Headline Majalah PERANTAU

Pencarian Lokal

Custom Search

Titipan Link Teman

Saturday, December 6, 2008

Spiritualitas

Religius Fransiskan Dalam Gelanggang Pertaruhan Uang
(Jimmy Hendrik Rance Tnomat, OFM)
Masih segar dalam pita ingatan saya ketika Magister novis (sekitar enam tahun lalu) mengatakan kepada kami bahwa “bila ketiga nasehat Injil (kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan) tidak diinkorporasikan dalam diri orang sehingga menjadi bagian yang integral dalam hidupnya, maka bisa dipastikan bahwa orang yang bersangkutan akan membiarkan hidupnya mengalir begitu saja....” Beliau mengatakan hal ini ketika ia menjelaskan mengenai makna penghayatan ketiga nasehat Injil bagi para religius. “.....bahkan dalam karya pun orang tersebut akan lebih memilih tempat basah, dan kerapkali buat pusing pimpinan” lanjutnya.
Salah satu penggalan yang menarik buat saya dari ungkapan di atas adalah tempat basah. Waktu itu, yang kecantol dalam benak dan pikiran saya soal sebutan tempat basah adalah lahan atau tanah yang cukup subur. Maklum, saya berasal dari keluarga petani yang sehari-hari mengakrabi (saudari) tanah ini, sehingga ketika mendengar sebutan itu saya langsung berasosiasi mengenai tanah yang subur. Ternyata dalam perjalanan waktu saya baru menyadari bahwa sebutan itu punya konotasinya. Sebutan itu, sekurang-kurangnya di kalangan kaum berjubah, dikonotasikan dengan suatu tempat karya yang mendatangkan banyak kemudahan, kemapanan, kenyamanan, fasilitas, dan termasuk di dalamnya soal uang. Artinya, tempat basah yang dimaksud itu tidak lain adalah tempat karya di mana segala kebutuhan -bagi kaum berjubah- terpenuhi. Apalagi di zaman (globalisasi) ini, salah satu tolok-ukur dari segala hal yang membawa kemudahan (memenuhi kebutuhan) itu adalah uang.

Zaman di mana Uang Menjadi Sang Maharaja Baru
Sampai pada pemahaman di atas, saya coba berenung lebih jauh soal situasi kapitalisme ekonomi global yang tengah ‘menebar pesonanya’ saat ini. Tentu hal ini tak bisa kita pisahkan dari apa yang disebut sebagai globalisasi. Berbicara soal globalisasi, ada paradoks yang kita jumpai. Di satu pihak, globalisasi memberi andil dalam proses perkembangan kehidupan manusia. Dengan adanya proses globalisasi banyak hal yang bisa kita lakukan dan peroleh dengan cara yang sangat mudah. Misalnya soal informasi, pengetaahuan, dan teknologi. Di lain pihak, revolusi informatika, pengtahuan, dan teknologi, yang ditampakkan oleh era globalisasi ini, telah melahirkan ketergantungan sendiri dalam diri manusia. Kemuajuan teknologi di bidang informasi membuat orang betah berlama-lama di depan TV untuk nonton sinetron kesayangannya, atau berlama-lama di depan internet. Hal ini menggantikan kebiasaan ngerumpi yang sebenarnya lebih mendekatkan ikatan emosional antar individu. Saya sendiri melihat bahwa ruang hubungan sosial antar manusia akhirnya bersifat impersonal. Tak berlebihan kalau saya mengatakan di sini bahwa globalisasi ternyata membawa ekses-ekses negatif yang menghancurkan kehidupan dan mengancam integritas dunia (manusia). Selain kemajuan dalam bidang yang saya sebutkan tadi, globalisasi juga mendapat formatnya yang paling jelas dalam kapitalisme ekonomi. Kapitalisme ekonomi global yang kemudian mendapat mantel barunya dalam neo-liberalisme telah mengubah dunia menjadi sebuah arena pertaruhan uang. Ia telah merekonstruksi dunia ini menjadi dunia yang dipenuhi tangisan kematian. Tidak ada lagi kehidupan, yang ada hanya uang dan uang.
Jim Hoagland mengatakan bahwa “Ciri yang menentukan dari era politik post-modern sekarang ini ialah dominasi uang yang mutlak sebagai prinsip yang mengatur hubungan manusia dan hubungan internasional. Waktu yang masih ada tampaknya tidak lebih dari beberapa hari saja” (David C. Korten, The Post-Corporate World (edisi terj.) Obor: Jakarta, 2002). Pernyataan Jim ini memang secara tepat merepresentasikan situasi dunia kita saat ini. Ciri yang paling nampak dalam dunia saat ini adalah dominasi uang atas kehidupan manusia. Segala sesuatu bahkan manusia sendiri yang menciptakan nilai tukar uang dinilai dengan seberapa besar nilai tukarnya terhadap uang. Uang menjadi sang maharaja baru yang menguasai segala sumber kehidupan.

Uang Bukan Tujuan Hidup
Bicara soal uang tidak gampang. Sensitif! Pengelolaannya tidak gampang. Untuk itu, kalau saya tidak keliru, perlu orang yang secara khusus belajar tentang pengelolaan atau management keuangan, dlsb. Di setiap tarekat, ada orang yang secara khusus menggeluti hal ini. Pengelolaan keuangan ini, hemat saya, penting tetapi bukan tujuan hidup. Kita lihat misalnya dalam tulisan-tulisan Paulus yang memberi perhatian pada kolekte untuk Yerusalem (lih., Gal 2:10; 1 Kor 16:1-4; 2 Kor 8-0; Rm 15:25-32; juga Kis 24:17). Tulisan-tulisan Paulus ini memperlihatkan bahwa pengelolaan uang mendapat perhatian serius. Memang, saya sendiri sadari bahwa maksud tulisan-tulisan itu selalu dalam konteks yang lebih luas. Dalam 2 Kor 8:4 dan 9:13 Paulus menyebut kolekte itu koinonia artinya persekutuan (bdk, Rm 15:27). Juga, di sini kelihatan bahwa pengelolaan uang penting, tetapi bukan tujuan hidup.
Di samping itu, tak bisa kita elakkan bahwa uang itu sangat berguna. Kata Pengkhotbah: “untuk tertawa orang menghidangkan makanan, anggur meriangkan hidup, dan uang memungkinkan semuanya itu” (10:19). Ini berarti bahwa uang adalah sarana yang berfaedah. Tetapi, hemat saya, kalau uang menjadi tujuan maka segala-galanya akan kacau-balau. Sebab “siapa mencintai uang tidak akan puas, dan siapa mencintai kekayaan tidak akan puas dengan penghasilannya” (Pkh 5:9). 1 Timotius malah berani berkata bahwa “akar segala kejahatan ialah cinta uang” (1 Tim 6:10). Sebab “tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon” (Mat 6:24). Mungkin saja karena keserakahan, uang yang sebenarnya menjadi sarana dibuat menjadi tujuan.

Religius Dalam Gelanggang Pertaruhan Uang
Dunia berubah dan membawa manusia pada sebuah gelanggang pertaruhan uang. Siapa yang tidak bertahan atau tidak kuat, bisa dipastikan bahwa ia akan tergelincir keluar dari gelanggang ini. Akibatnya, segala hal dapat dihalalkan atau direlatifkan agar orang bisa tetap eksis dalam gelanggang ini. Yang kuat kian kuat, sementara yang lemah makin terperosok dalam ketidak-berdayaannya. Ketimpangan terjadi di sana-sini. Keadilan pun makin disangsikan terjadi dalam gelanggang ini.
Nuraniku bertanya apakah kaum religius, secara khusus kita yang mengaku diri pengikut setia Il Poverello, mesti ikut dalam pertaruhan itu? Kalau toh ikut sebagai salah satu peserta, strategi apa yang menjadi perisai kita? Apakah strateginya itu adalah mencari tempat basah? Kalau demikian, bagaimana dengan tempat kering? Apakah kita masih ‘berbangga’ sebagai ksatria Kristus, bentara raja agung, yang ‘berbendera’ spirit hidup St. Fransiskus Assisi dan ‘bertamengkan’ option for the poor bila orientasi hidup kita adalah mencari keamanan, kenyamanan, kemapanan, keuntungan sebesar-besarnya, dlsb dalam gelanggang ini?Pikiran liar yang juga mengusikku adalah di mana letak keadilan, solidaritas, dlsb? Apakah selama ini kita sudah adil, misalnya terhadap mereka (karyawan/ti, guru, dll) yang selama ini dengan setia bersama kita membangun dan mengembangkan karya (misalnya sekolah, rumah sakit, panti, dll) kita? Apakah kita sudah memberi kepada mereka apa yang menjadi hak mereka? Atau kita sebaliknya bertindak seperti pemilik kebun anggur (bdk Mat 20:15) yang dengan bebasnya menggunakan hak miliknya menurut kehendaknya sendiri?

Saudara Kelana

Apa Yang Perlu?
Pernah semboyan “Indonesianisasi” laku keras di masyarakat kita. Ada rasa bangga dalam suara orang yang mengucapkannya. Mungkin karena nuansa yang terkandung dalam semboyan itu ialah Indonesia menjadi pusat dan patokan untuk semua yang datang dari luar. Apapun yang berasal dari negeri lain, kalau mau diterima dalam lingkup yang disebut Indonesia, harus bisa disesuaikan dengan kepribadian bangsa kita. Penulisan sejarah pun harus Indonesiasentris, ditulis dan dibaca menurut perspektif dan kepentingan bangsa. Lain halnya dengan sekarang. Orang lebih gencar dan bangga bicara tentang “globalisasi”. Batas-batas negara menjadi kabur dan masyarakat dunia menjadi bagaikan satu kampung sejagad, “global village”. Mana yang menjadi pusat dan patokan? Bukan lagi satu negara atau bangsa seperti Indonesia tetapi sesuatu yang lain, satu kekuatan yang sulit diidentifikasi, tangan yang tidak terlihat. Di bidang ekonomi, globalisasi berarti “pasar bebas”. Satu negara menjual dagangannya ke negara lain dengan harga yang ditentukan oleh pasar itu sendiri. Dalam suasana pasar bebas itu yang menjadi pusat yang menentukan pastilah negara yang adikuasa dan perusahaan multinasional yang lincah berdagang.
Globalisasi dan pasar bebas membawa dampak dalam ukuran keperluan kita. Ada banyak hal yang sebelumnya tidak masuk dalam daftar kebutuhan kita, kini mungkin kita anggap amat perlu hanya karena paksaan yang halus tetapi amat kuat dari tangan yang tidak terlihat itu.Telepon, misalnya.Ketika hanya ada telepon kabel, alat ini sudah amat otoriter. Kalau dia berdering, orang pasti bergegas angkat gagang telepon, biarpun harus meninggalkan piring nasinya diserbu lalat. Apalagi sekarang dengan telepon selular. HP menjadi tiran yang mahakuasa.Dia ditaruh di saku, ditempelkan di pinggang atau dikalungkan di leher agar jangan sampai dia memanggil dan tidak disahuti. Awak kabin pesawat udara berulang mohon agar HP dinonaktifkan. Alasannya amat serius: mengganggu komunikasi pilot dengan risiko bencana mati untuk kita semua. Meskipun begitu tetap ada yang tidak peduli. Kuasa si tiran itu memang luar biasa kuatnya. Dalam gereja pun, di tengah perayaan liturgi, tidak jarang si tiran itu memberi perintah, dan dituruti. Ternyata dia lebih berkuasa daripada Tuhan, karena sudah masuk dalam daftar barang yang mutlak perlu untuk manusia yang mengglobal itu. Selera makan kita pun turut terkena. Ayam goreng Sri Ningsih tidak lagi mencukupi. Kita juga merasa perlu ke Kentucky Fried Chicken. Bukan karena lebih enak dan lebih bergizi, tetapi lebih bergengsi. Dan banyak hal lain kita rasa perlu hanya karena mau gengsi itu.Kemiskinan di kampung-kampung bertambah.Sebenarnya, kata pengamat ekonomi, bukan pertama-tama karena pendapatan berkurang, tetapi karena apa yang dianggap perlu itu bertambah.Kurang uang, maka hanya mau “raskin” yang penuh kutu. Tetapi ada uang untuk pulsa, tv, DVD dan elektronik lainnya yang menuntut pengeluaran terus-menerus.
Masalahnya di situ. Apa sebenarnya yang perlu untuk kita? Patokan mana yang bisa dipakai untuk menentukan yang ini perlu dan yang itu tidak perlu? Rasul Paulus memberikan pegangan yang amat sederhana:”Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah itu”( 1 Tim 6:8). Pasti kita katakan itu tidak realistis karena dunia kita sudah berbeda jauh dengan dunianya Paulus. Fransiskus lebih radikal lagi. Menurut dia, yang perlu untuk kita hanya satu, yaitu memiliki Roh Tuhan dan membuka diri kita untuk karyanya yang kudus (AngBul X,8).
Namun ia tetap realistis seperti Paulus. Juga bagi Fransiskus makanan dan pakaian tetap perlu. Tetapi berapa banyak? Pasti tidak perlu memiliki gudang beras dan toko pakaian. Ia “memegang” batas minimal. Makanan didapat sebagai upah kerja dari hari ke hari. Dan pakaian ditetapkan dengan jelas dalam Anggaran Dasar (AngBul II).Itu aturannya. Tetapi, kalau mau, aturan itu mudah sekali ditarik-ulur seperti karet. Pasalnya karena adanya klausul: “kalau perlu”. “Kalau perlu”, karena kebutuhan, Saudara-saudara boleh pakai sepatu meski sebenarnya dilarang. “Kalau perlu”, sesuai dengan keadaan tempat dan musim serta daerah dingin, para minister dan kustos boleh menerima apa yang dibutuhkan untuk keperluan mereka yang sakit dan untuk pakaian saudara lainnya. Jadi patokannya ialah “kalau perlu”. Bagi Fransiskus patokan sederhana itu mencukupi. Ia percaya bahwa setiap Saudara, dalam terang Roh Kudus, mampu mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan cara hidup yang dijanjikannya. Sayang, Fransiskus tidak menyadari bahwa kalau kita masuk supermarket dan melihat semua tawaran “pasar bebas” yang begitu menggiurkan, kita rasa semuanya perlu, dan uang keluar tanpa pertimbangan. Tapi bukan para saudagar dan “artis-artis” iklan yang salah. Kelemahan berada dalam diri kita sendiri. Kita seperti kolam yang bocor, kata Nabi Yeremia. Berapa banyak pun air dituangkan ke dalamnya, tidak pernah cukup. Karena itu, untuk menentukan apa yang perlu dan apa yang tidak perlu, jangan tanyakan pada kolam yang bocor itu, yang pasti menjawab semua perlu. Tanyakanlah pada “minister dan kustos”, kata Fransiskus. Atasan kitalah yang berwenang menentukan apa yang kita perlukan, sesuai dengan kehendak Tuhan. Itulah makna ketaatan religius pada atasan.

Fokus

MIMPI MEMBANGUN EKONOMI BERKEADILAN
DI TENGAH PUSARAN KAPITALISME PERTAMBANGAN GLOBAL
(Kristo Tara, ofm)
Ada suatu pemahaman baru yang tumbuh dalam beberapa tahun terakhir ini terkait dengan globalisasi. Banyak orang melihat globalisasi adalah jargon yang diusung oleh para pendukung neo-liberalisme dalam konteks ekonomi yang menelanjangi segala batasan negara demi hegemoni pasar bebas. Lewat jargon ini, para kapitalis mendorong negara untuk meretas segala ikatan nasionalisme dan melucuti identitas kebangsaan, mengobrak-abrik ketahanan nasional lantas meraup kekayaan sumber daya alam. Demikianlah, menurut Mansour Fakih (2001), dalam konteks ekonomi, globalisasi merupakan pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam sebuah sistem ekonomi global.
Joseph Stiglitz benar ketika ia mengatakan bahwa Indonesia adalah korban globalisasi. Penulis buku Making Globalization Work itu bertutur demikian: “Indonesia adalah korban globalisasi yang masih menghadapi tantangan berat berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran dan memacu pertumbuhan ekonomi” (Bisnis Indonesia, 15/08/2007). Korban globalisasi yang dimaksudkan peraih hadiah nobel ekonomi 2001 ini adalah kepatuhan Indonesia terhadap Konsensus Washington yang disodorkan lembaga keuangan dunia (IMF dan World Bank) lewat paket privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi pasar. Lantas Indonesia terjerumus dalam pusaran pasar bebas dunia sekaligus terjebak dalam kebijakan privatisasi koruptif.

Kapitalisme Pertambangan Global
Salah satu sumber ekonomi yang paling diminati para investor saat ini adalah sektor pertambangan. Menurut Price Waterhouse Coopers (PWC), pendapatan negara dari 12 industri tambang yang mereka survei sebesar Rp. 5.666.000.000.000. Pemerintah terpukau oleh angka tersebut, lantas dengan sekuat tenaga membuka lahan negara seluas-luasnya untuk industri pertambangan. Benarkah pertambangan mendongkrak pendapatan nasional dan mensejahterakan masyarakat Indonesia?
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di mana dan kapan saja, perusahaan pertambangan yang dikelola secara besar-besaran tidak akan menguntungkan negara pemilik apalagi masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Pendapatan negara dari sektor pertambangan ternyata tidak sebanding dengan daya rusaknya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebab, selain pengerukan sumber daya alam, seluruh tahapan dan proses industri pertambangan selalu menyisakan persoalan yang merugikan dan menambah penderitaan masyarakat dalam semua aspek. Konflik sosial horisontal-vertikal, hancur dan hilangnya sumber daya ekonomi dan budaya rakyat, serta kerusakan ekologi adalah biaya yang harus ditanggung rakyat.
Penghisapan sumber daya ekonomi berjalan beriringan dengan peminggiran kaum marginal yang tergusur dan tergerus secara sistematis dan legal. Angka kemiskinan meningkat, jumlah pengangguran prduktif terus bertambah. Sejalan dengan itu, kriminalitas dan konflik sosial tumbuh pesat. Lantas pelanggaran HAM menjadi kisah keseharian dalam pusaran impunitas yang langgeng. Sialnya pemerintah tidak terlalu ambil pusing dengan persoalan kerakyatan, tetapi sibuk menadah rezeki dari kran-kran koorporasi kapitalis. Kemiskinan dan ketidakadilan akibat kapitalisme ekonomi di sektor pertambangan adalah fakta, tetapi kesejahteraan ekonomi masyarakat di balik tambang adalah mitos yang diciptakan para kapitalis dan birokrat yang korup.

Mungkinkah Menciptakan Ekonomi yang Berkeadilan?
Di dalam cengkraman tangan kapitalisme ekonomi global yang begitu kuat, nampaknya sangat sulit untuk menciptakan ekonomi yang berkeadilan bagi semua. Kita mengharapkan lahirnya sistem ekonomi alternatif yang lebih memberi ruang bagi rakyat. Hanya saja gerakan-gerakan ekonomi alternatif sering kali mudah dipatahkan oleh tangan-tangan kapitalis. Lantas apa yang bisa kita lakukan?
Kekuatan kapitalis bisa dihadang lewat kritikan dan penolakan terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Kaum intelektual dan politisi pro rakyat harus terus-menerus didorong agar memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat. Penguatan civil sociaty harus terus dirawat agar tidak terjebak dalam permainan jahat para kapitalis.
Dalam level praksis, kekuatan kapitalisme pertambangan global bisa dilawan lewat proses advokasi masyarakat. Dalam konteks itu, kita boleh belajar dari kegiatan advokasi yang dilakukan oleh komisi JPIC OFM terhadap masyarakat Lembata terkait rencana pertambangan emas oleh PT. Merukh Enterprisess.
Setelah melakukan penelitian investigatif untuk mendapatkan sebuah laporan yang lebih komprehensif mengenai rencana pertambangan, maka JPIC OFM bersama JPIC SVD Ende dan lembaga masyarakat lokal memutuskan untuk mengambil langkah advokasi. Advokasi yang dimaksudkan adalah pendampingan terhadap masyarakat korban atau calon korban pertambangan agar menyadari posisi mereka sebagai warga negara yang bisa memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya dari klaim sepihak pengusaha dan pemerintah. Karena itu, proses advokasi ini pertama-tama adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat agar menyadari seluk-beluk pertambangan dengan segala dampak dan konsekuensinya.
Untuk mempertajam proses advokasi JPIC OFM, dalam kerja sama dengan masyarakat lokal dan lembaga lain, mengagendakan beberapa kegiatan. Pertama, sosialisasi laporan hasil penelitian JPIC OFM kepada masyarakat dan pemerintah. Tujuannya agar, baik masyarakat, pemerintah maupun perusahaan memahami persoalan rencana pertambangan secara lebih komprehensif. Ruang ini juga menjadi kesempatan untuk memberikan pendidikan yang mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat.
Kedua, kajian ekologis, sosial, ekonomi dan budaya. Tujuannya agar masyarakat, pemerintah, dan perusahaan memahami dampak pertambangan terhadap kehidupan ekonomi, sosial-budaya, dan alam ciptaan. Dengan pemahaman ini, diharapkan masyarakat bersama pemerintah dapat mengembangkan potensi ekonomi sektor lain yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan dalam meningkatkan PAD.
Ketiga, penguatan komunitas basis. Kegiatan ini dimaksukan untuk memberikan pendidikan dan pencerahan kepada masyarakat terkait dengan kesadaran akan pentingnya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak ulayat dan hak guna kawasan hunian; hak masyarakat adat untuk memiliki, memanfaatkan, dan mengelola kawasan sumber dayanya; penglolaan hutan harus terus-menerus mempertahankan dan memperbaiki kualitas sosial ekonomi masyarakat lokal sekaligus melestarikan keanekaragaman hayati; serta pemberdayaan masyarakat di bidang pertanian.
Keempat, membangun jaringan kerja. Untuk memperkuat barisan advokasi, selain JPIC SVD dan lembaga masyarakat lokal, JPIC OFM juga membangun jaringan kerja dengan sejumlah lembaga, baik nasional maupun internasional misalnya, Ecosoc Right, Walhi, Jatam, Kompas, Parhesia Institute, JPIC OFM Internasional, Mission Central, dan lembaga lain yang konsern terhadap persoalan masyarakat lokal.
Kelima, kegiatan advokatif lain yang dibuat JPIC OFM adalah menyelenggarakan diskusi panel di Jakarta dan Lembata dengan tema “Membongakar Mitos Kesejehtareaan Rakyat di Balik Usaha-Usaha Pertambangan”; melakukan lobby dengan berbagai pihak (nasional-internasional) yang peduli pada persoalan tambang dangan lingkungan; serta publikasi kertas posisi, film dokumenter, dan buku. Apakah dengan kegiatan seperti itu kita sedang bermimpi membangun sebuah sistem ekonomi yang berkeadilan bagi semua? Tentu saja ya! Atau setidaknya kita sedang membangun jaringan, menghimpun kekuatan untuk membangkitkan keadilan dan memungut kembali puing-puing kesejahteraan rakyat yang tergilas lemas oleh kekuatan ekonomi kapitalis. Akhirnya, apapun caranya, semua pengikut St. Fransiskus dipanggil untuk berpihak pada keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.

Fokus

EKONOMI YANG BERKEADILAN, MUNGKINKAH?
( Iron Rupa, OFM)

Kenaikan harga bahan bakar minyak menimbulkan dua fenomena dalam kehidupan bermasyarakat. Di satu sisi, bagi kelompok masyarakat miskin, kenaikan BBM adalah sebuah bencana bahkan kutukan bagi keberlangsungan kehidupan mereka. Kenaikan BBM mempunyai efek yang sangat luas kepada semakin melonjaknya harga-harga bahan kebutuhan pokok dan juga pelayanan jasa khususnya transportasi. Tidak mengherankan kalau gelombang demonstrasi yang mengekspresikan penolakan masyarakat terhadap kenaikan harga BBM semakin hari semakin dominan. Menanggapi sikap penolakan masyarakat, pemerintah mengambil langkah untuk memberikan bantuan langsung tunai (BLT) dan bantuan khusus mahasiswa (BKM) bagi mereka yang dikategorikan miskin serta berprestasi lewat kriteria pemerintah.
Di sisi lain, permintaan akan produk-produk kebutuhan non-primer khususnya motor dan mobil kelas 1.000 CC pada saat kenaikan harga BBM pun tetap menunjukkan grafik naik. Bagi mereka, golongan orang-orang yang kaya dan bermodal, fenomena kenaikan BBM seakan-akan tidak “mengganggu” kenyamanan kehidupan mereka. Hal ini menjadi semakin jelas kalau melihat semakin banyaknya mobil-mobil mewah yang berseliweran di jalanan. Bahkan bagi para pemilik modal dan kaum spekulan khususnya di bidang minyak, kenaikan harga BBM dilihat sebagai “berkah” untuk menarik keuntungan individu yang sebesar-besarnya.
Fenomena ini menunjukkan potret riil dari ekonomi yang tidak berkeadilan. Gelombang arus globalisasi yang senantiasa mengusung jargon kesejahteraan global ternyata menjadi janji yang mendekati sebuah utopia. Pertanyaannya adalah apakah ekonomi yang berkeadilan masih mungkin diharapkan dan diperjuangkan agar dapat terealisasi di muka bumi ini? Bagi kaum penganut sikap pesimisme, kemiskinan material sudah, sedang dan akan terus ada di dunia ini. Sehingga gagasan ekonomi yang berkeadilan adalah sebuah pengharapan semu. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa upaya menumbuhkan ekonomi yang berkeadilan menjadi tidak mungkin dan sulit. Sebaliknya, arus sejarah globalisasi ini bagi kita haruslah diarahkan pada upaya membawa alternatif-alternatif terbaik untuk membangun ekonomi yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat.

KARAKTER GLOBALISASI
Dalam seminar Dies Natalis XXXIV STF Driyarkara-Jakarta, 5 April 2003, Rm. B. Herry-Priyono SJ mengungkapkan bahwa di paroh dasawarsa 1970-an, sebuah tata ekonomi baru yang dinamakan globalisasi baru mulai bergerak. Filsafat ekonomi-politik globalisasi adalah neoliberalisme. Dalam sistem neoliberalisme, manusia pertama-tama dan terutama dilihat sebagai homo economicus (manusia ekonomi). Ini berarti bahwa cara-cara kita bertransaksi dalam kegiatan ekonomi merupakan satu-satunya model yang mendasari semua tindakan dan relasi antarmanusia, baik itu persahabatan, keluarga, tata Negara maupun hubungan internasional.
Pemahaman bahwa hakekat manusia sebagai manusia ekonomi (homo economicus) semata memonopoli dan menggilas hakekat manusia yang multidimensi. Hakekat manusia sebagai homo socius (manusia sosial) dan manusia sebagai homo religious (manusia religius) direduksi kepada perhitungan untung rugi (utilitarianisme), manusia ekonomi (homo economicus).
Ada dua hal yang ingin dicapai dari gagasan manusia sebagai homo economicus semata. Pertama, relasi antar pribadi serta hubungan-hubungan kita yang lain mesti dipahami dengan memakai konsep dan tolok ukur ekonomi sistem pasar. Ini berarti, kita berkawan dan berelasi dengan sesama kita haruslah dituntun dengan kalkukasi profitnya khususnya ditakar dengan nominal uang / modal. Saya sebagai seorang religius dalam memilih kawan atau rekan kerja, saya akan menilai apakah rekan kerja saya cukup bermodal atau tidak, relasi ini membawa keuntungan buat saya atau tidak. Kalau ia dari kalangan mampu dan menguntungkan saya, maka saya bekerja dengan semangat. Tetapi jikalau rekan kerja kita dari kalangan ”kurang mampu”, kita cederung bersikap ogah-ogahan.
Kedua, prinsip ekonomi sistem pasar neoliberalisme ini digunakan sebagai tolok ukur untuk mengevaluasi berbagai kebijakan pemerintah suatu Negara. Bukan saja dalam relasi antar individu, sistem mengeruk profit dan perolehan laba yang sebesar-besarnya menjadi ukuran kebijakan pemerintahan sebuah negara. Kebijakan pemerintah haruslah terarah pada penumpukan keuntungan dan modal. Alhasil, perhatian kepada kesejahteraan masyarakat menjadi ”sekunder”. Bahkan demi penumpukan modal dan keuntungan bagi ”pemerintah suatu negara”, pengorbanan dari masyarakat menjadi sebuah ”keharusan”.
Tampak bahwa neoliberalisme ekonomi secara perlahan mengingkari tujuan hidup bersama yakni “kesejahteraan bersama” (commonwealth). Tujuan yang diusung oleh neoliberalisme adalah akumulasi “kekayaan individual” (individual wealth). Di sinilah terjadi penggusuran ruang hidup sosial, hidup bersaudara dalam kebersamaan dengan urusan individual. Globalisasi dengan filsafat ekonominya neoliberalisme telah meningkatkan persaingan demi penumpukan kekayaan pribadi dengan akibat bahwa kesejahteraan rakyat atau bersama menjadi nomor kedua. Bukan prioritas. Kesejahteraan bersama menjadi efek semata bukan tujuan utama.

RELEVANSI HIDUP FRANSISKAN
Persoalan terlihat jelas berkaitan dengan kehidupan kita sebagai Fransiskan dari fenomena globalisasi adalah sebagai berikut. Pertama, penghargaan terhadap sesama saudara didasarkan pada penghasilan finansial, produktivitasnya dan kemampuan-kemampuannya yang diukur dengan kriteria ekonomi (uang). Kedua, adanya gap atau kesenjangan antara orang-orang kaya dan orang-orang miskin yang makin lebar. Ketiga, kesejahteraan dan persaudaraan bukanlah menjadi dasar dan puncak hidup. Sebaliknya urusan individu, masing-masing pribadi semata adalah yang prioritas.
Ketiga persoalan ini menantang dan menguji penghayatan dan pengamalan spiritual Fransiskan kita. Pertama, kriteria homo economicus ini bertentangan dengan spirit Fransiskan kita. Spriritualitas kita sebagai fransiskan melihat manusia (bahkan seluruh alam ciptaan) adalah saudara dan saudari kita sebagai sesama ciptaan-Nya. Konsep manusia sebagai saudara mengindikasikan dua hal. Pertama, unsur sosial dan persaudaraan dalam solidaritas menjadi karakter manusia ala fransiskan. Bagi para pengikut St. Fransiskus, homo socius adalah hakekat manusia sebagai citra Allah yang selalu ingin berelasi dengan manusia ciptaan-Nya. Kedua, pengakuan manusia sebagai saudara membangun cara hidup fransiskan yang membawa damai, yang menerima orang lain apa adanya tanpa ada kriteria apapun. Bagi para fransiskan, sesama adalah saudara yang dianugerahkan Tuhan bagi kita. Oleh karena itu, seperti apa adanya saudara kita dihadapan Allah demikianlah saudara itu harus dihormati dan dihargai. Bukan dihormati dan dihargai karena jabatan, popularitas dan produktivitas serta profitnya bagi Ordo atau Tarekat.
Kedua, membangun sikap peduli dan solidaritas ala gerakan Fransiskan awal. Kepedulian, persaudaraan, dan solidaritas serta kegembiraan menjadi trade mark saudara-saudara awal pengikut St. Fransiskus Assisi. Berhadapan dengan konteks sosial yang membuat jurang antara kaum borjuis dan kaum proletariat, saudara-saudara fransiskan mempopulerkan cara hidup sederhana, cara hidup yang mau berbagi dengan mereka yang berkekurangan. Mereka tidak saja menganjurkan, tapi mereka melakukannya. Mereka menjual harta miliknya, membagikannya kepada orang yang membutuhkan dan mengikuti St. Fransiskus. Kita memang tidak perlu menjual seluruh harta benda ordo dan tarekat untuk membantu mereka yang membutuhkan, tapi kita bisa berbagi dari apa yang kita miliki khususnya perhatian dan cinta kita kepada orang-orang di sekitar kita khususnya yang membutuhkan.
Ketiga, mengokohkan dan memprioritaskan nilai-nilai kebersamaan dan hidup bersaudara. Berhadapan dengan tawaran hidup individualisme yang menawarkan keterbukaan untuk mencari kenikmatan dan kesenangan pribadi semata-mata, spiritualitas Fransiskan mengajak kita untuk memilih dan memprioritaskan kebutuhan bersama dalam komunitas, ordo atau tarekat. Kita diajak untuk tetap mengedepankan janji setia kita untuk menyerahkan seluruh hidup dalam ordo atau tarekat.

SEBUAH EKSPEKTASI: EKONOMI KERAKYATAN
Ekonomi yang berkeadilan selalu mungkin diwujudkan jika nilai-nilai penghargaan terhadap sesama manusia menjadi prioritas. Rakyat dilihat sebagai subjek ekonomi bukan sebagai objek ekslploitasi. Pada titik inilah, ekonomi rakyat perlu diprioritaskan dan diutamakan. Sebuah sistem ekonomi yang bersumber dan berpuncak pada kepentingan rakyat atau masyarakat banyak.
Sebagai seorang fransiskan, penghargaan kepada sesama sebagai saudara dan membangun sikap peduli dan bersolider dengan mereka yang membutuhkan serta proaktif membangun jaringan untuk memengaruhi kebijakan publik yang berorientasi pada kepentingan masyarakat menjadi pilar-pilar yang kokoh untuk membangun karakter ekonomi yang berkeadilan. Membangun dan mengembangkan ketiga aspek ini, hemat saya, kita sedang bangkit dan bergerak untuk terlibat dalam membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik dan lebih sejahtera.Oleh karaena itu dalam menjawab persoalan dan tantangan yang diberikan oleh globalisasi, para pengikut St. Fransiskus diajak untuk mampu memberi alternatif-alternatif cara hidup yang membuka kesadaran bersama bahwa upaya menciptakan keselamatan (baca: kesejahteraan) manusia bersama pada hakekatnya adalah juga menjadi tugas dan tanggung jawab kita bersama. Mulailah dari diri sendiri, keluarga, komunitas, ordo atau tarekat maka ekonomi yang berkeadilan mampu terwujud.

Link Teman-Teman