Headline Majalah PERANTAU

Pencarian Lokal

Custom Search

Titipan Link Teman

Saturday, December 6, 2008

Fokus

EKONOMI YANG BERKEADILAN, MUNGKINKAH?
( Iron Rupa, OFM)

Kenaikan harga bahan bakar minyak menimbulkan dua fenomena dalam kehidupan bermasyarakat. Di satu sisi, bagi kelompok masyarakat miskin, kenaikan BBM adalah sebuah bencana bahkan kutukan bagi keberlangsungan kehidupan mereka. Kenaikan BBM mempunyai efek yang sangat luas kepada semakin melonjaknya harga-harga bahan kebutuhan pokok dan juga pelayanan jasa khususnya transportasi. Tidak mengherankan kalau gelombang demonstrasi yang mengekspresikan penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM semakin hari semakin dominan. Menanggapi sikap penolakan masyarakat, pemerintah mengambil langkah untuk memberikan bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan khusus mahasiswa (BKM) bagi mereka yang dikategorikan miskin serta berprestasi lewat kriteria pemerintah.
Di sisi lain, permintaan akan produk-produk kebutuhan non-primer khususnya motor dan mobil kelas 1.000 CC pada saat kenaikan harga BBM pun tetap menunjukkan grafik naik. Bagi mereka, golongan orang-orang yang kaya dan bermodal, fenomena kenaikan BBM seakan-akan tidak “mengganggu” kenyamanan kehidupan mereka. Hal ini menjadi semakin jelas kalau melihat semakin banyaknya mobil-mobil mewah yang berseliweran di jalanan. Bahkan bagi para pemilik modal dan kaum spekulan khususnya di bidang minyak, kenaikan harga BBM dilihat sebagai “berkah” untuk menarik keuntungan individu yang sebesar-besarnya.
Fenomena ini menunjukkan potret riil dari ekonomi yang tidak berkeadilan. Gelombang arus globalisasi yang senantiasa mengusung jargon kesejahteraan global ternyata menjadi janji yang mendekati sebuah utopia. Pertanyaannya adalah apakah ekonomi yang berkeadilan masih mungkin diharapkan dan diperjuangkan agar dapat terealisasi di muka bumi ini? Bagi kaum penganut sikap pesimisme, kemiskinan material sudah, sedang dan akan terus ada di dunia ini. Sehingga gagasan ekonomi yang berkeadilan adalah sebuah pengharapan semu. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa upaya menumbuhkan ekonomi yang berkeadilan menjadi tidak mungkin dan sulit. Sebaliknya, arus sejarah globalisasi ini bagi kita haruslah diarahkan pada upaya membawa alternatif-alternatif terbaik untuk membangun ekonomi yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat.

KARAKTER GLOBALISASI
Dalam seminar Dies Natalis XXXIV STF Driyarkara-Jakarta, 5 April 2003, Rm. B. Herry-Priyono SJ mengungkapkan bahwa di paroh dasawarsa 1970-an, sebuah tata ekonomi baru yang dinamakan globalisasi baru mulai bergerak. Filsafat ekonomi-politik globalisasi adalah neoliberalisme. Dalam sistem neoliberalisme, manusia pertama-tama dan terutama dilihat sebagai homo economicus (manusia ekonomi). Ini berarti bahwa cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi merupakan satu-satunya model yang mendasari semua tindakan dan relasi antarmanusia, baik itu persahabatan, keluarga, tata Negara maupun hubungan internasional.
Pemahaman bahwa hakekat manusia sebagai manusia ekonomi (homo economicus) semata memonopoli dan menggilas hakekat manusia yang multidimensi. Hakekat manusia sebagai homo socius (manusia sosial) dan manusia sebagai homo religious (manusia religius) direduksi kepada perhitungan untung rugi (utilitarianisme), manusia ekonomi (homo economicus).
Ada dua hal yang ingin dicapai dari gagasan manusia sebagai homo economicus semata. Pertama, relasi antar pribadi serta hubungan-hubungan kita yang lain mesti dipahami dengan memakai konsep dan tolok ukur ekonomi sistem pasar. Ini berarti, kita berkawan dan berelasi dengan sesama kita haruslah dituntun dengan kalkukasi profitnya khususnya ditakar dengan nominal uang / modal. Saya sebagai seorang religius dalam memilih kawan atau rekan kerja, saya akan menilai apakah rekan kerja saya cukup bermodal atau tidak, relasi ini membawa keuntungan buat saya atau tidak. Kalau ia dari kalangan mampu dan menguntungkan saya, maka saya bekerja dengan semangat. Tetapi jikalau rekan kerja kita dari kalangan ”kurang mampu”, kita cederung bersikap ogah-ogahan.
Kedua, prinsip ekonomi sistem pasar neoliberalisme ini digunakan sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi berbagai kebijakan pemerintah suatu Negara. Bukan saja dalam relasi antar individu, sistem mengeruk profit dan perolehan laba yang sebesar-besarnya menjadi ukuran kebijakan pemerintahan sebuah negara. Kebijakan pemerintah haruslah terarah pada penumpukan keuntungan dan modal. Alhasil, perhatian kepada kesejahteraan masyarakat menjadi ”sekunder”. Bahkan demi penumpukan modal dan keuntungan bagi ”pemerintah suatu negara”, pengorbanan dari masyarakat menjadi sebuah ”keharusan”.
Tampak bahwa neoliberalisme ekonomi secara perlahan mengingkari tujuan hidup bersama yakni “kesejahteraan bersama” (commonwealth). Tujuan yang diusung oleh neoliberalisme adalah akumulasi “kekayaan individual” (individual wealth). Di sinilah terjadi penggusuran ruang hidup sosial, hidup bersaudara dalam kebersamaan dengan urusan individual. Globalisasi dengan filsafat ekonominya neoliberalisme telah meningkatkan persaingan demi penumpukan kekayaan pribadi dengan akibat bahwa kesejahteraan rakyat atau bersama menjadi nomor kedua. Bukan prioritas. Kesejahteraan bersama menjadi efek semata bukan tujuan utama.

RELEVANSI HIDUP FRANSISKAN
Persoalan terlihat jelas berkaitan dengan kehidupan kita sebagai Fransiskan dari fenomena globalisasi adalah sebagai berikut. Pertama, penghargaan terhadap sesama saudara didasarkan pada penghasilan finansial, produktivitasnya dan kemampuan-kemampuannya yang diukur dengan kriteria ekonomi (uang). Kedua, adanya gap atau kesenjangan antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin yang makin lebar. Ketiga, kesejahteraan dan persaudaraan bukanlah menjadi dasar dan puncak hidup. Sebaliknya urusan individu, masing-masing pribadi semata adalah yang prioritas.
Ketiga persoalan ini menantang dan menguji penghayatan dan pengamalan spiritual Fransiskan kita. Pertama, kriteria homo economicus ini bertentangan dengan spirit Fransiskan kita. Spriritualitas kita sebagai fransiskan melihat manusia (bahkan seluruh alam ciptaan) adalah saudara dan saudari kita sebagai sesama ciptaan-Nya. Konsep manusia sebagai saudara mengindikasikan dua hal. Pertama, unsur sosial dan persaudaraan dalam solidaritas menjadi karakter manusia ala fransiskan. Bagi para pengikut St. Fransiskus, homo socius adalah hakekat manusia sebagai citra Allah yang selalu ingin berelasi dengan manusia ciptaan-Nya. Kedua, pengakuan manusia sebagai saudara membangun cara hidup fransiskan yang membawa damai, yang menerima orang lain apa adanya tanpa ada kriteria apapun. Bagi para fransiskan, sesama adalah saudara yang dianugerahkan Tuhan bagi kita. Oleh karena itu, seperti apa adanya saudara kita dihadapan Allah demikianlah saudara itu harus dihormati dan dihargai. Bukan dihormati dan dihargai karena jabatan, popularitas dan produktivitas serta profitnya bagi Ordo atau Tarekat.
Kedua, membangun sikap peduli dan solidaritas ala gerakan Fransiskan awal. Kepedulian, persaudaraan, dan solidaritas serta kegembiraan menjadi trade mark saudara-saudara awal pengikut St. Fransiskus Assisi. Berhadapan dengan konteks sosial yang membuat jurang antara kaum borjuis dan kaum proletariat, saudara-saudara fransiskan mempopulerkan cara hidup sederhana, cara hidup yang mau berbagi dengan mereka yang berkekurangan. Mereka tidak saja menganjurkan, tapi mereka melakukannya. Mereka menjual harta miliknya, membagikannya kepada orang yang membutuhkan dan mengikuti St. Fransiskus. Kita memang tidak perlu menjual seluruh harta benda ordo dan tarekat untuk membantu mereka yang membutuhkan, tapi kita bisa berbagi dari apa yang kita miliki khususnya perhatian dan cinta kita kepada orang-orang di sekitar kita khususnya yang membutuhkan.
Ketiga, mengokohkan dan memprioritaskan nilai-nilai kebersamaan dan hidup bersaudara. Berhadapan dengan tawaran hidup individualisme yang menawarkan keterbukaan untuk mencari kenikmatan dan kesenangan pribadi semata-mata, spiritualitas Fransiskan mengajak kita untuk memilih dan memprioritaskan kebutuhan bersama dalam komunitas, ordo atau tarekat. Kita diajak untuk tetap mengedepankan janji setia kita untuk menyerahkan seluruh hidup dalam ordo atau tarekat.

SEBUAH EKSPEKTASI: EKONOMI KERAKYATAN
Ekonomi yang berkeadilan selalu mungkin diwujudkan jika nilai-nilai penghargaan terhadap sesama manusia menjadi prioritas. Rakyat dilihat sebagai subjek ekonomi bukan sebagai objek ekslploitasi. Pada titik inilah, ekonomi rakyat perlu diprioritaskan dan diutamakan. Sebuah sistem ekonomi yang bersumber dan berpuncak pada kepentingan rakyat atau masyarakat banyak.
Sebagai seorang fransiskan, penghargaan kepada sesama sebagai saudara dan membangun sikap peduli dan bersolider dengan mereka yang membutuhkan serta proaktif membangun jaringan untuk memengaruhi kebijakan publik yang berorientasi pada kepentingan masyarakat menjadi pilar-pilar yang kokoh untuk membangun karakter ekonomi yang berkeadilan. Membangun dan mengembangkan ketiga aspek ini, hemat saya, kita sedang bangkit dan bergerak untuk terlibat dalam membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik dan lebih sejahtera.Oleh karaena itu dalam menjawab persoalan dan tantangan yang diberikan oleh globalisasi, para pengikut St. Fransiskus diajak untuk mampu memberi alternatif-alternatif cara hidup yang membuka kesadaran bersama bahwa upaya menciptakan keselamatan (baca: kesejahteraan) manusia bersama pada hakekatnya adalah juga menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama. Mulailah dari diri sendiri, keluarga, komunitas, ordo atau tarekat maka ekonomi yang berkeadilan mampu terwujud.

1 comment:

  1. tidak ada tanggapan dari keluarga Fransiskan yang lain tentang keberadaan perantau? ah, kasihan. langsung bingung? kenapa bingung??? memalukan. berarti pegosongan diri sebgai fransiskan belum dihayati... hehehe/...

    redaksi apa tidak malu pada zaman Fransiskus dan para pedahulu sebelum era komputer? mereka tidak pernah mengeluh dan bingung...!

    kalau jperfaya pada penyelenggaraan Allah, kenapa bingung... ini sikap yang memalukan yang dipamerkan di web!

    ingatlah anda ini saudara dina,
    minoritas
    tidak berhak mengenluh apalagi bingung.
    kalau masih bingung... saya sebagai awam yang membaca di internet ini, bingung dengan spiritaulitas kalian...

    salam....

    ReplyDelete

Link Teman-Teman