Headline Majalah PERANTAU

Pencarian Lokal

Custom Search

Titipan Link Teman

Tuesday, March 4, 2008

Edisi Januari-Februari: Fokus

MEMBANGUN KESEJAHTERAAN BERSAMA
(Surip Stanislaus OFMCap.)

Pengantar Redaksi:
St. Fransiskus Assisi selalu mengucapkan salam “Pax et Bonum, Pace e Bene” dan mengingatkan agar para pengikutnya selalu menggunakan salam itu. Tak sulit melacak dari mana asal-muasal salam yang disukai Fransiskus itu. Tentu dari Kitab Suci yang tidak saja dibaca, tetapi terutama dihidupi oleh St. Fransiskus sendiri. Tulisan Sdr. Surip Stanislaus OFMCap berikut ini mengantar kita untuk memahami makna serta konteks alkitabiah dari salam itu. Bagaimanakah arti salam, slm, syalom itu dalam Kitab Suci? Apa hubungannya dengan istilah kesejahteraan umum? Selamat membaca!

Shalom! Kiranya satu kata Ibrani ini dapat merangkum seluruh pembicaraan kita tentang kesejahteraan bersama. Kita sering menerjemahkan kata itu dengan “damai”. Namun tidak jarang kita hanya mengartikan damai dengan tidak ada perang, tak terjadi konflik, dan ketenangan batin. Sebenarnya shalom mempunyai cakupan yang lebih luas lagi. Akar kata Ibrani slm lebih dekat dengan kata selamat atau mungkin juga salam. Sebab ide dasarnya berkaitan dengan totalitas yang berhubungan dengan kebaikan. Sebagaimana kita mengucap selamat untuk segala sesuatu yang baik, demikian muatan kata shalom. Sebagaimana kita memberi salam dan titip salam untuk pengalaman dan harapan yang baik-baik saja, demikian halnya shalom. Jadi, apapun yang mendatangkan kebaikan dapat disebut shalom. Karena itu shalom memang mencakup keseluruhan yang baik, entah itu soal kesehatan, kedamaian, kemakmuran, kesejahteraan, keharmonisan, keadilan, kesuksesan, kemerdekaan, keselamatan, kebahagiaan ataupun pengharapan.
Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama shalom lebih mengerucut pada makna kesejahteraan sosial yang lahiriah. Penafsir kawakan sekaliber G. von Rad berpendapat bahwa banyak kutipan memaparkan kalau shalom sering dipakai untuk menunjuk pada keadaan kelompok dari pada perorangan. Pada umumnya shalom dipakai sebagai konsep sosial. Shalom itu terungkap dalam bentuk kesejahteraan sosial yang lahiriah. Jadi, shalom dalam Perjanjian Lama lebih menyangkut soal kesejahteraan manusia. Kesejahteraan itu sifatnya bukan individual, tetapi sosial, bukan perseorangan, tetapi bersama. Kesejahteraan itupun bukan terutama berkaitan dengan hal-hal spiritual, tetapi material, bukan rohaniah, tetapi lahiriah.
Shalom yang berarti kesejahteraan bersama secara lahiriah itu akan menjadi terang benderang kalau kita sandingkan dengan soal keadilan. Dalam Perjanjian Lama ada dua kata Ibrani yang menunjuk pada keadilan, yaitu mishpath dan sedakah. Kata mishpath biasa kita terjemahkan dengan “hukum” atau “keadilan”. Kata ini berasal dari kata shaphat yang berarti “mengadili untuk menyelamatkan seseorang dari penindasan” dalam konteks yuridis, etis maupun religius. Dengan demikian para pemimpin yang membebaskan Israel dari penindasan bangsa-bangsa lain (Hak 2:16-19; 3:10; 4:4; 10:2-3; 11:27; 12:7-14; 15:20; 16:13) disebut shophetim (para hakim), karena mereka bertindak demi keadilan dan untuk menyelamatkan orang-orang Israel dari penindasan.
Kata sedakah atau sedek berasal dari akar kata sdq yang berarti “keadilan”. Kata ini mengacu pada intervensi Yahwe yang membebaskan Israel dari perbudakan di tanah Mesir. Sebab alasan pembebasan itu adalah keadilan sosial, di mana Allah menegakkan persaudaraan antarmanusia. Untuk itu Allah membuat hukum yang melindungi hak dan kewajiban semua manusia, khususnya yang miskin dan tertindas, dan mengoreksi praktek-praktek ketidakadilan lewat para nabi-Nya. Dengan demikian keselamatan dan kesejahteraan umat manusia tergantung dari praktek keadilan sosial.
Perjanjian Lama menyajikan peran yang sangat dominan dari para nabi dalam memerangi ketidakadilan untuk menciptakan kesejahteraan sosial secara material. Para nabi itu muncul dari berbagai lapisan sosial, tetapi mereka memiliki satu keprihatinan yang sama terhadap keadilan. Mereka prihatin terhadap tatanan sosial yang tidak melindungi nilai-nilai manusiawi dan sosial, tetapi malah menghancurkannya. Maka, diilhami oleh visi tentang Kerajaan Allah, di mana ketidakadilan akan diganti persaudaraan, penindasan akan diganti kebebasan dan damai, para nabi secara keras mengecam segala bentuk penindasan dan ketidakadilan, kecurangan dan penipuan, monopoli dan penyuapan, penurunan martabat dan penumpahan darah orang tak bersalah, dll. Tuduhan berat dialamatkan kepada mereka yang memegang kekuasaan dan memetik keuntungan-keuntungan dari sistem yang ada, dan merekalah pendobrak atas status quo politik, sosial, ekonomi dan keagamaan yang korup pada zamannya. Namun para nabi tidak hanya melancarkan kritik-kritik destruktif, tetapi juga memberikan alternatif yang selalu mengacu pada perjanjian Allah dengan umat-Nya. Kita lihat dan belajar saja dari beberapa nabi berikut.
Sekitar tahun 750 SM Nabi Amos tampil di Israel waktu pemerintahan Raja Yerobeam II dan situasi militer, politik maupun ekonomi cukup baik. Kemakmuran itulah yang membuat dalam waktu singkat para pegawai tinggi menjadi kaya raya dan perayaan peribadatan menjadi mewah meriah. Namun sayang keadaan itu tidak merata, sehingga orang kaya menjadi semakin kaya dan orang miskin menjadi semakin miskin, sebab orang-orang yang berkuasa seenaknya mempergunakan kekuasaannya untuk menjerat orang-orang kecil dengan hutang dan tidak tanggung-tanggung memperbudaknya. Dalam situasi kemewahan dan ketidakadilan yang merajalela itulah Nabi Amos tampil dengan nubuat kesudahan sudah datang, karena Allah akan memberhentikan sejarah keselamatan. Ia mengecam terutama kalangan penguasa yang memperkosa keadilan dalam masyarakat dan melakukan penindasan rakyat jelata. Lebih jauh lagi, memperkosa hak sesama manusia berarti juga memperkosa perjanjian dengan Allah, sebab Allah mengadakan perjanjian-Nya bukan hanya dengan kalangan elit yang berkuasa, tetapi dengan seluruh umat manusia. Maka, ia pun mencela praktek peribadatan yang tidak berkenan pada Allah karena tidak berasal dari sikap hati yang benar. Sikap inilah yang akan mendatangkan hukuman Allah. Meski demikian nubuat-nubuat nabi Amos tidak hanya berupa ancaman, tetapi terselip juga nubuat keselamatan bagi yang bertobat. Ia selalu mengajak umat untuk kembali ke jalan yang lurus: "Carilah Tuhan, maka kamu akan hidup. Carilah yang baik… supaya kamu hidup" (Am 5:6.14). Mencari Tuhan bukan hanya berarti beribadat kepada-Nya, tetapi terlebih mencintai yang baik dan menegakkan keadilan dalam pintu gerbangnya, yakni dalam masyarakat.
Perhatikan kecaman Amos ini (yang jangan-jangan juga kena untuk kita): “Hai kamu yang mengubah keadilan menjadi ipuh, dan yang mengempaskan kebenaran ke tanah… Mereka benci kepada yang memberikan teguran di pintu gerbang, dan mereka keji kepada yang berkata dengan tulus ikhlas. Sebab itu, karena kamu menginjak-injak orang yang lemah, dan mengambil pajak gandum dari padanya, sekalipun kamu telah mendirikan rumah-rumah dari batu pahat, kamu tidak akan mendiaminya; sekalipun kamu telah membuat kebun anggur yang indah, kamu tidak akan minum anggurnya. Sebab Aku tahu, bahwa perbuatanmu yang jahat banyak dan dosamu berjumlah besar, hai kamu yang menjadikan orang benar terjepit, yang menerima uang suap, dan yang mengesampingkan orang miskin di pintu gerbang. Bencilah yang jahat dan cintailah yang baik; dan tegakkanlah keadilan di pintu gerbang…” (Am 5:7, 10-12, 15). Orang-orang kuat kuasa telah mengubah keadilan menjadi ipuh (tanaman yang rasanya pahit sekali => kiasan untuk kepahitan malapetaka). Praktek pengadilan yang jujur di pintu gerbang dirusak dan dijadikan alat untuk memeras orang-orang lemah, di mana para petani bukan lagi menjadi pemilik atas tanahnya sendiri tetapi penyewa pada orang-orang kaya. Hakim-hakim pun makan suap dan menjadi musuh bagi orang-orang tak bersalah.
Sementara itu suhu politik di Yehuda kian memanas dan tidak begitu aman, sehingga dibangunlah benteng-benteng pertahanan di daerah-daerah perbatasan dan pedalaman. Untuk itu banyak pejabat tinggi dari kota turun ke pedalaman memimpin proyek pembangunan militer dan situasi setengah darurat itu memaksakan prosedur pembebasan tanah sesederhana dan secepat mungkin. Alhasil para pimpro itupun dengan dalih demi kepentingan nasional bersekongkol dengan pejabat rendah di daerah merampas ladang demi ladang dan rumah demi rumah, sehingga dalam waktu singkat banyak petani kecil kehilangan tanah pusakanya, tidak mempunyai jaminan kesejahteraan dan terpaksa menjadi budak, bahkan menjadi buruh di bekas tanah ladangnya yang telah dirampas. Situasi itu kian memburuk karena para pejabat tinggi terus bertindak bagai binatang buas yang menelan daging sesamanya, para pejabat setempat tidak berani melindungi rakyat atau tidak jarang malah ikut dalam permainan busuk itu dan para imam pun menjadi mata duitan sehingga dapat dibeli oleh para penguasa.
Dalam situasi demikian itulah sekitar tahun 721 SM Nabi Mikha, seorang nabi di daerah pedalaman, tampil atas nama Allah dengan kecamannya yang keras terhadap ketidakadilan: “Baiklah dengarkanlah ini, hai kepala Yakub, dan para pemimpin kaum Israel! Hai kamu yang muak terhadap keadilan dan yang membengkokkan segala yang lurus, hai kamu yang mendirikan Sion dengan darah dan Yerusalem dengan kelaliman! Para kepalanya memutuskan hukum karena suap, dan para imamnya memberi pengajaran karena bayaran, para nabinya menenung karena uang, padahal mereka bersandar kepada Tuhan dengan berkata: Bukankah Tuhan ada di tengah-tengah kita! Tidak akan datang malapetaka menimpa kita! Sebab itu oleh karena kamu maka Sion akan dibajak seperti ladang, dan Yerusalem akan menjadi timbunan puing, dan gunung Bait Suci akan menjadi bukit yang hutan” (Mi 3:9-12). Sebuah kecaman pedas bagi para pemimpin yang tidak adil, hakim-hakim yang makan suap, imam-imam dan nabi-nabi yang mata duitan. Mereka mengira Yerusalem akan aman berkat bangunan Bait Allah yang berdiri di situ, tetapi yang akan terjadi adalah kota itu akan dibajak seperti ladang dan Yerusalem akan menjadi timbunan puing-puing.
Nabi Yehezkiel pun mengecam para pemimpin (yang siapa tahu mereka itu kita juga): “Celakalah gembala-gembala Israel, yang menggembalakan dirinya sendiri! Bukankah domba-domba yang seharusnya digembalakan oleh gembala-gembala itu? Kamu menikmati susunya, dari bulunya kamu buat pakaian, yang gemuk kamu sembelih, tetapi domba-domba itu sendiri tidak kamu gembalakan. Yang lemah tidak kamu kuatkan, yang sakit tidak kamu obati, yang luka tidak kamu balut, yang tersesat tidak kamu bawa pulang, yang hilang tidak kamu cari, melainkan kamu injak-injak mereka dengan kekerasan dan kekejaman. Dengan demikian mereka berserak, oleh karena gembala tidak ada, dan mereka menjadi makanan bagi serigala binatang di hutan. Domba-domba-Ku berserak dan tersesat di semua gunung dan di semua bukit yang tinggi; ya, di seluruh tanah itu domba-domba-Ku berserak, tanpa seorangpun yang memperhatikan atau yang mencarinya” (Yeh 34:1-6). Dalam kecaman ini dilukiskan bahwa pemimpin dan bawahannya bagaikan gembala dan kawanan domba. Para pemimpin itu memeras rakyat, merampas miliknya dan menggemukkan diri sendiri. Mereka tidak memiliki kemampuan penggembalaan untuk melindungi anggota masyarakat yang lemah tak berdaya. Mereka tidak menghimpun rakyatnya, tetapi malah membiarkan kawanan dombanya tercerai-berai.
Para nabi mengecam keras para pemimpin Israel, karena mereka yang seharusnya menciptakan kesejahteraan sosial, justru bertindak tidak adil dan mengutamakan kepentingan sendiri. Mereka bahkan membiarkan suasana ketidakadilan tetap terjadi, agar dapat menangguk keberuntungan darinya. Tak jarang mereka juga cuci tangan dengan tidak mau tahu dan tak peduli akan penderitaan rakyat miskin yang tertindas. Mereka betul-betul jauh dari predikat eirenopois, kata Yunani yang berarti “pembawa damai”. Kata Ibrani shalom diterjemahkan ke bahasa Yunani dalam Perjanjian Baru eirene.
Dalam kotbah di bukit Yesus mengatakan: “Berbahagialah orang yang membawa damai…” (Mat 5:9). Jelas-jelas dikatakan tentang orang yang membawa atau mengupayakan damai dan bukan sekedar orang yang menjaga dan cinta damai. Sebab banyak orang yang cinta damai memilih berdiam diri dan menghindari masalah, sehingga keadaan yang membahayakan itu tetap berlangsung. Pembawa damai itu bukan sikap pasif, tetapi aktif, kreatif dan berinisiatif untuk mencari solusi demi perdamaian, meskipun jalan untuk itu harus konfrontatif dan penuh tantangan. Pembawa damai adalah orang yang melibatkan diri secara aktif untuk menciptakan perdamaian demi kesejahteraan bersama.
Yesuslah pembawa damai sejahtera bersama itu: “Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang jauh dan damai sejahtera kepada mereka yang dekat, karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa” (Ef 2:17-18). Perkataan ini mengacu pada nubuat keselamatan yang disampaikan Nabi Yesaya: “Damai, damai sejahtera bagi mereka yang jauh dan bagi mereka yang dekat” (Yes 57:19). Mereka yang dekat adalah orang-orang Yahudi yang mengklaim dirinya sebagai umat pilihan Allah; dan mereka yang jauh adalah orang-orang kafir yang dipandang oleh bangsa Yahudi sebagai tempat curahan murka Allah dan makanan api neraka. Tetapi dengan kematian Yesus, tembok pemisah antara orang-orang Yahudi dan non-Yahudi itu telah dirobohkan. Berkat darah Yesus baik bangsa Yahudi maupun bangsa kafir telah diperdamaikan dengan Allah. Yesuslah pembawa damai sejahtera kita bersama: “Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merobohkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu” (Ef 2:14-16).

No comments:

Post a Comment

Link Teman-Teman