Salah satu penggalan yang menarik buat saya dari ungkapan di atas adalah tempat basah. Waktu itu, yang kecantol dalam benak dan pikiran saya soal sebutan tempat basah adalah lahan atau tanah yang cukup subur. Maklum, saya berasal dari keluarga petani yang sehari-hari mengakrabi (saudari) tanah ini, sehingga ketika mendengar sebutan itu saya langsung berasosiasi mengenai tanah yang subur. Ternyata dalam perjalanan waktu saya baru menyadari bahwa sebutan itu punya konotasinya. Sebutan itu, sekurang-kurangnya di kalangan kaum berjubah, dikonotasikan dengan suatu tempat karya yang mendatangkan banyak kemudahan, kemapanan, kenyamanan, fasilitas, dan termasuk di dalamnya soal uang. Artinya, tempat basah yang dimaksud itu tidak lain adalah tempat karya di mana segala kebutuhan -bagi kaum berjubah- terpenuhi. Apalagi di zaman (globalisasi) ini, salah satu tolok-ukur dari segala hal yang membawa kemudahan (memenuhi kebutuhan) itu adalah uang.
Zaman di mana Uang Menjadi Sang Maharaja Baru
Sampai pada pemahaman di atas, saya coba berenung lebih jauh soal situasi kapitalisme ekonomi global yang tengah ‘menebar pesonanya’ saat ini. Tentu hal ini tak bisa kita pisahkan dari apa yang disebut sebagai globalisasi. Berbicara soal globalisasi, ada paradoks yang kita jumpai. Di satu pihak, globalisasi memberi andil dalam proses perkembangan kehidupan manusia. Dengan adanya proses globalisasi banyak hal yang bisa kita lakukan dan peroleh dengan cara yang sangat mudah. Misalnya soal informasi, pengetaahuan, dan teknologi. Di lain pihak, revolusi informatika, pengtahuan, dan teknologi, yang ditampakkan oleh era globalisasi ini, telah melahirkan ketergantungan sendiri dalam diri manusia. Kemuajuan teknologi di bidang informasi membuat orang betah berlama-lama di depan TV untuk nonton sinetron kesayangannya, atau berlama-lama di depan internet. Hal ini menggantikan kebiasaan ngerumpi yang sebenarnya lebih mendekatkan ikatan emosional antar individu. Saya sendiri melihat bahwa ruang hubungan sosial antar manusia akhirnya bersifat impersonal. Tak berlebihan kalau saya mengatakan di sini bahwa globalisasi ternyata membawa ekses-ekses negatif yang menghancurkan kehidupan dan mengancam integritas dunia (manusia). Selain kemajuan dalam bidang yang saya sebutkan tadi, globalisasi juga mendapat formatnya yang paling jelas dalam kapitalisme ekonomi. Kapitalisme ekonomi global yang kemudian mendapat mantel barunya dalam neo-liberalisme telah mengubah dunia menjadi sebuah arena pertaruhan uang. Ia telah merekonstruksi dunia ini menjadi dunia yang dipenuhi tangisan kematian. Tidak ada lagi kehidupan, yang ada hanya uang dan uang.
Jim Hoagland mengatakan bahwa “Ciri yang menentukan dari era politik post-modern sekarang ini ialah dominasi uang yang mutlak sebagai prinsip yang mengatur hubungan manusia dan hubungan internasional. Waktu yang masih ada tampaknya tidak lebih dari beberapa hari saja” (David C. Korten, The Post-Corporate World (edisi terj.) Obor: Jakarta, 2002). Pernyataan Jim ini memang secara tepat merepresentasikan situasi dunia kita saat ini. Ciri yang paling nampak dalam dunia saat ini adalah dominasi uang atas kehidupan manusia. Segala sesuatu bahkan manusia sendiri yang menciptakan nilai tukar uang dinilai dengan seberapa besar nilai tukarnya terhadap uang. Uang menjadi sang maharaja baru yang menguasai segala sumber kehidupan.
Uang Bukan Tujuan Hidup
Bicara soal uang tidak gampang. Sensitif! Pengelolaannya tidak gampang. Untuk itu, kalau saya tidak keliru, perlu orang yang secara khusus belajar tentang pengelolaan atau management keuangan, dlsb. Di setiap tarekat, ada orang yang secara khusus menggeluti hal ini. Pengelolaan keuangan ini, hemat saya, penting tetapi bukan tujuan hidup. Kita lihat misalnya dalam tulisan-tulisan Paulus yang memberi perhatian pada kolekte untuk Yerusalem (lih., Gal 2:10; 1 Kor 16:1-4; 2 Kor 8-0; Rm 15:25-32; juga Kis 24:17). Tulisan-tulisan Paulus ini memperlihatkan bahwa pengelolaan uang mendapat perhatian serius. Memang, saya sendiri sadari bahwa maksud tulisan-tulisan itu selalu dalam konteks yang lebih luas. Dalam 2 Kor 8:4 dan 9:13 Paulus menyebut kolekte itu koinonia artinya persekutuan (bdk, Rm 15:27). Juga, di sini kelihatan bahwa pengelolaan uang penting, tetapi bukan tujuan hidup.
Di samping itu, tak bisa kita elakkan bahwa uang itu sangat berguna. Kata Pengkhotbah: “untuk tertawa orang menghidangkan makanan, anggur meriangkan hidup, dan uang memungkinkan semuanya itu” (10:19). Ini berarti bahwa uang adalah sarana yang berfaedah. Tetapi, hemat saya, kalau uang menjadi tujuan maka segala-galanya akan kacau-balau. Sebab “siapa mencintai uang tidak akan puas, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya” (Pkh 5:9). 1 Timotius malah berani berkata bahwa “akar segala kejahatan ialah cinta uang” (1 Tim 6:10). Sebab “tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Mat 6:24). Mungkin saja karena keserakahan, uang yang sebenarnya menjadi sarana dibuat menjadi tujuan.
Religius Dalam Gelanggang Pertaruhan Uang
Dunia berubah dan membawa manusia pada sebuah gelanggang pertaruhan uang. Siapa yang tidak bertahan atau tidak kuat, bisa dipastikan bahwa ia akan tergelincir keluar dari gelanggang ini. Akibatnya, segala hal dapat dihalalkan atau direlatifkan agar orang bisa tetap eksis dalam gelanggang ini. Yang kuat kian kuat, sementara yang lemah makin terperosok dalam ketidak-berdayaannya. Ketimpangan terjadi di sana-sini. Keadilan pun makin disangsikan terjadi dalam gelanggang ini.
Nuraniku bertanya apakah kaum religius, secara khusus kita yang mengaku diri pengikut setia Il Poverello, mesti ikut dalam pertaruhan itu? Kalau toh ikut sebagai salah satu peserta, strategi apa yang menjadi perisai kita? Apakah strateginya itu adalah mencari tempat basah? Kalau demikian, bagaimana dengan tempat kering? Apakah kita masih ‘berbangga’ sebagai ksatria Kristus, bentara raja agung, yang ‘berbendera’ spirit hidup St. Fransiskus Assisi dan ‘bertamengkan’ option for the poor bila orientasi hidup kita adalah mencari keamanan, kenyamanan, kemapanan, keuntungan sebesar-besarnya, dlsb dalam gelanggang ini?Pikiran liar yang juga mengusikku adalah di mana letak keadilan, solidaritas, dlsb? Apakah selama ini kita sudah adil, misalnya terhadap mereka (karyawan/ti, guru, dll) yang selama ini dengan setia bersama kita membangun dan mengembangkan karya (misalnya sekolah, rumah sakit, panti, dll) kita? Apakah kita sudah memberi kepada mereka apa yang menjadi hak mereka? Atau kita sebaliknya bertindak seperti pemilik kebun anggur (bdk Mat 20:15) yang dengan bebasnya menggunakan hak miliknya menurut kehendaknya sendiri?