DARI KONFERENSI PBB TENTANG
PERUBAHAN IKLIM
(Peter Aman, OFM)
Bali selama kurang lebih dua minggu, 3 – 15 Desember 2007, menjadi sorotan global. Betapa tidak. Belasan ribu delegasi dari sekitar 187 negara hadir di sana. Kelompok-kelompok LSM dalam dan luar negeri juga tumpah ruah di Nusa Dua, tempat Konferensi berlangsung.
Yang mendorong mereka mengalir ke Bali hanya satu, yakni keprihatinan global tentang bumi kita yang semakin panas. Emisi gas rumah kaca umumnya dituding sebagai penyebab utama pemanasan global. Tetapi emisi gas rumah kaca bukanlah suatu subyek yang harus bertanggungjawab terhadap akibat dampak negatif yang disebabkannya. Emisi gas rumah kaca adalah produk buatan manusia yang tidak menimbang dampak ekologis dari perilakunya, khususnya dalam penggunaan atau pemanfaatan sumber-sumber alam.
Pencemaran udara akibat emisi bahan bakar fosil dan minyak bumi erat terpaut pada pola hidup (konsumtif) dan pola produksi yang diterapkan oleh manusia. Penebangan hutan berskala jutaan ha setiap tahun untuk dikonversi menjadi ladang-ladang sawit bersumber pada keinginan manusia menumpuk harta di dunia sambil merugikan kehidupannya sendiri di masa kini dengan rusaknya hutan. Toh ternyata para pengikut St. Fransiskus Assisi tidak berpangku tangan, malah turut serta membabat hutan untuk perkebunan sawit mereka.
Konferensi Pemanasan Global di Nusa Dua Bali kembali mengingatkan kita bahwa lingkungan hidup yang tidak lagi utuh cepat atau lambat akan mengancam dan memusnahkan keutuhan ciptaan secara keseluruhan. Tentu, apa yang disepakati di sana bukanlah hukum-hukum yang mewajibkan. Kewajiban untuk peduli pada bumi tentu mesti lahir dari kesadaran dan tanggung jawab atas kehidupan dan keberlangsungan kehidupan, baik manusia maupun ciptaan secara keseluruhan.
Salah satu pokok yang menarik dari Konferensi ini adalah munculnya gagasan untuk menopang dan menunjang kehidupan masyarakat pinggiran hutan, agar mereka tidak membabat hutan demi sesuap nasi. Kehidupan mereka harus dibantu, kebutuhan harus dipenuhi dan hutan harus dijaga. Jadi mesti ada kompensasi yang adil. Ketika rakyat dilarang membabat hutan maka pemerintah harus menemukan alternatif demi kehidupan mereka.
Gagasan ini kelihatannya indah, tetapi di balik itu tetap tidak berubah cara pandang bahwa kerusakan hutan terutama disebabkan oleh rakyat-rakyat kecil sekitar hutan. Yang tidak diakui dan ingin disembunyikan adalah hasrat dan nafsu besar kaum kapitalis yang membabat habis hutan dan penghancuran kekayaan hayati di dalamnya demi tanaman monokultur, semacam sawit, untuk keuntungan ekonomis sesaat.
Keluhan kelompok masyarakat asli yang disuarakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) atau sejumlah utusan dari Afrika, Asia, Amerika Latin, tetap menjadi seperti suara yang berseru di padang gurun. Ideologi hidup ekologis, masih tunduk tak berdaya di hadapan ideologi ekonomi kapitalis, yang mempertaruhkan keberlanjutan kehidupan atas nama uang.
Para pengikut St. Fransiskus Assisi, Pelindung Ekologi, akan terus menerus ditantang untuk hadir dan mewujudkan kharisma dan warisan spiritualnya yang pekat akan nilai ekologis. Kehadiran para pengikut St. Fransiskus di hampir semua pulau di Nusantara ini mestinya menjadi ‘jiwa dan suara hati’ bangsa untuk terus mengingatkan bahwa merusak alam adalah merusak keseluruhan keutuhan ciptaan; merusak keutuhan ciptaan adalah pelanggaran terhadap mandat awali manusia untuk memelihara keutuhan ciptaan dan keutuhan kehidupan secara keseluruhan.
No comments:
Post a Comment