Headline Majalah PERANTAU

Pencarian Lokal

Custom Search

Titipan Link Teman

Saturday, May 2, 2009

DINAMIKA

Penolakan Pendirian PLTN
Dies Natalis STF Driyarkara ke-39


Efek negatif dari keberadaan PLTN lebih banyak dan mengerikan dibandingkan dengan keuntungan yang bakal dinikmati masyarakat.


DALAM kemelut protes masyarakat akan kebijakan pemerintah khususnya PLN yang melakukan pemadaman listrik di Pulau Jawa dan Bali akhir-akhir ini dengan alasan krisis energi, menguatlah kembali kontroversi seputar rencana pemerintah mendirikan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di Semenanjung Muria.
PLTN sangatlah diperlukan oleh negara kita, demikian asumsi pemerintah yaitu, dengan pertimbangan bahwa energi nuklir diperlukan demi mendukung keamanan pasokan energi jangka panjang serta pelestarian lingkungan, maka sejak 2004 pemerintah menghidupkan lagi rencana pembangunan PLTN Fissi (Pembelahan inti-inti atom) di Semenanjung Muria. Rencana itu sendiri sudah dimulai sejak 1974, namun diambangkan 1996 menyusul protes keras masyarakat. Kemudian 2006 pemerintah mengeluarkan PP no. 5 tahun 2006 yang menetapkan kontribusi sumber-sumber energi alternatif minimal 5% termasuk energi nuklir, dan PP no. 43 tahun 2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir. Tender direncanakan berjalan tahun 2008 dan tahap konstruksi direncanakan 2010/11. Di masyarakat sendiri tetap terdapat suara-suara yang menentang keras rencana pemerintah tersebut. Ini dikarenakan ancaman bahaya PLTN lebih besar dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh. Selain itu tanah air kita sangatlah kaya akan berbagai sumber energi alternatif yang terbarukan yang lebih aman dan menghasilkan energi yang besar pula seperti panas bumi (geothermal), tenaga angin, sinar matahari, tenaga air, gelombang laut, bioenergi-biofeul dan biogas, dsb.
Desakan penolakan itu tak urung semakin menguat tatkala forum Masyarakat Peduli Bahaya PLTN yang terdiri dari berbagai tokoh dengan latar belakang disiplin ilmu pendidikan yang berbeda-beda, mengeluarkan pernyataan di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Rawasari, Jakarta Barat, (Sabtu, 23/2) yang isinya mendesak pemerintah membatalkan rencana pembangunan PLTN Semenanjung Muria.
Lebih lanjut, dalam kata sambutannya, Ketua STF Driyarkara, Pastor Dr Eddy Kristiyanto OFM, memaparkan bahwa forum tersebut diadakan dalam rangka Dies Natalis ke-39 STF Driyarkara. Forum tersebut merupakan tindak lanjut dari berbagai forum dalam menanggapi rencana Go Nuclear pemerintah yang sudah diadakan oleh berbagai pihak seperti Univ. Soegijapranata, Suara Merdeka, Univ. Satya Wacana, Pemerintah Kudus, dsb.

Menolak Keras
Forum yang dihadiri lebih dari 200 orang dari berbagai latar belakang pendidikan tersebut juga menghadirkan warga tapak yang tempat tinggalnya terkena dampak rencana proyek PLTN pemerintah. Ketua PCNU Jepara, KH. Nuramin “Gus Nung” bertutur, “Secara lokal mereka sudah mengharamkan PLTN. Namun ketika kami mengecam rencana pemerintah ini, yang marah malah Ketua PBNU Pusat KH. Hasyim Musadi. Ini membuat kami bingung.”
Lebih lanjut, Ketua Paguyupan Masyarakat Balong Jepara, Sumedi dan Ketua Masyarakat Reksa Bumi, Lilo Sunaryo, berharap bahwa forum di STF Driyarkara tersebut dapat membangun suatu resolusi dalam menolak PLTN. “Masyarakat tapak dulunya bisa beraktivitas dengan nyaman, namun semenjak mendengar rencana pembangunan PLTN itu, masyarakat hidup dalam kecemasan,” tukas Sumedi.
Tak ketinggalan pula Ketua Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia-AIPI, Prof Dr Bambang Hidayat, turut mengkritik kebijakan energi pemerintah, “Untuk keamanan energi dan untuk keamanan umumnya, bioteknologi dapat dimanfaatkan. Pemerintah harus dapat mendayagunakan pembangunan biofuel,” paparnya.
Terkait dengan dasar pendapat penolakan para akademisi tersebut, Sosiolog UI, Dr Francisia SSE Seda, mengingatkan bahwa dasar argumen penolakan kita harus jelas. Dalam arti kita memberi solusi tetapi solusi itu harus jelas secara konkret dan spesifik. “Kita tidak ingin tentunya dikatakan oleh pemerintah bahwa kita memberi solusi, tetapi solusi kita abstrak,” ujar Francisia.
Sementara itu, Ketua Panitia Dies Natalis ke-39 STF Driyarkara, Pastor Dr Setyo Wibowo, ketika ditemui menjelaskan mengapa Dies Natalis kali ini, STF mengangkat isu PLTN. Menurutnya, awalnya STF bingung apa kira-kira tema khusus Dies Natalis STF Driyarkara kali ini. Kami ingin mengangkat isu lingkungan. Isu sampah sudah pernah diangkat lalu global warming baru-baru saja ada konferensinya kemudian tiba-tiba ada pemikiran bagaimana jika kita mengangkat isu PLTN di Semenanjung Muria yang kontroversi tersebut.

Sikap Gereja
Masih menurut Pastor Setyo, bahwa hingga saat ini pemerintah ternyata sudah mempersiapkan secara matang rencana pendirian PLTN tersebut. Bahkan Undang-Undangnya sudah dibuat. Tinggal menunggu kata ‘oke’ dari presiden maka rencana tersebut segera dieksekusi.
Masalahnya adalah bukannya kita menolak PLTN secara an sich, melainkan kebijakan publik di belakang keputusan tersebut sangatlah tidak masuk diakal untuk saat ini. Padahal negara kita sangat kaya akan berbagai sumber energi yang terbarukan terutama seperti Panas Bumi, Gelombang Air Bawah Laut, Angin, Panas Matahari dan sebagainya. Oleh karena itu alasan pemerintah yang mengatakan bahwa negara kita krisis sumber energi sangatlah tidak beralasan. Sumber Minyak Bumi, Batu Bara, dan Gas Alam kita juga sangat banyak, tetapi 70% dari itu malah kita ekspor dan hanya 30% saja yang kita konsumsi.
Jika pemerintah ngotot mendirikan PLTN maka berbagai masalah segera muncul bukan hanya masalah lingkungan, tetapi sosial, budaya, hukum bahkan etis-teologis. Pastor Setyo menambahkan bahwa selama ini yang paling getol bersuara untuk menolak rencana PLTN adalah saudara kita muslim khususnya NU dan beberapa denominasi Gereja Kristen. Sedangkan dari Gereja Katolik belum ada atau belum jelas. “Padahal cukup banyak orang Katolik yang terlibat dalam masalah tersebut,” ujarnya. Karena itu ironis sekali jika ternyata kesadaran sosial dan berbangsa kita sebagai umat Katolik ternyata masih kurang.
Kita berharap Gereja Katolik, khususnya KWI dapat bersuara sedikit dan berpihak pada rakyat. “Semoga KWI dapat terbuka. Jangan menutup mata terhadap masalah ini dan dapat melakukan kajian secara mendalam serta turut mendesak pemerintah untuk menolak rencana PLTN di Semenanjung Muria,” harap Pastor Setyo.

Infografis isi pernyataan Masyarakat Peduli Bahaya PLTN:

Setelah menimbang berbagai aspek yang terkait dengan rencana pembangunan PLTN Fissi di Semenanjung Muria, Masyarakat Peduli Bahaya PLTN menyatakan:

Masyarakat Peduli Bahaya PLTN mendesak pemerintah agar membatalkan segala upaya membangun PLTN Fissi di Semenanjung Muria dengan pertimbangan:
1. Risiko PLTN Fissi Muria terlalu tinggi.
2. Tidak ada urgensi untuk membangun PLTN Fissi Muria.
3. Banyak sumber energi alternatif ramah lingkungan untuk dikembangkan di Indonesia.
4. Adanya penolakan masyarakat, khususnya masyarakat setempat.


Ditandatangani di Jakarta, 23 Februari 2008, oleh:
Prof Dr Bambang Hidayat (Ketua Asosiasi Ilmu Pengetahuan Indonesia-AIPI), Prof Dr Damardjati Supadjar (UGM), Prof Dr Kautsar Anshari Noer (UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat), Prof Soetandyo Wignjosoebroto (Fisipol Univ. Airlangga), Dr Sonny Keraf (Wakil Ketua Komisi VII DPR bidang Energi), Prof Dr Toeti Heraty Noerhadi (Univ. Indonesia), Prof Dr Magnis Suseno (STF Driyarkara), Prof Dr Budi Widianarko (Toksikologi Univ. Soegijapranata), Dr Asep Saifudin (IPB), Dr Zainal Abidin Baqir (Kajian Religi dan Budaya UGM), Dr Sunarko (STF Driyarkara), V Hadiyono, SH, M.Hum (Hukum Univ. Soegijapranata), Ir G Heliarko(Tehnik Univ. Sanata Dharma), Dr Heru Nugroho (Sospol UGM), Prof Dr Saparinah Sadli (Kajian Wanita UI), Dr Francisia SSE Seda (Fisip UI), Prof Dr Sastrapratedja (STF Driyarkara), Ir Fabby Tumiwa (Institute for Essential Service Reform), Prof Dr Musdah Mulia (UIN/ICRP), Dr Iwan Kurniawan (STIE Nusantara, Fisikawan-Nuklir), Dr Karlina Supelli (STF Driyarkara, Dr JB. Hari Kustanto (STF Driyarkara).

Infografis tentang kawasan Muria bersama dengan inset Peta Semenanjung Muria:

Letak geografis kawasan Muria sangatlah unik, yaitu dilindungan semacam benteng alami, khususnya di Semenanjung Muria. Karena adanya benteng alami inilah maka Semenanjung Muria dipilih sebagai tempat pembangunan PLTN. Selain itu Muria terletak di pinggir laut yang dapat digunakan sebagai sumber air untuk mengoperasikan PLTN.
Kawasan Muria sendiri terletak di antara tiga kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yaitu, Kudus, Pati, dan Jepara. Kawasan ini mempunyai banyak potensi yang layak untuk dikembangkan, seperti pertanian, wisata religi, ekosistem, dan geowisata. Untuk lokal Kudus, kawasan Muria di Kecamatan Dawe dan Rahtawu, mempunyai potensi unggulan. Seperti keindahan alam di sekitar Colo (Dawe), lengkap dengan petilasan Sunan Muria. Sedangkan di Rahtawu, banyak prosesi religi yang unik.


Oleh: Maurits S. Rakadewa, OFM

PUISI

Rivo Torto
Oleh Sdr.Kris Tumpajara,MTB
Tinggal di Kom. Singkawang



Persis di lekukan batang sungai
Kau tanam pohon yang lebih menyerupai tanaman liar,
yang ranting-rantingnya tak beraturan
di kala Assisi terlalu gerah dengan tembok-tembok bata merah
yang kerap membangkitkan amarah

Mengapa kau tidak menanam di bukit Subacio dan memerah ternak para pertapa?
Mengapa kau tidak mengiba pada warisan menek moyangmu yang membuat garis
garis nasibmu lebih terjamin?

Persis, di lekukan batang sungai
Kau dirikan pondok yang lebih menyerupai gubuk liar dan sewaktu-waktu dapat
digusur oleh badai kecongkakan penguasa dengan tembok-tembok keserakahan yang
menggerogoti hati dan pikirannya

Namun, di Rivo Torto
Ada keceriaan terpancar, kesederhanaan terungkap, kemiskinan yang menyalakan
tungku kemurnian hati dan ketaatan pada tempat yang sesungguhnya, pada
petak di lantai yang kau garis dengan tanganmu sendiri

Ya ....di Rivo Torto
Para peziarah dapat memetik buah dari pohon yang kau tanam,
lalu melepas penat perjalanan di bawah rindangnya dedaunan yang menyejukan.
jika senja telah menjemput di ambang barat, tidak seorang pun harus merasa takut
untuk tidak mendapat tempat guna meletakan tubuh

Kini masihkah RivoTorto menjadi Betlehem bagi saudara?
Kini masihkah Rivo Torto menjadi cita-cita bagi saudara?

Waktu yang akan menjawabnya!!!

PUISI

Dengan Jubah Lusuh
Oleh Sdr. Kris Tampajara,MTB
Tinggal di Kom. Singkawang


Kau berkeliling di kota yang angkuh dengan tembok merah
Lalu berdendang ria bersama sahabat dalam pelukan dewi malam nan cantik
Alunan suaramu selalu menggairahkan para taruna kota
Yang kerap melongokan kepala pada jendela-jendela ketika rombonganmu menyusuri jalan
malam yang terlalu larut

Dan sorak-sorai memenuhi sudut-sudut kota menyambut tembang lawas yang kau lantunkan dan
selalu menggaduhkan suasana kota yang telah terlelap

Dengan darah muda kau menuju Perugia untuk mengabdi pada kota Asisi
Di dadamu bergelora semangat ksatria yang terlalu rapuh untuk diselamatkan pada hari
kemenangan, sebab kau meringkuk tak berdaya pada keangkuhanmu sendiri

Dengan tubuh yang rapuh kau kembali ke Assisi untuk melepas baju jirah yang terlalu berat untuk
kau kenakan, mungkin kepulanganmu lebih cocok sebagai perjalanan kembali pada rumah batinmu dan bergelut dengan suara-suara yang menggema di sudut-sudut ranjang ketakberdayaan

Di kala itulah kau bergumam pada dirimu sendiri, metanoia.....metanoia.....di jendela rumah
sembari memandang langit biru nan cerah

Ada keyakinan, namun kerap kali diselimuti keragu-raguan pada hari depanmu
Mungkin di San Damianolah tumbuh keberanian untuk berteriak lantang
metanoia...metanoia....yang menggema di seluruh kota Assisi. Kepahitan menjadi kemanisan,
keragu-raguan menjadi keyakinan, kekayaan menjadi kemiskinan, ksatria menjadi hamba,
kemewahan menjadi kesederhanaan. Oh.....inilah yang telah lama terpendam pada ladang Assisi
Katamu ketika kau mengikat jubah lusuh dengan tali ketaatan pada tuan puteri kemiskinan yang selalu memesona jiwamu

Kini kau tidak lagi berkeliling kota dengan membusungkan dada lalu membuat Assisi terjaga pada larut malam oleh sorak-sorai mabuk pestamu yang nyentrik

Namun dengan jubah lusuh yang lebih mendekati jorok, kau membuat Assisi terperangah
Dengan alap santunmu yang lebih mendekati kemanjaan, kau membuat puteri Assisi terpesona

Ya.....dengan menjadi hamba, para ksatria kota telah kau taklukan dengan kelembutan jiwamu

CERPEN

PESAN TERAKHIR
Angela Marici, FMM



Kriiiing..kriiiing...kriiing........……Kring….
”Haloooo…,dengan Fery di sini ‘met siang…”
“Hai, Fer, ini aku, Ayu”, dengan nafas terengah-engah. “Ada kabar buruk untukmu “.
“Kabar buruk…., kabar buruk apa?”,tanya Fery dengan suara menekan dan mulai terasa jantungnya berdetak kencang. Ia berharap Ayu hanya menggodanya saja, tetapi dari suaranya sepertinya ada sesuatu yang serius yang mau disampaikan Ayu. “Sorry ya Fer…aku terpaksa memberitahumu by telpon”, jawab Ayu dengan suara setengah nervous. “Akuu..aku..cuman mau memberi kabar kepadamu kalau ….” Tiba-tiba Ayu terdiam, perasaanya kalut, tak tega rasanya harus memberitahu Fery bahwa dia telah kehilangan orang yang dia kagumi dan sekaligus dia hormati. Fery pasti shock kalau kuberitahu pastor Fransiskan itu telah meninggal dunia semalam, ditabrak lari oleh sebuah mobil buggy yang berlari kencang menghindari lampu merah. Apalagi, karena Pastor Fransiskan itu, Fery telah banyak berubah selama tiga tahun belakangan ini. Mereka menjadi sahabat yang sangat akrab hingga Fery selalu menyapanya dengan panggilan sayangnya “Father”. Bagi Fery, pastor tua asal negeri kanguru itu adalah tokoh inspiratifnya di zaman edan ini.

“Haloo…Ayu….kenapa diam, kabar buruk apa….? Kamu jangan bikin aku penasaran dong, aku sahabatmu. Aku siap mendengarkan kabar apapun, bahkan yang terburuk sekalipun.”
“Oke....Fer,”jawab Ayu dengan suara yang lebih tenang dan hati-hati. “...Father Nasarius-mu meninggal dunia semalam, beliau ditabrak”, jelas Ayu pelan.
“Apaaaa...O...tidaaaak. Aku pasti salah dengar Ayu! Kamu pasti bohong. Aku tahu hari ini tanggal 1 April dan itu tidak berarti kamu harus bohong seperti ini,”teriak Fery keras. “ ini benar Fer, jenazahnya sudah berada di gereja St. Antonius,” tambah Ayu dengan suara lebih lembut lagi. Misa requiem Pkl.12.00 siang. Segera datang ya Fer, aku tunggu kamu di sana.

********
Hampir satu tahun lamanya, setiap akhir pekan kubur Father Nasarius menjadi acara kunjunganku. Waktu yang cukup panjang untuk bergulat menerima kenyataan kalau dia telah dipanggil selamanya. Kalau ia telah pergi cuti abadi bersama sang kekasihnya di Surga. Aku selalu saja mengenangnya. Ia telah meletakkan satu memo kecil -sebuah catatan kaki di sudut hatiku-. Ada sekian banyak hari telah kami lalui bersama. Bulan-bulan dan tahun-tahun yang indah telah kami lewati dan setiap perjumpaan selalu saja ada yang menggores dan menggugah hati nuraniku dan meningkatkan cita rasa iman katolik di dalam hatiku. Father Nasarius, sosok yang selalu menampilkan matahari dikala hatiku gelap berawan. Ia tak pernah bosan untuk memapahku bila aku jatuh dan jatuh lagi dalam lembah keputusasaan. Kala lalulintas pikiranku macet ia selalu membimbingku untuk menemukan lampu hijaunya. Mengenangnya adalah adalah bagaikan memiliki sebuah kaset rekaman. Kapan dan di mana pun aku bisa memutarnya di kepalaku. Ia pernah mengajariku untuk untuk mengalami cinta persaudaraan dan kekeluargaan di dalam sebuah panti asuhan. Aku menemukan kecintaannya yang besar pada mereka yang tidak mengalami keutuhan rumah tangga seperti yang aku alami. Ketika kutanya apa alasannya hingga Father melakukan semuannya itu, “Apakah karena jadual ataukah sebuah keharusan sebagai seorang Fransiskan?” Jawabannya selalu sederhana dan tanpa nada gusar,”Semua untuk Yesus. Kita dipanggil untuk hidup sebagaimana Yesus hidup”. Sungguh jawaban yang tidak bertele-tele. Banyak hal yang ku-pelajari dari padanya bukan saja yang keluar dari perkataannya tetapi juga dari tindakan yang penuh kesederhanaan yang dibaluti rasa cinta yang tulus. Semangat kerja keras dan kerendahan hati, sangat memancar kuat dari dalam dirinya. Bukan suatu tindakan yang dibuat-buat.

Sore itu rupanya perjumpaan yang terakhir di pendopo pastoran, sebelum maut menjemputnya. Saat itu aku bertemu dengan Father hanya untuk sekedar sharing akan ketertarikanku pada hidup yang digulatinya dan identitasnya sebagai seorang Fransiskan. Ketika berjalan hendak pulang, ia merangkul pundakku dengan hangat seperti seorang ayah dan berbisik, “Fery, aku tak punya sesuatu yang istimewa untukmu. Ini ada kalung Tau untukmu, memang kelihatannya sudah usang, tapi.... ini telah menjadi saksi bisu akan perjalanan dan perjuanganku selama lima puluh tahun sebagai seorang Pastor dan religius Fransiskan. Bagiku orang yang punya hati untuk mencintai yang pantas memakai kalung Tau, dan kau telah pantas untuk memakainya. Cintai apa saja yang ada di muka bumi ini termasuk yang paling dekat denganmu yaitu kelemahan dan kerapuhanmu. Kau tak mesti masuk biara Fransiskan untuk menghayati semangat kefransiskanan. Tetapi bukan berarti engkau Fransiskan tulen hanya dengan memakai kalung Tau ini, kalau ternyata hidup, perkataan, dan tingkah lakumu tidak mencerminkan pribadi yang Fransiskan.”, katanya sambil menepuk pundakku. “Kenakanlah kalung Tau ini, sebagai ikon yang mengendalikan seluruh perjalanan hidup dengan segala keinginanmu yang tidak beraturan. Lakukanlah segala sesuatu yang benar dan baik dengan hati yang penuh cinta. Saya yakin dan percaya kau tak akan kembali lagi ke duniamu yang dulu. Untungnya kau belum terlalu jauh terjerumus dalam dunia obat-obat terlarang itu. Tak ada kata terlambat untuk bertobat dan berubah”. “Fery, kau anak yang baik. Jalan hidupmu masih membentang luas ke depan. Apapun pilihan hidupmu kelak lakukan yang terbaik”. “Aku selalu mendoakanmu. Usiaku sudah lanjut dan aku tak bisa mendampingimu terus. Berdoalah bila kau mengalami kesulitan dan pandanglah kalung Tau ini bila hatimu mulai menyesatkan engkau pada hal-hal yang tidak berguna,” pesannya lembut. “Father, terima kasih ya,” kataku sambil mengangguk pelan.

Pagi ini, di dalam kamarku tidak sadar aku meneteskan air mataku mengingat pesan terakhir Father. Father tidak pernah memaksaku tetapi selalu berharap agar aku melakukan yang terbaik setiap harinya. Kulihat mataku di cermin yang memerah karena menangis. Kubasuh lagi mukaku di wastafel yang ada di sudut kamarku. Tiba-tiba kudengar ada yang mengetok halus di pintu kamarku. Tok ...tok..tok..”Siapa?” jawabku pelan sambil melap mukaku. “Selamat pagi Pater Fery, maaf saya ini Frater Edo, hanya mau mengingatkan Pater bahwa Misa perayaan Panca Windu hidup Imamat Pater akan diundur sepuluh menit, karena Mgr. Alex masih dalam perjalanan”. “Oke...terima kasih Frater atas infomasinya, saya akan tunggu di samping sakristi”, jawab Pater Fery tanpa membuka pintu kamarnya. “ Terima kasih Father, untuk semua cintamu yang memekarkan hidup panggilanku,” ucap Pater Fery dengan perasaan bahagia.

SAUDARA KELANA

RELIGIUS DI GELANGGANG POLITIK


Philipina sudah menjadi contoh klasik untuk keterlibatan Gereja dalam arena politik yang berhasil. Presiden Ferdinand Marcos dipaksa turun oleh kekuatan yang disebut “People Power”. Di belakang massa rakyat ada Kardinal Jaime Sin. Dan di barisan paling depan ada biarawati. Mereka berunjuk rasa untuk menggulingkan Marcos dengan menghadapi tank-tank militer yang menghadang mereka. Militer tak berdaya menghadapi barisan perempuan berkerudung yang maju hanya dengan merentang spanduk.
Presiden Gloria Arroyo Macapagal rupanya sekarang juga sedang digoncang. Politisi mau mendorong dia sampai ”lengser”. Tetapi siapa yang bisa mengerahkan massa? Mereka kembali memandang kepada para Uskup dan pasukan religius yang dianggap punya ”power” untuk menggerakkan massa. Ternyata Uskup-Uskup hanya menghimbau pemerintah agar bersih dan adil. Mereka tidak turun ke jalan, juga tidak mengerahkan umatnya untuk itu.
Apakah para pemimpin Gereja itu berpolitik? Memang! Baik Kardinal Sin di zaman Marcos maupun Uskup-Uskup Philipina di zaman Arroyo berpolitik. Dan mereka semua terkena kritik. Kardinal Sin dianggap terlalu jauh masuk gelanggang politik praktis. Sedangkan Uskup-Uskup di zaman Arroyo dikritik sebagai yang berpolitik dari ”menara gading” tanpa ikut merasakan bau keringat masyarakat yang berjuang melawan korupsi. Siapa yang benar?
Politik, kata orang, adalah art, kiat atau lebih tepat seni. Sebagai seni, tentu ada keindahannya; dan sebagai kiat ada ketrampilan dalam mengatur tindakan agar tepat dan bermanfaat. Maka politik adalah seni mendayagunakan komponen-komponen masyarakat, agar mendatangkan manfaat untuk seluruh warga masyarakat. Politik dalam arti itu tentu baik dan indah. Tetapi kalau para politisi justru menyalahgunakan komponen masyarakat hanya untuk mencari kursi dan duit maka politik menjadi buruk dan busuk. Semua warga masyarakat punya hak politik untuk membetulkan arah permainan politik agar tetap terfokus pada kebaikan warga masyarakat seluruhnya. Juga orang-orang Gereja, termasuk para Fransiskan, punya hak untuk itu, lebih-lebih untuk mengarahkan para politisi kepada kepentingan warga masyarakat yang paling tidak berdaya.
Pertanyaannya ialah cara manakah yang boleh dipakai? Menyerukan moral politik? Menggerakkan massa? Menebar spanduk dengan iringan yel-yel tolak itu, turunkan itu? Khusus untuk biarawan-biarawati, pertanyaannya ialah cara mana yang sesuai dengan panggilan hidup mereka?
Cara apa pun yang dipakai, kalau tujuannya untuk menjamin tercapainya kesejahteraan masyarakat kecil, tindakan politik kita pasti baik. Untuk itu, para Fransiskan harus menyerukan moral politik, bahkan boleh turut berjemur diri di Bundaran Hotel Indonesia untuk menentang politisi yang korup.
Tetapi kalau suara politik kaum religius hanya untuk pamer kuasa atau, lebih buruk lagi, merebut kuasa, aksinya tidak lagi mengungkapkan panggilannya. Dan ancaman itu ada, bukan dari polisi atau dari Badan Intelijen Negara (BIN), tetapi dari diri kita sendiri. Mereka yang sekarang tampil sebagai pendekar HAM sedang naik daun. Dengan klaim bahwa suara mereka adalah “voice of the voiceless”, mereka mudah mendapat sponsor untuk menyebarkan suaranya melalui berbagai media sampai ke dunia internasional. Karena itu mereka mempunyai kekuatan, memiliki “power” yang membuat para penguasa takut dan gentar.
Itulah ancaman pertama bagi orang Gereja yang terjun di gelanggang politik. Mereka mendapat “kuasa”. Padahal kuasa dan kekorupan bersahabat akrab. Orang yang punya kuasa gampang melorot menjadi bejat. Ancaman itu menjadi kenyataan kalau kekuasaan didukung popularitas yang mendatangkan arogansi yang membuat telinga orang menjadi tuli sehingga tidak lagi mampu mendengarkan orang lain.
Ancaman kedua ialah perpecahan. Politik gampang menjadi kekuatan yang membawa perpecahan. “Kita” terbagi menjadi “aku” – “kau” dan “kami” – “kita”. Maka mereka yang merasa dipanggil sebagai pembawa damai patut waspada. Sebab menjadi pembawa damai dan sekaligus pembawa perpecahan rasanya sukar dipadukan, walaupun belum tentu jahat.
Ancaman ketiga dan paling serius ialah pendangkalan hidup keagamaan kita. Semarak penampilan agama dalam gelanggang politik bisa membuat agama kelihatan relevan dan bermakna. Tetapi agama bukan hura-hura. Nasihat-nasihat Injil yang mau dijadikan pedoman hidup kaum religius bukanlah nilai-nilai yang bisa meresapi orang melalui unjuk rasa dan unjuk kuasa. Semakin kuat dan kuasa penampilan luar kita, kita cenderung mengukur mutu hidup kita dari “aspek kulitnya dan bukan isinya” dengan akibat hidup kita menjadi dangkal.
Apa yang kita butuhkan untuk tidak jatuh dalam bahaya itu? Keheningan! Kita perlukan keheningan agar kita bisa menemukan tempat berpijak dalam lubuk hati kita sendiri. Dari sanalah memancar mata air keadilan dan damai yang tidak bisa dihasilkan oleh ribut-gaduh dan hura-hura gelanggang politik.

REFLEKSI

Politik dan Kebutuhan
Sdr. Edy Wiyono, OFM

Dalam hidupnya, manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan ini ada yang harus dipenuhi dengan segera agar dapat tetap hidup, misalnya kebutuhan makanan. Kebutuhan-kebutuhan akan berkembang sejalan dengan perkembangan hidup manusia itu sendiri. Manusia memiliki kebutuhan-kebutuhan seperti pakaian, rumah, sarana-sarana komunikasi, transportasi, hiburan, dan sarana-sarana lain yang dapat membuat kehidupan manusia dapat dikatakan semakin manusiawi. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan manusia yang semakin bertambah itu bagi sebagian orang belum cukup membuat manusia merasa nyaman dan survive. Ada orang yang ingin mendapat prestise dari makanan yang ia makan, pakaian yang ia kenakan, rumah yang ia diami, alat komunikasi yang ia gunakan, pekerjaan, dan hal lainnya. Prestise-prestise yang dirasakan oleh orang dalam hidupnya juga belum dapat membatasi munculnya kebutuhan-kebutuhan baru lagi. Orang masih membutuhkan sesuatu yang dapat membuat hidupnya sungguh nyaman dan sejahtera. Sesuatu itu ialah makna dan nilai. Kebutuhan akan makna dan nilai inilah yang mungkin dapat dikatakan sebagai puncak dari kebutuhan dalam hidup seseorang. Orang akan merasa puas atau bahagia apabila dapat menemukan atau memberikan makna dan nilai dalam hidupnya. Orang yang sudah menemukan makna dan nilai tidak menginginkan hal lain lagi, selain memperdalam dan memperluas makna dan nilai itu dalam hidupnya. Hal ini mengandung arti bahwa orang akan menggunakan apa yang ada dalam dirinya dan sarana-sarana yang ada untuk memperdalam dan memperluas makna serta nilai hidupnya. Makna dan nilai yang demikian berarti menembus realitas dan melampaui egoisme pribadi dan kelompok.
Lalu, apakah ada hubungan antara kebutuhan-kebutuhan dengan perilaku orang dalam hidupnya? Pada dasarnya kebutuhan-kebutuhan itu dapat berdampak positif bagi perilaku orang dalam hidupnya. Kebutuhan-kebutuhan itu mendorong atau memotivasi orang untuk berbuat sesuatu atau berperilaku tertentu yang terarah pada pemenuhan kebutuhan yang sedang dirasakan. Akibatnya orang akan merasa senang dengan terpenuhi kebutuhannya itu. Bahkan, dapat dikatakan orang merasa puas untuk sesaat. Ya, kepuasan sesaat. Selanjutnya, terpenuhinya satu kebutuhan hidup akan menyusul timbulnya kebutuhan lain yang lebih tinggi tingkatannya. Hal ini tentu baik karena dalam diri orang akan ada pendorong baru dalam perilakunya. Hidup manusia akan menjadi dinamis dengan munculnya pendorong-pendorong perilaku yang baru dan tinggi tingkat atau kualitasnya.
Dalam berpolitik, kebutuhan-kebutuhan hidup yang dihayati dapat menjadi pendorong atau motivator dalam perilaku orang yang berpolitik. Konsekuensinya ialah apabila orang yang berpolitik masih menghayati secara intens kebutuhan-kebutuhan hidup pada level rendah, maka perilaku politiknya juga akan terarah pada tujuan-tujuan yang rendah nilainya. Perilaku politik orang dapat terarah pada kepentingan pelaku politik sebagai pribadi dan kelompoknya yakni menambah income, mencari prestise, menonjolkan peran kelompoknya, memperkuat pengaruhnya terhadap pemerintah dan kurang memperjuangkan harapan sebagian besar warga masyarakat. Sebaliknya, apabila orang yang berperilaku politik menghayati kebutuhan-kebutuhan pada level yang tinggi (kebutuhan akan makna dan nilai), maka perilaku politiknya juga akan terarah pada tujuan-tujuan yang tinggi pula. Tujuan-tujuan politik yang tinggi akan memuat kepentingan seluruh warga masyarakat dan akan mewujudkan pula harapan seluruh warga masyarakat sehingga memberikan kesejahteraan bagi berbagai golongan. Hal serupa kiranya juga dapat terjadi dalam suatu lembaga hidup religius.
Suatu lembaga hidup religius beranggotakan orang-orang yang juga menghidupi aspek manusiawi. Aspek manusiawi ini terkadang kurang terolah karena pikiran dan segenap energi terarah pada tuntutan atau budaya intelektual. Adanya kecenderungan pada budaya intelektual ini mendorong orang untuk memperkaya diri dengan berbagai gagasan dan teori-teori yang selalu berkembang. Hal ini terkadang membuat orang lalai atau tak ada waktu untuk meng-inkorporasi-kan apa yang dipelajarinya itu dalam suatu perilaku nyata sehari-hari. Akibatnya, aspek-aspek manusiawi kurang terolah karena segenap energi diarahkan pada gagasan-gagasan dan teori-teori yang baru. Apabila yang terjadi dalam diri religius demikian dan religius tersebut punya peran dalam mencapai tujuan-tujuan atau menentukan kebijakan dalam lembaganya, maka bukan hal mustahil yang terwujud kebutuhan-kebutuhannya dari aspek manusiawi yang kurang terolah. Akibatnya, apa yang menjadi kebijakan dalam lembaganya dan usaha-usaha perwujudannya menjadi pergunjingan dari banyak anggotanya. Karena itu seorang religius perlu mengolah aspek-aspek manusiawinya sampai pada kualitas yang memungkinkan aspek-aspek spiritualitas lembaga dan kekristenan dapat berkembang secara baik. Berkembangnya aspek-aspek itu dalam diri seorang religius memungkinkannya memiliki kebutuhan akan makna dan nilai yang dalam serta luas. Apabila kebutuhan ini intens dalam diri religius yang ikut menentukan kebijakan-kebijakan dalam lembaga religiusnya, maka kebijakan-kebijakan itu akan menjadi spirit para anggotanya dalam hidup harian. Kebijakan-kebijakan demikian juga akan memberi manfaat dan kesejahteraan bagi banyak anggota dalam lembaga itu dan dirasakan positif oleh orang-orang yang dilayaninya. Dengan demikian kebutuhan akan makna dan nilai yang dalam dan luas sangat dibutuhkan untuk berkecimpung dalam berpolitik agar politik sungguh-sungguh menjadi sarana kesejahteraan bagi kehidupan banyak orang.

FOKUS

MARKETISASI PENDIDIKAN
Sdr. Darmin Mbula, OFM


Dalam era globalisasi ekonomi kapitalis, politik pendidikan cenderung menuju kepada marketisasi (kapitalisme), komodifikasi dan komersialisasi. Arah dan isi pendidikan sekolah dilihat sebagai aset dalam rangka proses perolehan finansial. Dalam konteks politik pendidikan di Indonesia, hal ini terjadi dengan praktek liberalisasi dan privatisasi pendidikan secara sistematis yang dilegalisasikan melalui sejumlah dokumen dan teks-teks kebijakan pendidikan nasional seperti UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional , UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, RUU BHP dan Kepres No. 77/2007 tentang Komoditas yang tertutup dan terbuka. Dampaknya adalah pendidikan semakin mahal dan nyaris tak terjangkau oleh masyarakat miskin.
Demokrasi yang sehat dan kuat pada tingkat nasional membutuhkan warga masyarakat yang kuat di tingkat lokal. Pendidikan semestinya menjadi jembatan bagi proses demokratisasi bagi bangsa dan negara di dunia. Oleh karena itu, pemerataan pendidikan harus diupayakan secara serius dan sistematis.
Pertanyaannya adalah apakah politik pendidikan neoliberal yang melegitimasikan liberalisasi pendidikan dapat membentuk warga negara yang demokratis dan menjamin kesejahteraan umum serta perdamaian dunia? Ketika sekolah berubah menjadi pasar (kapitalisme global), apa peran strategis kita sebagai fransiskan dan fransiskanes yang menyelenggarakan sekolah-sekolah dengan ribuan subyek didik di seluruh persada Nusantara?

Politik Pendidikan Neoliberal: Marketisasi Pendidikan
Politik pendidikan neoliberal lahir dari globalisasi ekonomi kapitalis. Globalisasi ekonomi adalah proses di mana barang-barang, jasa, investasi, tenaga kerja dan informasi mengalir secara bebas lintas batas-batas nasional dengan tujuan utama untuk mengakumulasi modal secara maksimal. Kapitalisme global meliputi komodifikasi semua jenis usaha manusia untuk menghasilkan nilai dan profit yang surplus. Korporasi transnasional merupakan lingkaran utama di mana nilai surplus diakumulasi sebagai keuntungan yang besar. Hal itu terjadi melalui mekanisme pasar bebas (marketisasi).
Alan Wolfe mengamati bahwa ada mekanisme pasar dalam pendidikan di sekolah. Para siswa merasa diri sebagai pembeli dan para guru di sekolah merasa diri sebagai penjual komoditas. Implikasi marketisasi untuk masa depan pendidikan ialah bahwa jasa pendidikan dijadikan sebagai komoditas yang bisa diperjual-belikan demi keuntungan yang sebesarnya-besarnya bagi pemilik modal. Helen Raduntz mengungkapannya bahwa marketisasi pendidikan dalam ekonomi kapitalis tidak berkaitan dengan kualitas pendidikan atau dengan kepeduliaan sosial, etis dan keadilan, tetapi berkaitan dengan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya (M W Apple ed., Globalizing Education, Poicies, Pedagogies, & Politics, 2007).
Dalam proses marketisasi, pendidik dimarginalisasi dalam kemurahan hati para pelatih (trainers) dan manager bisnis. Pembelajaran di ruang kelas telah menjadi otomatis melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Pengetahuan pendidik (guru dan dosen) dikomodifikasi dan dipaketkan untuk online learning. Kursus-kursus kemanusiaan yang nilai pasarnya rendah disingkirkan sebagai model instrumental. Bagi Noble, kecenderungan-kecenderungan itu menandakan model pendidikan yang sungguh-sungguh kapitalis. Akibatnya, terjadi injeksi kompetisi dalam lembaga-lembaga pendidikan, suatu ketidakadilan dalam perlengkapan pendidikan dan suatu kencenderungan meningkatnya spesialisasi yang sempit. Apa yang ditinggalkan adalah sebuah ”tubuh”yang dipotong-potong, tidak lagi dalam suatu posisi melahirkan banyak gagasan kritis dan kreatif, tetapi melahirkan tenaga kerja yang terampil yang dibutuhkan kaum kapitalis (Noble D., Digital Diploma Mills: The Automation of Higher Education, 2002). Universitas sebagai rumah penuh kuasa untuk melahirkan gagasan merupakan target utama untuk investasi, industri-industri yang berbasis pengetahuan seperti telekomunikasi, komputer, elektronik dan bioteknologi. Karena invetasi ini besar keuntungannya, maka gagasan dan pikiran mereka dilindungi dengan undang-undang copyright dan hak paten,
Pendidikan tidak terlibat secara langsung dalam produksi dan komoditas untuk akumulasi modal tetapi pendidikan terlibat secara tidak langsung sebagai produsen pengetahuan dan tenaga terampil, oleh karena itu pendidikan dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari infrastruktur yang mendukung secara langsung penumpukan modal. Pada titik ini, marketisasi pendidikan memasuki arena politik untuk menyingkapkan ”agitasi” demokratis demi kualitas dan keadilan. Munculnya ketidakadilan yang baru dalam dunia pendidikan sebagai hasil marketisasi membuktikan bahwa ketidakadilan bukan hanya konstruksi teoritis atau sesuatu yang secara subyektif dialami oleh individu, tetapi ketidakadilan mempunyai basis obyektif dalam relasi struktural dari model produksi kapitalis.

Kebangkitan Education-state
Pendidikan neoliberal yang melahirkan marketisasi pendidikan sama sekali tidak mampu membentuk sebuah tatanan dunia baru, sebuah masyarakat yang demokratis yang menjamin kesejahteraan umum dan perdamaian dunia serta keutuhan alam ciptaan. Oleh karena itu, paradigma baru dalam bidang politik pendidikan sangat dibutuhkan, yaitu sebuah konsep education-state untuk mendidik warganya dan peserta didik guna memliliki kemampuan-kemampuan demokratik.
Education-state berkeyakinan bahwa pendidikan adalah hak dasar manusia sebagai manusia. Karena itu pendidikan harus diselenggarakan dengan menjunjung tinggi hak asasi, demokrasi, keadilan dan tidak diskriminasi di tengah kemajemukan bangsa. Model penyelenggaraan pendidikan semacam itu dapat berfungsi untuk mempertahankan demokrasi dan menjamin kesejahteraan umum. Mark Olssen dan John Cood mengingatkan kita bahwa pendidikan merupakan sebuah kekuatan utama untuk merekonstruksi warga negara yang demokratis ( Mark Olsssen dkk, Education Policy: Globalization, Citizenship & Democracy, 2004). Karena itu politik dilihat dari perspektif pendidikan adalah pendidikan untuk demokrasi (education for democracy) dan demokrasi dalam pendidikan (democracy in education). Keunggulan dan pemerataan pendidikan harus diupayakan secara serius dan sistematis sehngga kesenjangan dalam dunia pendidikan bisa diminimalkan dan pendidikan bisa menjadi jembatan bagi proses demokratisasi bangsa.
Held dan McGrew’s menyatakan bahwa pendidikan harus bertujuan mewujudkan demokrasi sosial kosmopolitan global. Dan kita melihat kebangkitan education state sebagai dasar untuk munculnya tatanan dunia baru yang penuh demokratis, adil dan menjunjung tinggi hak asasi serta menghargai nilai-nilai kemajemukan. Dalam konteks globalisasi, kita perlu membiasakan anak-anak memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi bangsa lain dan segala persoalan dunia
Pendidikan demokrasi tidak hanya peduli dengan belajar tentang demokrasi tetapi juga dengan keterlibatan dalam berdemokrasi. Pendidikan demokrasi tidak hanya melalui kurikulum tetapi juga melalui ekstrakurikuler dengan fokus pada pembelajaran langsung dan tidak langsung melalui partisipasi dalam lembaga sekolah, forum komunitas sekolah, dan forum antar sekolah demi relasi pendidikan yang lebih luas. Pendidikan untuk demokrasi yang sungguh-sungguh efektif akan melibatkan transformasi budaya sekolah. Sebagaimana dikatakan oleh Beane dan M. Apple bahwa peningkatan partisipasi pada akar rumput dan sekolah dapat memberdayakan individu dan kelompok yang sampai sekarang dibisu-diamkan secara luas dan menciptakan cara-cara baru dalam hubungan antara dunia real dan masalah-masalah sosial dengan sekolah sehingga sekolah secara integral dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Dewasa ini, kita membutuhkan bukan sekedar konsep negara kesejahteraan (the welfare state), tetapi negara harus menjadi suatu negara pendidikan (education state) yang mendidik warganya demi tercapainya kesejahteraan masyarakat (the welfare community). Penulis meyakini bahwa hanya dalam negara pendidikanlah, politik pendidikan menghasilkan kebijakan-kebijakan pendidikan nasional yang menjamin pendidikan demokratis dan demokrasi dalam pendidikan demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Pendidikan di sekolah-sekolah Fransiskan
Pendidikan di sekolah-sekolah Fransiskan tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Peserta didik adalah anak-anak yang unik dan berasal dari berbagai suku, tradisi dan keluarga yang berbeda-beda. Pendidikan di sekolah-sekolah Fransiskan tidak hanya tempat dan ruang kelas untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi merupakan pusat pembudayaan dan peradaban manusia yang disinari Kabar Baik (Injil) dengan semangat St. Fransiskus dari Assisi yang sungguh peduli terhadap lingkungan hidup, persaudaraan dan perdamaian, serta solidaritas dengan kaum marginal. Oleh karena itu pendidikan di sekolah-sekolah Fransiskan-Fransiskanes tidak untuk mencari keuntungan finansial yang sebesar-besarnya, apalagi untuk menumpuk modal besar, tetapi merupakan panggilan hidup dan jiwa untuk memenuhi bumi dengan injil, untuk membebaskan orang –orang yang tertindas, miskin dan bodoh.
Agar pendidikan di sekolah Fransiskan-Fransiskanes sungguh-sungguh menjadi sebuah panggilan hidup dan jiwa untuk mencerdaskan dan membebaskan serta menyejahterahkan anak-anak bangsa, maka kita perlu melakukan hal-hal yang strategis sebagai berikut:
Pertama, pendidikan di sekolah-sekolah Fransiskan-Fransiskanes harus benar-benar menjadi gerakan untuk membela dan memihak anak-anak yang miskin dan ’bodoh’. Visi dan misi pendidikan di sekolah-sekolah kita adalah pemihakan terhadap rakyat kecil dan tertindas untuk menciptakan suatu sistem sosial baru yang lebih adil dan demokratis. Sebuah pendidikan yang sungguh-sungguh diperuntukkan guna menyadarkan dan mengentaskan masyarakat miskin dari jeratan struktural yang hegemonik dan pembodohan menuju pada proses pencapaian pembebasan kemanusian. Pendidikan yang memerdekakan dan mampu memberikan pencerahan bagi semua manusia. Oleh karena itu sekolah-sekolah yang kita layani terbuka lebar-lebar bagi mereka yang termarginalisasi. Sekolah –sekolah kita perlu meningkatkan solidaritas dan kerjasama antar yayasan dan teraket kita.
Kedua, pendidikan adalah proses bertumbuh bersama dalam nilai dan rahmat ( value and grace) Pendidikan menumbuh-kembangkan peserta didik untuk menjadi pribadi bagi yang lain. Pendidikan di sekolah-sekolah kita harus memekarkan potensi peserta didik bukan untuk bersaing tetapi untuk bekerjasama, untuk bertanggungjawab dan peka terhadap sesama dan lingkungan hidup di sekitar mereka. Tugas pendidikan Fransiskan adalah humanisasi kehidupan. Pendidikan sebenarnya adalah sebuah proses bertumbuh bersama dengan dan ke arah makna yang tidak lain dari pada bertumbuh dalam nilai dan rahmat.
Ketiga, pendidikan di sekolah-sekolah kita berbasis holistik dan berorientasi pada kepedulian terhadap lingkungan hidup di sekitar kita. Keberhasilan pendidikan saat ini hanya didasarkan pada besarnya jumlah lulusan yang terserap di lapangan industri. Pendidikan dipakai sebagai instrumen untuk melahirkan kuli-kuli bagi sektor industri, bukan sebagai proses pencerdasan, pendewasaan masyarakat. Reduksionisme pendidikan sebagai lembaga kursus keterampilan itu bertolak dari pandangan bahwa pendidikan merupakan instrumen bagi penyiapan tenaga kerja industri atau untuk ekonomi global, sehingga ukuran keberhasilan pendidikan terletak pada terserap pada ekonomi global. Bahaya dari pandangan ini adalah mengasingkan peserta didik dari lingkungan alam sekitar, lingkungan sosial maupun lingkungan budayanya. Sekolah-sekolah yang dilayani Fransiskan janganlah terjebak pada reduksionisme ini, tetapi mengembangkan pendidikan yang holistik. Pendidikan lebih sebagai proses untuk tumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan perkembangan jiwa serta karakter anak itu sendiri.
Keempat, pendidikan di sekolah-sekolah Fransiskan –Fransiskanes harus membuat peserta didik untuk sadar diri sebagai warga bumi. Pendidikan di sekolah-sekolah kita harus menuntun ke antropo-etika (etika manusia), mampu membentuk suara hati peserta didik yaitu suara hati antropologis; suara hati ekologis; suara hati warga bumi dan suara hati spiritual akan kondisi manusiawi. Pendidikan kita juga hendaknya mencakup perkembangan terpadu antara otonomi individu, partisipasi kelompok dan kesadaran sebagai bagian umat manusia. Oleh karena itu pendidikan perlu menyadarkan peserta didik akan keberdaan kita sebagai warga bumi untuk berdamai dan bersahabat dengan bumi.
Kelima, Pendidik (guru) di sekolah-sekolah Fransiskan-Fransiskanes bukan hanya tugas profesi tetapi sungguh-sungguh sebagai panggilan jiwa. Iming-iming komisi dari pelbagai industri telah menjadikan profesi guru dilihat sebagai broker dari industri pariwisata, industri penerbitan, industri tekstil, industri sepatu dan lain sebagainya. Posisi ekonomi guru tidak pernah kaya dengan bertindak sebagian broker industri, tetapi peran broker-nya membuat pendidikan menjadi rusak dan profesi guru menjadi rendah, terpuruk. Peran guru sebagai broker juga telah mereduksi fungsinya sebagai pendidik yang seharusnya mencerdaskan, membuat kritis dan mendewasakan murid. Oleh karena itu pendidik di sekolah-sekolah Fransiskan-Fransiskanes bukanlah broker-broker, tetapi guru sebagai panggilan hidup dan jiwa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Link Teman-Teman