Headline Majalah PERANTAU

Pencarian Lokal

Custom Search

Titipan Link Teman

Thursday, December 10, 2009

KESETIAAN YANG KREATIF AKAN KHARISMA: PERSAUDARAAN SEMESTA DAN TERHADAP GEREJA ( ANGBUL 12)

Renungan Adven 2009
By. Ferry Suharto OFM


AngBul XII

ž SIAPA DARI ANTARA PARA SAUDARA YANG ATAS DORONGAN ILLAHI MAU PERGI KE TENGAH KAUM MUSLIMIN DAN ORANG TAK BERIMAN LAINNYA HENDAKNYA MEMINTA IZIN UNTUK ITU KEPADA MINISTER PROVINSINYA.....
ž ....SUPAYA DENGAN SELALU PATUH DAN TUNDUK PADA KAKI GEREJA KUDUS ITU DENGAN TETAP TEGUH DALAM IMAN KATHOLIK KITA MENGIKUTI KEMISKINAN, KERENDAHAN SERTA INJIL SUCI TUHAN KITA YESUS KRISTUS YANG TELAH KITA JANJIKAN DENGAN SEBULAT HATI.

Peta AngBul XII
ž AngBul XII bagian kedua yang berhubungan dengan AngBul 1 bagian pertama dengan jelas menyadarkan kita bahwa inti hidup religius atau hidup yang kita janjikan kepada Allah adalah: mengikuti/menepati Injil Suci yakni pribadi Tuhan Yesus sendiri. Atau dengan kata lain Tuhan Yesus Kristus menjadi jalan atau pola hidup yang harus kita pakai sebagai pathokan hidup/way of life kita.
ž Way of life ini secara fransiskan nampak dalam unsur kerendahan serta kemiskinan sebagai dimensi yang selalu memukau Fransiskus dan dilihatnya selalu ada dalam hidup pribadi Yesus Kristus. Itulah kharisma kita!
ž Hidup Injili yang berwarnakan kerendahan serta kemiskinan tersebut bisa terwujud hanya dalam koridor kepatuhan dan sikap tunduk pada kaki Gereja Kudus yang didasarkan atas iman katholik yang teguh. Kepatuhan atas dasar iman selain menjadi koridor sekaligus juga merupakan salah satu wujud hidup injili berwarnakan kerendahan dan kemiskinan tersebut.
ž Karena Gereja pada dasarnya adalah bersifat misioner maka seperti halnya Yesus mengakhiri Injil-Nya dengan peristiwa pengutusan “Pergilah ke seluruh dunia!” maka Fransiskuspun sejalan dengan hal itu ingin mengakhiri dan memahkotai hidup Injilinya yakni dengan “Pergi!” ke dunia nyata saat ini: sebuah dunia yang diwarnai dengan pluralisme: adanya manusia beragama lain (diwakili oleh Saudara Muslimin ) dan suatu dunia yang diwarnai dengan atheisme, agnostikisme dsb (yang diwakili oleh orang tak beriman lainnya) yang adalah tempat kita mewartakan Injil secara baru: praktek hidup injili yang berwarnakan kemiskinan dan kerendahan. Dalam hidup injili daya dorong dan daya gerak untu pergi haruslah bersumber dari Roh Kudus sendiri. Maka kepergian kita untuk berpraktek hidup injili hendaknya selalu atas dorongan ilahi.

Beberapa POINT PERMENUNGAN KITA
Antara kepatuhan dan kesetiaan
· hidup injili Fransiskus bersifat praktis, realis, tidak teoritis dan karenanya malah menjadi hidup, menyentuh perasaan, menggetarkan hati serta membumi.
· Kepatuhan dan ketundukan Fransiskus akan siapa dan apa saja termasuk pada Gereja bukanlah sebuah kepatuhan yang dibuat karena paksaan dari hukum dan aturan maupun pengkondisian dan tekanan dari luar namun sebuah sikap yang lahir dari keterpesonaan hati yang melihat dengan mata sendiri (batin dan jasmani) bagaimana Allah sendiri oleh terdorong karena kasih-Nya berkenan merendahkan Diri-Nya dan patuh pada ciptaan-Nya sebagai anak kecil mungil di palungan sempit.
Kesetiaan
ž Sikap tunduk dan merendah yang lahir dari gerak hati di kedalaman diri itulah yang disebut dengan kesetiaan. Kesetiaan adalah kepatuhan yang muncul dari dalam bukan karena tekanan dari luar. Maka kesetiaan merupakan sikap yang mewujudkan dengan amat jelas kepatuhan dan ketundukan pada Gereja Kudus atas dasar iman dan merupakan pelaksanaan paling kongkret janji hidup injili kita yang berwarnakan kemiskinan dan kerendahan.

SAGKI 2005
ž penghayatan keagamaan di Indonesia ini sering terwujud dalam bentuk kesalehan semu. Agama yang berciri membebaskan, tidak berfungsi secara maksimal. Hal ini terjadi karena agama dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan bisnis. Juga adanya indikasi pendangkalan penghayatan: adanya jurang antara ibadah dan perwujudan iman. Lalu muncullah masalah Formalisme Agama sebagai salah satu persoalan bangsa Indonesia. Sehingga akhirnya Gereja Katolik (dan juga agama-agama lain) menjadi irelevan (tidak cocok, tidak nyambung, tidak match) dan insignifican (tidak punya makna) bagi bangsa kita.

MUARA FORMALISME
ž Muaranya yang paling berbahaya adalah ketika orang-orang beragama itu sudah tidak lagi memiliki kepekaan akan kemanusiaan sehingga dengan mudah berdasar isu agama lalu mengorbankan nyawa orang lain seperti terjadi di Poso dan juga di daerah-daerah lainnya di Negara kita.

Lilin 1 lilin para nabi
ž "Aku sudah jemu akan korban-korban bakaran Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku. Apabila kamu menadahkan tanganmu untuk berdoa, Aku akan me-malingkan muka-Ku, bahkan sekalipun kamu berkali-kali berdoa, Aku tidak akan mendengarkannya, sebab tanganmu penuh dengan darah. Basuhlah, bersihkan-lah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda! ( Yes 1:11-17 ).

Refleksi
ž Formalisme agama terjadi ketika agama hanya menjadi ageman (pakaian) bukan sesuatu yang muncul karena gerak hati. Apakah hidup religious kita selama ini juga hanya sebagai jubah saja padahal habitus non facit monachum?
ž Apakah cara bicara kita kepada dunia baik secara lisan dan tulisan maupun dalam bahasa tubuh melalui perilaku sehari-hari lebih memakai cara-cara yang memisahkan kehidupan kita dengan realitas masyarakat sehingga kita semakin mapan dan aman dalam hidup membiara tapi tak pernah punya kesan, kepedulian apalagi keterlibatan yang membuat hidup kita menjadi pesan praktis yang member inspirasi dan animasi bagi kehidupan banyak orang teristimewa yang kita layani?
ž Setiakah aku dengan hidup injili yang menjadi perwujudan janjiku atau aku lebih jatuh pada kepatuhan dan ketundukan palsu yang serba tenang dan tenang namun memendam luka dan menunggu kesempatan menjadi liar.
ž Apakah refleksi, penemuan makna, gerak hati, kepedulian, solidaritas masih menjadi kebutuhan hidup kita atau kita sudah hanyut begitu saja akan tradisi, hukum, kebiasaan, ritual, acara harian, tugas, perintah pimpinan dsb.

Kesetiaan yang kreatif: Kreativitas Injili
· Kreatifitas injili yang dipergunakan Fransiskus dan saudara-saudaranya dalam mewartakan Injil kedamaian amatlah jelas: ingat saja cara dia berhasil mendamaikan Uskup dan Walikota Assisi yang sedang saling bertikai. Fransiskus berbuat dengan cara yang sederhana dan cerdas; dia tidak melibatkan diri dalam masalah-masalah ekonomi dan kekuasaan yang telah merenggangkan mereka, dia tidak menganggap diri telah menemukan solusi “politis” atas pertikaian itu; dia hanya mengundang mereka untuk mendengarkan madah, sebuah lagu yang lirik dan nadanya telah ia gubah. Kreatifitas yang muncul dari bakatnya sendiri itu menyarankan cara untuk menolong mereka memecahkan perbedaan-perbedaan mereka. Apa yang lebih efektif daripada music dan lagu yang menggerakkan perasaan dan menyapa sampai ke hati? “Logika bakat, anugerah jelaslah muncul sebagai sebuah alternatif terhadap logika harga, keuntungan, kegunaan dan kekuasaan yang mendominasi dunia waktu itu dan kiranya jug waktu sekarang ini.

LILIN 2: YOHANES PEMBAPTIS
ž Gembirakah Saudara dengan hidup dan pelayanan saudara selama ini? Atau Saudara hanya sampai pada kesenangan dan tertawa sesaat yang sebenarnya hanya menjadi pelarian dari sakit hati, rasa terbebani, luka batin yang tak mau Saudara lihat dan rasakan serta Saudara tolak sampai saat ini?
ž Pelayanan kita dan seluruh hidup kita sebagai seorang religius membutuhkan suatu sikap “lebih” yang baru dapat diberikan oleh orang yang kreatif sehingga mengajar menjadi lebih dari sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, pastoral lebih dari sekedar ketrampilan menjawab pertanyaan, menghibur dengan kata-kata manis, dan mengorganisasi paroki dengan teori-teori managerial modern dan beribadat harian serta merayakan ekaristi lebih dari sekedar melaksanakan liturgi tetapi merayakan hidup Allah yang berkenan tinggal bersama kita dan kebersamaan dengan-Nya itu kita bagi dalam kepedulian dan solidaritas sehari-hari dengan siapa dan apa saja yang dianugerahkan Allah pada kita. Sudahkah kita memberi sentuhan “lebih” itu?
ž Apakah kita sudah berjuang melaksanakan karya-karya yang dipercayakan kepada kita dengan menyertakan secara optimal seluruh bakat dan talenta kita? Atau kita malah merasa bakat dan talenta kita tak tersalurkan dalam karya yang dipercayakan kepada kita? Apakah itu karena sungguh bakat kita bertolak belakang dengan karya kita atau sebenarnya kita yang malas menemukan celah-celah kreatifitas bagi pemenuhan bakat dan talenta kita?

Kesetiaan yang memperkaya Gereja dengan kharisma
· “Sesudah Tuhan memberi aku sejumlah saudara, tidak seorangpun menunjukkan kepadaku apa yang harus kuperbuat; tetapi Yang Mahatinggi sendiri mewahyukan kepadaku bahwa aku harus hidup menurut pola Injil Suci. Aku pun menyuruh tulis hal itu dengan singkat dan sederhana dan Sri Paus mengukuhkannya untukku.” ( Was 14).
KREATIFITAS INJILI BAGAI AIR YANG MEMENUHI GEREJA
ž Keberanian sebagai daya dorong yang berpangkal pada peneguhan Gereja, bersatu pada gerak Roh yang merendah yang menjadikan kharisma bukan sebagai kuasa tetapi sebagai kekuatan. Pengalaman Fransiskus akan bisikan Roh dalam dirinya yang tersirat dalam kata-katanya, “Tuhan sendiri mengatakan kepadaku …” tidak membuatnya menjadi sombong dan memakai pengalaman itu untuk memaksa yang lain mengikuti kemauannya tetapi justru mendorongnya untuk mengajak setiap saudara menyadari akan kharisma pribadi mereka.
ž Hormat akan karya dan gerak Roh dalam setiap saudara amat sangat kuat mewarnai peraturan hidup yang dibuatnya (bdk. AngBul XII, AngTBul II: 1; XVI: 3 ) Hal itu membuat Fransiskus berani mencipt5akan struktur baru dalam ordonya yang kiranya pada abad XIII merupakan struktur demokratis pertama dalam kehidupan masyarakat Eropa setelah tumbangnya demokrasi Yunani yakni ketika hegemoni pimpinan tarekat religius dipatahkan dengan menempatkan kapitel sebagai wujud nyata persaudaraan dijadikannya sebagai instansi tertinggi dalam Ordo karena keyakinannya bahwa dalam kapitel di mana setiap saudara atas dorongan Roh Kudus berbicara dan berikhtiar menemukan jalan yang terbaik bagi ordo di situ Roh Kudus sebagai minister jendral ordo lebih dinampakkan.
ž Banyak konflik terjadi di Gereja dan diselesaikan secara tak bijaksana misalnya dalam kasus inkuisisi lebih karena Injil dipakai pejabat gereja untuk menguasai dan bukan untuk memahami.
ž Mawas Diri dengan tidak menghakimi sebagai batang airnya. Air yang mengalir akan membersihkan saluran bila dalam air itu sendiri ada kepekaan akan kekeruhan dalam dirinya dan berupaya bersama-sama menempatkan kotoran yang membuatnya keruh tersebut pada tempat yang tak mengganggu aliran air selanjutnya entah dengan menaruhkan perlahan-lahan ke pinggir atau menenggelamkannya ke dasar. Itulah sikap mawas diri yang tidak menghakimi. Sebab ketika kita menghakimi maka kita membuat kesalahan orang itu menjadi bahan utama perhatian kita yang kadang menghalangi kita akan kenyataan bahwa air pada dasarnya jernih kalau tak ada lumpur yang bercampur di dalamnya.
ž Setiap orang tanpa kita hakimi, tanpa kita marahi pasti sudah menyadari kekeliruannya, hanya biasanya ia berusaha menutupinya dengan menyangkalnya sekuat tenaga. Semakin kita memperlihatkannya semakin ia menyangkalnya karena pada dasarnya ia tak mau hal itu terlihat ada padanya. Maka alih-alih menguber-uber lumpur dan mengaduknya sehingga tampak semakin keruh airnya Fransiskus mengajak kita untuk menyaring air yang bersih dan tak memperhatikan lumpur dan kotoran yang dengan sendirinya kalau tak kita perhatikn akan menyingkir dan akan tenggelam. Orang yang mawas diri akan lebih mudah memahami yang lain sementara orang yang menghakimi biasanya hanya mencari kompensasi akan kekecewaan akan dirinya yang ternyata berdosa juga dan mencoba lari dari kenyataan itu dengan membesar-besarkan dosa sesama agar merasa sedikit aman karena keyakinan semu bahwa dosaku nggak sebesar orang itu padahal siapa tahu besar kecilnya dosa orang?
ž Dalam Fioreti 26 dikisahkan bagaimana 3 penyamun itu bertobat karena dimarahi saudara penjaga pintu tetapi karena melihat Fransiskus yang mawas diri akan kesalahannya dan mohon maaf kepada mereka.

TUJUAN
ž Kehendak baik sebagai tujuan alirannya. Warta malaikat kepada para gembala,” Gloria in altissimis Deo, et in terra pax hominibus bonæ voluntatis” sungguh terlihat dalam hidup Fransiskus, terutama ketika ia datang kepada kaum muslim dengan tidak membawa senjata sama sekali karena memang niatnya baik yakni tidak untuk berperang melainkan mewartakan kebaikan Allah maka benteng kebencian orang muslim pun gampang untuk dihancurkan dan terjalinlah persahabatan yang tulus.

LILIN 3: SANTO YUSUF
ž Apakah yang sebenarnya menjadi inner spirit dalam kedalaman hati kita? Bisikan Roh yang kita tanggapi dalam kesediaan untuk bergerak atau kebutuhan-kebutuhan psikologis kita yang bagai kabut sutra ungu mengaburkan bisikan Roh dalam hati kita dan menggantikannya menjadi bisikan ketakutan, bisikan kegelisahan, bisikan kehausan kehangatan dan bisik-bisik lainnya yang menjadi bisa iblis dalam hidup kita yang mengalir meracuni dan menghitamkan aliran air hidup kita.
ž Apakah inner spirit dalam hati kita dapat mengalir karena memiliki energi, batang air dan tujuan yang tepat yakni gerak Roh Kudus yang dimotori oleh keberanian yang membuat kharisma mampu memahami dan bukan menguasai? Batang air yang tepat pada mawas diri yang tak menghakimi dan tujuannya kehendak baik yang mengalirkan damai sejahtera.

Kharisma Persaudaraan Semesta sebagai Dimensi Misioner khas Fransiskan
· Persaudaraan semesta lahir ketika Allah karena terdorong oleh kasih berkenan merendahkan diri-Nya dan turun ke bumi menjelma menjadi manusia. Perendahan diri Allah memperoleh wadahnya dalam diri Maria yang menyatakan dirinya sebagai hamba yang siap sedia melaksanakan apa yang dikehendaki Allah yang dikandungnya. Yusufpun mengimbangi penghambaan Maria dengan ketulusan hati dan kehendak baiknya mau merendahkan diri menjadi suami Maria meski anak yang dikandung Maria bukan dari benihnya.
· Dengan demikian jelas bahwa setiap pribadi baik itu saudara manusia, hewan dan bintang terangkum dalam persaudaraan semesta karena mengikuti gerak Allah yang merendahkan diri yang akhirnya membuka pintu rekonsiliasi Allah dan ciptaannya dalam harmoni kesatuan dalam kesederhanaan dan kerendahan sejati.
· Hanya dalam gerak perendahan diri kita menyadari bahwa bukan hanya kita yang hidup di dunia ini tetapi juga ada manusia lain, mahluk lain dan kita menjadi bagian di dalamnya membentuk suatu harmoni alam. Kesadaran akan ada yang lain yang juga mempunyai hak hidup yang sama bahkan juga menjadi bagian dari penentu hidup kita sebab kalau ia punah kita ikut musnah membuat kita sadar untuk mau tak mau harus menjalin solidaritas yang menghasilkan jejaring kasih yang akhirnya melintasi pelbagai batas-batas: agama, bangsa, suku, etnis, bahasa, bahkan batas manusia, mahluk hidup, abiotik dan biotik sampai batas waktu: kematianpun rubuh dalam jejaring persaudaraan kini karena iman dan harapan kan lenyap tetapi kasih kan abadi.
· Ia melintasi bukit bukit berbatu dengan hati-hati karena kasih kepada Yesus yang dalam Kitab Suci disebut sebagai batu karang. (2 Cel 165)
· Ia menganjurkan saudara yang berkebun untuk menyisakan sebidang tanah bagi tumbuhnya rumput dan tanaman lain yang tidak biasa ditanam di ladang dan kerap dipandang orang sebagai lalang yang bagi Fransiskus tak pernah dihakimi sebagai hama tetapi sebagai tanaman yang belum kita ketahui gunanya ( 2 Cel 165 )
· Cacing diambilnya dari jalan agar tak diinjak-injak karena ingat akan Yesus yang dalam mazmur dinubuatkan sebagai cacing (Mzm 22:7 bdk. 1 cel 80).


LILIN 4: BUNDA MARIA
Bunda yang menjadi teladan kesempurnaan orang-orang Kristiani

Link Teman-Teman