah, di mana ketidakadilan akan diganti persaudaraan, penindasan akan diganti kebebasan dan damai, para nabi secara keras mengecam segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, kecurangan dan penipuan, monopoli dan penyuapan, penurunan martabat dan penumpahan darah orang tak bersalah, dll. Tuduhan berat dialamatkan kepada mereka yang memegang kekuasaan dan memetik keuntungan-keuntungan dari sistem yang ada, dan merekalah pendobrak atas status quo politik, sosial, ekonomi dan keagamaan yang korup pada zamannya. Namun para nabi tidak hanya melancarkan kritik-kritik destruktif, tetapi juga memberikan alternatif yang selalu mengacu pada perjanjian Allah dengan umat-Nya. Kita lihat dan belajar saja dari beberapa nabi berikut.
Sekitar tahun 750 SM Nabi Amos tampil di Israel waktu pemerintahan Raja Yerobeam II dan situasi militer, politik maupun ekonomi cukup baik. Kemakmuran itulah yang membuat dalam waktu singkat para pegawai tinggi menjadi kaya raya dan perayaan peribadatan menjadi mewah meriah. Namun sayang keadaan itu tidak merata, sehingga orang kaya menjadi semakin kaya dan orang miskin menjadi semakin miskin, sebab orang-orang yang berkuasa seenaknya mempergunakan kekuasaannya untuk menjerat orang-orang kecil dengan hutang dan tidak tanggung-tanggung memperbudaknya. Dalam situasi kemewahan dan ketidakadilan yang merajalela itulah Nabi Amos tampil dengan nubuat kesudahan sudah datang, karena Allah akan memberhentikan sejarah keselamatan. Ia mengecam terutama kalangan penguasa yang memperkosa keadilan dalam masyarakat dan melakukan penindasan rakyat jelata. Lebih jauh lagi, memperkosa hak sesama manusia berarti juga memperkosa perjanjian dengan Allah, sebab Allah mengadakan perjanjian-Nya bukan hanya dengan kalangan elit yang berkuasa, tetapi dengan seluruh umat manusia. Maka, ia pun mencela praktek peribadatan yang tidak berkenan pada Allah karena tidak berasal dari sikap hati yang benar. Sikap inilah yang akan mendatangkan hukuman Allah. Meski demikian nubuat-nubuat nabi Amos tidak hanya berupa ancaman, tetapi terselip juga nubuat keselamatan bagi yang bertobat. Ia selalu mengajak umat untuk kembali ke jalan yang lurus: "Carilah Tuhan, maka kamu akan hidup. Carilah yang baik… supaya kamu hidup" (Am 5:6.14). Mencari Tuhan bukan hanya berarti beribadat kepada-Nya, tetapi terlebih mencintai yang baik dan menegakkan keadilan dalam pintu gerbangnya, yakni dalam masyarakat.
Perhatikan kecaman Amos ini (yang jangan-jangan juga kena untuk kita): “Hai kamu yang mengubah keadilan menjadi ipuh, dan yang mengempaskan kebenaran ke tanah… Mereka benci kepada yang memberikan teguran di pintu gerbang, dan mereka keji kepada yang berkata dengan tulus ikhlas. Sebab itu, karena kamu menginjak-injak orang yang lemah, dan mengambil pajak gandum dari padanya, sekalipun kamu telah mendirikan rumah-rumah dari batu pahat, kamu tidak akan mendiaminya; sekalipun kamu telah membuat kebun anggur yang indah, kamu tidak akan minum anggurnya. Sebab Aku tahu, bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu berjumlah besar, hai kamu yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap, dan yang mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang. Bencilah yang jahat dan cintailah yang baik; dan tegakkanlah keadilan di pintu gerbang…” (Am 5:7, 10-12, 15). Orang-orang kuat kuasa telah mengubah keadilan menjadi ipuh (tanaman yang rasanya pahit sekali => kiasan untuk kepahitan malapetaka). Praktek pengadilan yang jujur di pintu gerbang dirusak dan dijadikan alat untuk memeras orang-orang lemah, di mana para petani bukan lagi menjadi pemilik atas tanahnya sendiri tetapi penyewa pada orang-orang kaya. Hakim-hakim pun makan suap dan menjadi musuh bagi orang-orang tak bersalah.
Sementara itu suhu politik di Yehuda kian memanas dan tidak begitu aman, sehingga dibangunlah benteng-benteng pertahanan di daerah-daerah perbatasan dan pedalaman. Untuk itu banyak pejabat tinggi dari kota turun ke pedalaman memimpin proyek pembangunan militer dan situasi setengah darurat itu memaksakan prosedur pembebasan tanah sesederhana dan secepat mungkin. Alhasil para pimpro itupun dengan dalih demi kepentingan nasional bersekongkol dengan pejabat rendah di daerah merampas ladang demi ladang dan rumah demi rumah, sehingga dalam waktu singkat banyak petani kecil kehilangan tanah pusakanya, tidak mempunyai jaminan kesejahteraan dan terpaksa menjadi budak, bahkan menjadi buruh di bekas tanah ladangnya yang telah dirampas. Situasi itu kian memburuk karena para pejabat tinggi terus bertindak bagai binatang buas yang menelan daging sesamanya, para pejabat setempat tidak berani melindungi rakyat atau tidak jarang malah ikut dalam permainan busuk itu dan para imam pun menjadi mata duitan sehingga dapat dibeli oleh para penguasa.
Dalam situasi demikian itulah sekitar tahun 721 SM Nabi Mikha, seorang nabi di daerah pedalaman, tampil atas nama Allah dengan kecamannya yang keras terhadap ketidakadilan: “Baiklah dengarkanlah ini, hai kepala Yakub, dan para pemimpin kaum Israel! Hai kamu yang muak terhadap keadilan dan yang membengkokkan segala yang lurus, hai kamu yang mendirikan Sion dengan darah dan Yerusalem dengan kelaliman! Para kepalanya memutuskan hukum karena suap, dan para imamnya memberi pengajaran karena bayaran, para nabinya menenung karena uang, padahal mereka bersandar kepada Tuhan dengan berkata: Bukankah Tuhan ada di tengah-tengah kita! Tidak akan datang malapetaka menimpa kita! Sebab itu oleh karena kamu maka Sion akan dibajak seperti ladang, dan Yerusalem akan menjadi timbunan puing, dan gunung Bait Suci akan menjadi bukit yang hutan” (Mi 3:9-12). Sebuah kecaman pedas bagi para pemimpin yang tidak adil, hakim-hakim yang makan suap, imam-imam dan nabi-nabi yang mata duitan. Mereka mengira Yerusalem akan aman berkat bangunan Bait Allah yang berdiri di situ, tetapi yang akan terjadi adalah kota itu akan dibajak seperti ladang dan Yerusalem akan menjadi timbunan puing-puing.
Nabi Yehezkiel pun mengecam para pemimpin (yang siapa tahu mereka itu kita juga): “Celakalah gembala-gembala Israel, yang menggembalakan dirinya sendiri! Bukankah domba-domba yang seharusnya digembalakan oleh gembala-gembala itu? Kamu menikmati susunya, dari bulunya kamu buat pakaian, yang gemuk kamu sembelih, tetapi domba-domba itu sendiri tidak kamu gembalakan. Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari, melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman. Dengan demikian mereka berserak, oleh karena gembala tidak ada, dan mereka menjadi makanan bagi serigala binatang di hutan. Domba-domba-Ku berserak dan tersesat di semua gunung dan di semua bukit yang tinggi; ya, di seluruh tanah itu domba-domba-Ku berserak, tanpa seorangpun yang memperhatikan atau yang mencarinya” (Yeh 34:1-6). Dalam kecaman ini dilukiskan bahwa pemimpin dan bawahannya bagaikan gembala dan kawanan domba. Para pemimpin itu memeras rakyat, merampas miliknya dan menggemukkan diri sendiri. Mereka tidak memiliki kemampuan penggembalaan untuk melindungi anggota masyarakat yang lemah tak berdaya. Mereka tidak menghimpun rakyatnya, tetapi malah membiarkan kawanan dombanya tercerai-berai.
Para nabi mengecam keras para pemimpin Israel, karena mereka yang seharusnya menciptakan kesejahteraan sosial, justru bertindak tidak adil dan mengutamakan kepentingan sendiri. Mereka bahkan membiarkan suasana ketidakadilan tetap terjadi, agar dapat menangguk keberuntungan darinya. Tak jarang mereka juga cuci tangan dengan tidak mau tahu dan tak peduli akan penderitaan rakyat miskin yang tertindas. Mereka betul-betul jauh dari predikat eirenopois, kata Yunani yang berarti “pembawa damai”. Kata Ibrani shalom diterjemahkan ke bahasa Yunani dalam Perjanjian Baru eirene.
Dalam kotbah di bukit Yesus mengatakan: “Berbahagialah orang yang membawa damai…” (Mat 5:9). Jelas-jelas dikatakan tentang orang yang membawa atau mengupayakan damai dan bukan sekedar orang yang menjaga dan cinta damai. Sebab banyak orang yang cinta damai memilih berdiam diri dan menghindari masalah, sehingga keadaan yang membahayakan itu tetap berlangsung. Pembawa damai itu bukan sikap pasif, tetapi aktif, kreatif dan berinisiatif untuk mencari solusi demi perdamaian, meskipun jalan untuk itu harus konfrontatif dan penuh tantangan. Pembawa damai adalah orang yang melibatkan diri secara aktif untuk menciptakan perdamaian demi kesejahteraan bersama.
Yesuslah pembawa damai sejahtera bersama itu: “Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang jauh dan damai sejahtera kepada mereka yang dekat, karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa” (Ef 2:17-18). Perkataan ini mengacu pada nubuat keselamatan yang disampaikan Nabi Yesaya: “Damai, damai sejahtera bagi mereka yang jauh dan bagi mereka yang dekat” (Yes 57:19). Mereka yang dekat adalah orang-orang Yahudi yang mengklaim dirinya sebagai umat pilihan Allah; dan mereka yang jauh adalah orang-orang kafir yang dipandang oleh bangsa Yahudi sebagai tempat curahan murka Allah dan makanan api neraka. Tetapi dengan kematian Yesus, tembok pemisah antara orang-orang Yahudi dan non-Yahudi itu telah dirobohkan. Berkat darah Yesus baik bangsa Yahudi maupun bangsa kafir telah diperdamaikan dengan Allah. Yesuslah pembawa damai sejahtera kita bersama: “Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merobohkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu” (Ef 2:14-16).

Edisi Januari-Februari: Editorial

KESEJAHTERAAN UMUM

Mustahil ada gagasan tentang kemajuan sosial, ekonomi dan politik yang mengabaikan ide, konsep dan gagasan tentang kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum ibarat nafas dan jiwa kehidupan sosial. Ia didambakan dan diinginkan, kendati semua sadar bahwa kesejahteraan umum tidak pernah akan terwujud utuh, bulat dan sempurna. Selalu ada cacat dan yang tak sempurna. Selalu tercatat kegagalan karena dapat terjadi bahwa cita-cita luhur ini hanya sekedar ‘topeng’ di balik kejahatan-kejahatan sosial-ekonomi. Kesejahteraan umum bisa menjadi cedera karena hanya dijadikan jargon dan kata-kata kunci kampanye. Kunci yang tak mampu membuka gerbang menuju kesejahteraan, tetapi menjadi kunci ‘penjara, seperti ‘penjara’ kepentingan pribadi atau kroni, sehingga menyengsarakan banyak orang.

Karena itu kesejahteraan umum bukanlah kata bertuah, tetapi suatu kekuatan moral yang memampukan orang meloncat keluar dari egoisme atau egosentrisme. Sejatinya ia mengatasi segala kepentingan pribadi atau kelompok karena dia menjadi kepentingan semua orang.

Tradisi pikiran sosial yang sehat, yang antara lain terendap dalam Ajaran Sosial Gereja mengajukan sejumlah indikator dan kriteria untuk memperlihatkan bahwa kesejahteraan umum itu ada dan terwujud dalam komunitas masyarakat.

Pertama, ada kebebasan dan tanggungjawab pribadi. Ini dua nilai dasar yang mesti ada pada tingkat pribadi setiap manusia karena pribadi merupakan landasan bagi suatu bangunan sosial yang disebut masyarakat atau negara. Kebebasan dan tanggungjawab pribadi adalah benih utama bagi pengembangan diri dan potensi pribadi secara optimal. Ini menjadi modal dan jaminan sosial bahwa setiap orang diberi peluang dan kesempatan untuk berpartisipasi bagi pembangunan tatanan sosial ber-kesejahteraan umum.

Kedua, kesetaraan semua orang mengingat bahwa pada dasarnya semua manusia memiliki kesamaan kepentingan dasar yakni kesejahteraan: sehat rohani-jasmani, berkecukupan dalam hidup sosial-ekonomi dan menikmati kebebasan.

Ketiga, solidaritas dan demokrasi. Kedua pokok ini ingin menegaskan substansi suatu masyarakat sebagai lingkungan komunitas manusiawi di mana anggotanya saling memberi (hidup), saling membentuk dan saling berhubungan satu sama lain. Nilai-nilai seperti ini hanya mungkin dapat berkembang optimal ketika ada solidaritas dan demokrasi.

Ketika ketiga pokok ini terpenuhi maka dapatlah diharapkan terwujudnya keadilan sebagaimana dirumuskan dalam Gaudium et Spes 26: “Yang dimaksudkan dengan kesejahteraan umum ialah, keseluruhan kondisi-kondisi hidup kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan mereka sendiri. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta aspirasi-aspirasi kelompok-kelompok lain yang wajar, bahkan kesejahteraan segenap keluarga manusia.”

Link Teman-Teman