Headline Majalah PERANTAU

Pencarian Lokal

Custom Search

Titipan Link Teman

Tuesday, March 4, 2008

Edisi Januari-Februari: Cerpen

Nelangsa
(Mulyadi, OFM)


“Sudahlah Pak, suuuuudah,...jangan dilawan, diri kita sendiri tidak akan menang melawan aparat” Kataku sambil menarik-narik tangan ayahku yang mau melawan aparat. “Kalau rumah kita sendiri digusur itu bisa dicari kembali Pak, tetapi kalau jiwamu...tidak bisa dicari dan tidak ada gantinya” Teriakku sambil menarik tangan ayahku yang semakin kuat memberontaknya. “Aku tidak terima kalau rumah ini digusur dan pindah dari tempat ini. Mengapa tidak dari dulu daerah ini ditertibkan? Sudah bertahun-tahun aku buka usaha di sini, kok hancur karena anak-anak kemarin sore ini, saya tidak menerimaaaaa.” Teriak ayahku sambil berontak melepaskan tangannya dari cengkraman tanganku, kemudian memukul aparat.

“Dor..., dor..., dor” suara tembakan membuat kerumunan massa lari tunggang-langgang. “Bapakkkk..., tidakkkk....” Teriakku sambil berlari menghampiri ayahku yang terkapar di tanah karena dua peluru yang merobek perut dan menembus kaki ayahku. “Bapak...,kenapa bisa sampai begini, kalau Bapak tidak melawan tidak mungkin sampai begini. Pemerintah khan sudah memberikan ganti ruginya, memang ganti ruginya tidak sebesar rumah kita yang lama” Diiringi tangisanku dan dengan memeluk tubuh ayahku sembari mencoba mengangkatnya. “Cepat panggil ambulan.” Teriakku sambil melepaskan baju yang berlumuran darah dari tubuh ayahku dan merobeknya kemudian mengikatkan ke kaki ayahku.

***

“Bagaimana dok, keadaan ayah saya” sapaku ketika dokter baru keluar dari kamar operasi. “Saya tidak menjamin. Keadaannya masih kritis karena peluru yang yang menembus perut ayahmu terpecah menjadi tiga bagian, dua bagian masuk ke usus besar, sebagian lagi mengenai tulang belakang dan jika diambil, resikonya ayahmu akan mengalami kebutaan dan lumpuh total, karena ditambah peluru yang ada di kaki ayahmu. Tetapi saya akan mencoba membantu kamu semaksimal mungkin dan yang terpenting doamu untuk ayahmu dan tim medis.” Dokter menjelaskan dengan penuh perhatian.“Iya, dok. Terima kasih.” Ujarku kepada dokter sambil diiringi tetesan air mata. “Tuhan kasihanilah kami, berikanlah kesabaran dan kekuatan bagi ayahku dan aku.” Aku berseru dengan menengadah ke atas, kemudian duduk membungkuk sembari menutupi muka dengan kedua telapak tanganku.”Bapak, seandainya Bapak mendengarkan saranku tadi, tidak mungkin peristiwa buruk ini terjadi, aku tidak kehilanganmu, tidak kehilangan rumah apa lagi harta yang sudah kita sendiri kumpulkan bersama” Teriakku sambil memukul-mukul tembok dan mengiringi langkah kaki dokter yang sudah kembali ke kamar operasi.

***

Dua tahun kemudian....

“Pak,....Bapak, sekarang kita sudah tidak punya apa-apa lagi. Ganti rugi dari pemerintah, yang bentuknya seperti rumah lebah madu itu sudah aku jual, untuk biaya pengobatan Bapak. Kemudian aku berupaya untuk meneruskan usaha Bapak, tetapi tidak berkembang, aku tidak mungkin meminjam uang ke lintah darat, nanti susah membayar bunganya, akhirnya usaha Bapak juga ikut aku jual untuk menebus ongkos perawatan Bapak di rumah sakit ini. Sebelumnya, aku mencoba mencari keadilan dengan minta bantuan ke lembaga bantuan hukum, tetapi bukannya untung aku dapat malah buntung yang kudapat. Banyak aturan lagi, bayar sini bayar sana, ke sana ke sini, semua usahaku sia-sia dan percuma, hanya buang-buang waktu” Kataku mencoba menjelaskan kejadian yang telah dua tahun berlalu sambil mendorong kursi roda ayahku saat ke luar dari rumah sakit. Tetapi ayahku diam seribu bahasa setelah mendengarkan penjelasanku. Dia hanya menatap ke depan, kosong, menerawang, hampa tak berarti.

“Dra..., Chandra apa kamu masih punya uang?” suara memelas dari ayahku. “Masih, Pak. Sisa dari ongkos perawatan Bapak di rumah sakit” jawabku sambil menuntun Bapak masuk ke dalam bajaj yang telah ku pesan tadi sebelum masuk ke rumah sakit Sinar Pelita. “Dra...., Chandra, kita pulang saja ke desa yah , moga-moga sisa warisan Bapak masih ada. Dan mungkin saja hidup di desa lebih tentram, karena kita tidak mungkin membuka kembali usaha di Jakarta yang sudah pengap suasananya. Yahh..., sambil meneruskan masa tuaku yang sudah hampir bau tanah” kata Bapak sambil meneteskan air matanya. “Jangan berkata seperti itu lah pak, tidak baik. Bapak sudah tua, yahhh aku mengerti. Tetapi lebih baik kita lihat saja keadaannya dulu, kemudian baru bisa melakukan perencanaan apa yang mau kita jalankan.” Jelasku sambil menghiburnya.

***

Di kampung halaman ayahku Desa Jati Waringin, Solo.

“Apa katamu...?, Jadi bagian warisanku sudah tidak ada lagi!!!, Jan...Jan...Paijan, kok kamu tidak menganggap kakakmu yang paling tua, balasanmu apa ke kakakmu ini?. Mentang-mentang sekarang aku buta, cacat dan sudah tidak punya apa-apa lagi. Mana pengertianmu, tanah yang aku titipkan ke kamu dan pajaknya selalu aku bayar melalui kamu. Uang kirimanku untuk membayar pajak tanah itu, yoo tidak kurang dan pasti lebih. Kemudian kembaliannya, tidak kamu kembalikan. Itu semua kuanggap upah merawat tanahku. Dan sekarang aku hanya punya si Chandra, aku sekarang mau minta rumah dapurmu saja, untuk tidur anakku laki-laki, dan kalau kamu masih punya belas kasih, tolong beri aku anak kambingmu satu saja untuk usaha anakku. Ini saja permintaanku, yaaa... kamu tidak memberikan.” Marah ayahku kepada Paijan adik ayahku yang tertua.

“Yoo, aku minta pengampunan dari kamu mas, soalnya aku kalah main judi, semua aku jual untuk membayar utang. Tinggal rumah ini dan rumah dapur yang aku punya dan ayam tinggal lima tok, ayam jantan dua dan ayam betina tiga. Kalau kambing aku tidak punya. Aku hanya bisa memberimu rumah dapur dan ayam jantan satu dan ayam betina satu.” Jawab adik ayahku sambil meneteskan air matanya tanda penyesalan.

“Jan...,Jan..., aku sudah menasihatkan kamu jangan main judi, tidak ada untungnya, kasihan anak dan istrimu. Sekarang tinggal menangis saja yang kamu besarkan. Sampai di sini saja aku berbicara. Aku mohon diri. Dra, ayo kita keluar dari sini. Kita menumpang tidur di kakakmu, Mas Rebo, sehari atau dua hari saja, aku tidak mau tidur di rumah adikku.” Sambil menggeser kursi rodanya sendiri menuju pintu keluar. “Iya Pak. Paklék, Chandara mohon diri.” sahutku dengan bergegas mendorong kursi roda ayahku menuju ke rumah Mas Rebo yang tidak jauh dari rumah adik ayahku, mungkin hanya sepelemparan batu jauhnya.

***

Dua minggu kemudian, di pusaran ayahku....

“Bapakkkkkkkk....” Teriakku di tengah pusaran ayahku tanda tidak menerima kepergiaan ayahku. “Mengapa kamu cepat meninggalkan aku?aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Siapa lagi yang bisa aku jadikan tumpuan dan teladan hidupku? Semua saudaramu sama-sama membenci aku, sekarang aku mau hidup di mana? Mengapa hidup kita begitu nelangsa ? Tuhan berikanlah aku kekuatan, berikanlah aku jalan. Mamang aku percaya kalau Tuhan akan menerima ayahku di sisi-Nya. Tetapi sekarang apa yang bisa aku lakukan, Gustiiiiiiiiiiiiiiiiiiii?” pintaku kepada Tuhan dengan iringan tangisan kesedihan yang semakin mendalam dengan iringan tepukan tangan ke dadaku sendiri.

No comments:

Post a Comment

Link Teman-Teman