Headline Majalah PERANTAU

Pencarian Lokal

Custom Search

Titipan Link Teman

Saturday, December 6, 2008

Saudara Kelana

Apa Yang Perlu?
Pernah semboyan “Indonesianisasi” laku keras di masyarakat kita. Ada rasa bangga dalam suara orang yang mengucapkannya. Mungkin karena nuansa yang terkandung dalam semboyan itu ialah Indonesia menjadi pusat dan patokan untuk semua yang datang dari luar. Apapun yang berasal dari negeri lain, kalau mau diterima dalam lingkup yang disebut Indonesia, harus bisa disesuaikan dengan kepribadian bangsa kita. Penulisan sejarah pun harus Indonesiasentris, ditulis dan dibaca menurut perspektif dan kepentingan bangsa. Lain halnya dengan sekarang. Orang lebih gencar dan bangga bicara tentang “globalisasi”. Batas-batas negara menjadi kabur dan masyarakat dunia menjadi bagaikan satu kampung sejagad, “global village”. Mana yang menjadi pusat dan patokan? Bukan lagi satu negara atau bangsa seperti Indonesia tetapi sesuatu yang lain, satu kekuatan yang sulit diidentifikasi, tangan yang tidak terlihat. Di bidang ekonomi, globalisasi berarti “pasar bebas”. Satu negara menjual dagangannya ke negara lain dengan harga yang ditentukan oleh pasar itu sendiri. Dalam suasana pasar bebas itu yang menjadi pusat yang menentukan pastilah negara yang adikuasa dan perusahaan multinasional yang lincah berdagang.
Globalisasi dan pasar bebas membawa dampak dalam ukuran keperluan kita. Ada banyak hal yang sebelumnya tidak masuk dalam daftar kebutuhan kita, kini mungkin kita anggap amat perlu hanya karena paksaan yang halus tetapi amat kuat dari tangan yang tidak terlihat itu.Telepon, misalnya.Ketika hanya ada telepon kabel, alat ini sudah amat otoriter. Kalau dia berdering, orang pasti bergegas angkat gagang telepon, biarpun harus meninggalkan piring nasinya diserbu lalat. Apalagi sekarang dengan telepon selular. HP menjadi tiran yang mahakuasa.Dia ditaruh di saku, ditempelkan di pinggang atau dikalungkan di leher agar jangan sampai dia memanggil dan tidak disahuti. Awak kabin pesawat udara berulang mohon agar HP dinonaktifkan. Alasannya amat serius: mengganggu komunikasi pilot dengan risiko bencana mati untuk kita semua. Meskipun begitu tetap ada yang tidak peduli. Kuasa si tiran itu memang luar biasa kuatnya. Dalam gereja pun, di tengah perayaan liturgi, tidak jarang si tiran itu memberi perintah, dan dituruti. Ternyata dia lebih berkuasa daripada Tuhan, karena sudah masuk dalam daftar barang yang mutlak perlu untuk manusia yang mengglobal itu. Selera makan kita pun turut terkena. Ayam goreng Sri Ningsih tidak lagi mencukupi. Kita juga merasa perlu ke Kentucky Fried Chicken. Bukan karena lebih enak dan lebih bergizi, tetapi lebih bergengsi. Dan banyak hal lain kita rasa perlu hanya karena mau gengsi itu.Kemiskinan di kampung-kampung bertambah.Sebenarnya, kata pengamat ekonomi, bukan pertama-tama karena pendapatan berkurang, tetapi karena apa yang dianggap perlu itu bertambah.Kurang uang, maka hanya mau “raskin” yang penuh kutu. Tetapi ada uang untuk pulsa, tv, DVD dan elektronik lainnya yang menuntut pengeluaran terus-menerus.
Masalahnya di situ. Apa sebenarnya yang perlu untuk kita? Patokan mana yang bisa dipakai untuk menentukan yang ini perlu dan yang itu tidak perlu? Rasul Paulus memberikan pegangan yang amat sederhana:”Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah itu”( 1 Tim 6:8). Pasti kita katakan itu tidak realistis karena dunia kita sudah berbeda jauh dengan dunianya Paulus. Fransiskus lebih radikal lagi. Menurut dia, yang perlu untuk kita hanya satu, yaitu memiliki Roh Tuhan dan membuka diri kita untuk karyanya yang kudus (AngBul X,8).
Namun ia tetap realistis seperti Paulus. Juga bagi Fransiskus makanan dan pakaian tetap perlu. Tetapi berapa banyak? Pasti tidak perlu memiliki gudang beras dan toko pakaian. Ia “memegang” batas minimal. Makanan didapat sebagai upah kerja dari hari ke hari. Dan pakaian ditetapkan dengan jelas dalam Anggaran Dasar (AngBul II).Itu aturannya. Tetapi, kalau mau, aturan itu mudah sekali ditarik-ulur seperti karet. Pasalnya karena adanya klausul: “kalau perlu”. “Kalau perlu”, karena kebutuhan, Saudara-saudara boleh pakai sepatu meski sebenarnya dilarang. “Kalau perlu”, sesuai dengan keadaan tempat dan musim serta daerah dingin, para minister dan kustos boleh menerima apa yang dibutuhkan untuk keperluan mereka yang sakit dan untuk pakaian saudara lainnya. Jadi patokannya ialah “kalau perlu”. Bagi Fransiskus patokan sederhana itu mencukupi. Ia percaya bahwa setiap Saudara, dalam terang Roh Kudus, mampu mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan cara hidup yang dijanjikannya. Sayang, Fransiskus tidak menyadari bahwa kalau kita masuk supermarket dan melihat semua tawaran “pasar bebas” yang begitu menggiurkan, kita rasa semuanya perlu, dan uang keluar tanpa pertimbangan. Tapi bukan para saudagar dan “artis-artis” iklan yang salah. Kelemahan berada dalam diri kita sendiri. Kita seperti kolam yang bocor, kata Nabi Yeremia. Berapa banyak pun air dituangkan ke dalamnya, tidak pernah cukup. Karena itu, untuk menentukan apa yang perlu dan apa yang tidak perlu, jangan tanyakan pada kolam yang bocor itu, yang pasti menjawab semua perlu. Tanyakanlah pada “minister dan kustos”, kata Fransiskus. Atasan kitalah yang berwenang menentukan apa yang kita perlukan, sesuai dengan kehendak Tuhan. Itulah makna ketaatan religius pada atasan.

No comments:

Post a Comment

Link Teman-Teman