Headline Majalah PERANTAU

Pencarian Lokal

Custom Search

Titipan Link Teman

Saturday, December 6, 2008

Fokus

MIMPI MEMBANGUN EKONOMI BERKEADILAN
DI TENGAH PUSARAN KAPITALISME PERTAMBANGAN GLOBAL
(Kristo Tara, ofm)
Ada suatu pemahaman baru yang tumbuh dalam beberapa tahun terakhir ini terkait dengan globalisasi. Banyak orang melihat globalisasi adalah jargon yang diusung oleh para pendukung neo-liberalisme dalam konteks ekonomi yang menelanjangi segala batasan negara demi hegemoni pasar bebas. Lewat jargon ini, para kapitalis mendorong negara untuk meretas segala ikatan nasionalisme dan melucuti identitas kebangsaan, mengobrak-abrik ketahanan nasional lantas meraup kekayaan sumber daya alam. Demikianlah, menurut Mansour Fakih (2001), dalam konteks ekonomi, globalisasi merupakan pengintegrasian ekonomi nasional bangsa-bangsa ke dalam sebuah sistem ekonomi global.
Joseph Stiglitz benar ketika ia mengatakan bahwa Indonesia adalah korban globalisasi. Penulis buku Making Globalization Work itu bertutur demikian: “Indonesia adalah korban globalisasi yang masih menghadapi tantangan berat berkaitan dengan kemiskinan, pengangguran dan memacu pertumbuhan ekonomi” (Bisnis Indonesia, 15/08/2007). Korban globalisasi yang dimaksudkan peraih hadiah nobel ekonomi 2001 ini adalah kepatuhan Indonesia terhadap Konsensus Washington yang disodorkan lembaga keuangan dunia (IMF dan World Bank) lewat paket privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi pasar. Lantas Indonesia terjerumus dalam pusaran pasar bebas dunia sekaligus terjebak dalam kebijakan privatisasi koruptif.

Kapitalisme Pertambangan Global
Salah satu sumber ekonomi yang paling diminati para investor saat ini adalah sektor pertambangan. Menurut Price Waterhouse Coopers (PWC), pendapatan negara dari 12 industri tambang yang mereka survei sebesar Rp. 5.666.000.000.000. Pemerintah terpukau oleh angka tersebut, lantas dengan sekuat tenaga membuka lahan negara seluas-luasnya untuk industri pertambangan. Benarkah pertambangan mendongkrak pendapatan nasional dan mensejahterakan masyarakat Indonesia?
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa di mana dan kapan saja, perusahaan pertambangan yang dikelola secara besar-besaran tidak akan menguntungkan negara pemilik apalagi masyarakat sekitar lokasi pertambangan. Pendapatan negara dari sektor pertambangan ternyata tidak sebanding dengan daya rusaknya terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sebab, selain pengerukan sumber daya alam, seluruh tahapan dan proses industri pertambangan selalu menyisakan persoalan yang merugikan dan menambah penderitaan masyarakat dalam semua aspek. Konflik sosial horisontal-vertikal, hancur dan hilangnya sumber daya ekonomi dan budaya rakyat, serta kerusakan ekologi adalah biaya yang harus ditanggung rakyat.
Penghisapan sumber daya ekonomi berjalan beriringan dengan peminggiran kaum marginal yang tergusur dan tergerus secara sistematis dan legal. Angka kemiskinan meningkat, jumlah pengangguran prduktif terus bertambah. Sejalan dengan itu, kriminalitas dan konflik sosial tumbuh pesat. Lantas pelanggaran HAM menjadi kisah keseharian dalam pusaran impunitas yang langgeng. Sialnya pemerintah tidak terlalu ambil pusing dengan persoalan kerakyatan, tetapi sibuk menadah rezeki dari kran-kran koorporasi kapitalis. Kemiskinan dan ketidakadilan akibat kapitalisme ekonomi di sektor pertambangan adalah fakta, tetapi kesejahteraan ekonomi masyarakat di balik tambang adalah mitos yang diciptakan para kapitalis dan birokrat yang korup.

Mungkinkah Menciptakan Ekonomi yang Berkeadilan?
Di dalam cengkraman tangan kapitalisme ekonomi global yang begitu kuat, nampaknya sangat sulit untuk menciptakan ekonomi yang berkeadilan bagi semua. Kita mengharapkan lahirnya sistem ekonomi alternatif yang lebih memberi ruang bagi rakyat. Hanya saja gerakan-gerakan ekonomi alternatif sering kali mudah dipatahkan oleh tangan-tangan kapitalis. Lantas apa yang bisa kita lakukan?
Kekuatan kapitalis bisa dihadang lewat kritikan dan penolakan terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Kaum intelektual dan politisi pro rakyat harus terus-menerus didorong agar memperjuangkan hak dan kepentingan rakyat. Penguatan civil sociaty harus terus dirawat agar tidak terjebak dalam permainan jahat para kapitalis.
Dalam level praksis, kekuatan kapitalisme pertambangan global bisa dilawan lewat proses advokasi masyarakat. Dalam konteks itu, kita boleh belajar dari kegiatan advokasi yang dilakukan oleh komisi JPIC OFM terhadap masyarakat Lembata terkait rencana pertambangan emas oleh PT. Merukh Enterprisess.
Setelah melakukan penelitian investigatif untuk mendapatkan sebuah laporan yang lebih komprehensif mengenai rencana pertambangan, maka JPIC OFM bersama JPIC SVD Ende dan lembaga masyarakat lokal memutuskan untuk mengambil langkah advokasi. Advokasi yang dimaksudkan adalah pendampingan terhadap masyarakat korban atau calon korban pertambangan agar menyadari posisi mereka sebagai warga negara yang bisa memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya dari klaim sepihak pengusaha dan pemerintah. Karena itu, proses advokasi ini pertama-tama adalah memberikan pencerahan kepada masyarakat agar menyadari seluk-beluk pertambangan dengan segala dampak dan konsekuensinya.
Untuk mempertajam proses advokasi JPIC OFM, dalam kerja sama dengan masyarakat lokal dan lembaga lain, mengagendakan beberapa kegiatan. Pertama, sosialisasi laporan hasil penelitian JPIC OFM kepada masyarakat dan pemerintah. Tujuannya agar, baik masyarakat, pemerintah maupun perusahaan memahami persoalan rencana pertambangan secara lebih komprehensif. Ruang ini juga menjadi kesempatan untuk memberikan pendidikan yang mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat.
Kedua, kajian ekologis, sosial, ekonomi dan budaya. Tujuannya agar masyarakat, pemerintah, dan perusahaan memahami dampak pertambangan terhadap kehidupan ekonomi, sosial-budaya, dan alam ciptaan. Dengan pemahaman ini, diharapkan masyarakat bersama pemerintah dapat mengembangkan potensi ekonomi sektor lain yang lebih manusiawi dan ramah lingkungan dalam meningkatkan PAD.
Ketiga, penguatan komunitas basis. Kegiatan ini dimaksukan untuk memberikan pendidikan dan pencerahan kepada masyarakat terkait dengan kesadaran akan pentingnya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak ulayat dan hak guna kawasan hunian; hak masyarakat adat untuk memiliki, memanfaatkan, dan mengelola kawasan sumber dayanya; penglolaan hutan harus terus-menerus mempertahankan dan memperbaiki kualitas sosial ekonomi masyarakat lokal sekaligus melestarikan keanekaragaman hayati; serta pemberdayaan masyarakat di bidang pertanian.
Keempat, membangun jaringan kerja. Untuk memperkuat barisan advokasi, selain JPIC SVD dan lembaga masyarakat lokal, JPIC OFM juga membangun jaringan kerja dengan sejumlah lembaga, baik nasional maupun internasional misalnya, Ecosoc Right, Walhi, Jatam, Kompas, Parhesia Institute, JPIC OFM Internasional, Mission Central, dan lembaga lain yang konsern terhadap persoalan masyarakat lokal.
Kelima, kegiatan advokatif lain yang dibuat JPIC OFM adalah menyelenggarakan diskusi panel di Jakarta dan Lembata dengan tema “Membongakar Mitos Kesejehtareaan Rakyat di Balik Usaha-Usaha Pertambangan”; melakukan lobby dengan berbagai pihak (nasional-internasional) yang peduli pada persoalan tambang dangan lingkungan; serta publikasi kertas posisi, film dokumenter, dan buku. Apakah dengan kegiatan seperti itu kita sedang bermimpi membangun sebuah sistem ekonomi yang berkeadilan bagi semua? Tentu saja ya! Atau setidaknya kita sedang membangun jaringan, menghimpun kekuatan untuk membangkitkan keadilan dan memungut kembali puing-puing kesejahteraan rakyat yang tergilas lemas oleh kekuatan ekonomi kapitalis. Akhirnya, apapun caranya, semua pengikut St. Fransiskus dipanggil untuk berpihak pada keadilan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan.

No comments:

Post a Comment

Link Teman-Teman