Semua Orang Ingin Sejahtera
(Titus Angga Restuaji, OFM)
(Titus Angga Restuaji, OFM)
Baru-baru ini saya pergi ke pasar Senen. Membandingkan suasana tempat tersebut saat ini dengan 5-4 tahun yang lalu memang ada yang berbeda. Keruwetan lalu lintas memang masih menjadi ‘ciri khas’ tempat tersebut, apalagi menjelang sore hari. Namun setidaknya keruwetan daerah pasar Senen, terutama sekitar jembatan layang, berkurang dengan ‘dipindahkan’nya para pedagang yang dulu sering mengganggu pemakai jalan karena lapak-lapak mereka yang ‘memakan’ badan jalan. Kolong jembatan yang biasanya menjadi rumah para pemulung dan tunawisma ditembok rapat sehingga penduduk Jakarta tidak perlu melihat pemandangan tak sedap. Namun, beberapa bagian dari tembok penutup kolong jembatan layang itu kini sudah dijebol. ‘Hasil jebolan’ tersebut menjadi seperti pintu dan jendela tempat orang dan udara keluar masuk.
Peristiwa tersebut secara spontan menyita perhatian saya. Tembok penutup kolong jembatan yang jebol tersebut menyampaikan sebuah pesan bagi wawasan saya: kemiskinan tidak bisa ditutupi dan setiap orang akan berusaha sekuatnya untuk mencapai kesejahteraan. Saya tidak tahu siapa dan apa tujuan orang-orang yang menjebol tembok itu. Namun, saya berandai-andai bahwa mereka yang menjebol tembok itu ingin tinggal di dalamnya.
Tembok yang menutupi kolong jembatan layang. Jika kita melihat sesuatu yang tertutup atau terbungkus, secara spontan kita ingin mengetahui apa yang ada di dalamnya; bertanya: “Apa yang terbungkus dan tertutup itu?” Apa yang ada di balik tembok penutup jembatan layang itu? Setahu saya sebelum ditutup dengan tembok tempat itu adalah tempat beristirahat dan bahkan mungkin menjadi rumah bagi para tunawisma, pengemis, pemulung beserta anak-anak mereka. Tempat itu kumuh karena banyak sampah hasil kerja para pemulung. Mungkin juga tempat itu berbau pesing dan apek karena sebagai rumah, tempat itu tidak menyediakan tempat khusus bagi penghuninya untuk kegiatan Mandi, Cuci dan Kakus (MCK). Pokoknya suasana tempat itu sangat kumuh dan tidak sedap dipandang.
Namun, penduduk Jakarta tidak perlu khawatir akan berlama-lama melihat gambar kemiskinan tersebut. Pemerintah kota sudah siap siaga dengan solusinya: “Ditembokin aja! Cepat dan efektif. Kan, langsung nggak kelihatan kekumuhan itu.” Bersamaan dengan itu inti persoalan kemiskinan pun ikut ‘ditembok’.
Tembok itu jebol! Hingga suatu saat kenyamanan itu terusik kembali: tembok yang menutup kolong jembatan itu ‘terjebol’. Ah, ternyata tembok itu tidak sekokoh kelihatannya. Bukan, bukan! Bukan ‘terjebol’ tetapi ‘dijebol’! Rupanya kekokohan tembok itu tidak dapat menahan kuatnya semangat para tunawisma untuk mempunyai rumah, untuk sejahtera. “Kesejahteraan itu seharusnya milik kami juga!” Teriak mereka kuat-kuat.
Saya yakin pelaku penjebolan tembok tersebut tak hendak menjebol tiang-tiang penopang jembatan layang. Karena jika memang benar dugaan saya bahwa mereka yang menjebol tembok tersebut bertujuan untuk tinggal di bawah jembatan layang itu, maka menjebol tiang penopang jembatan layang berarti membinasakan hidup mereka sendiri. Itu bukan tujuan mereka. Tujuan mereka adalah kesejahteraan hidup, bukan kematian. Maka dalam mencapai cita-cita kesejahteraan pun mereka pasti tak pernah berdoa: “Tuhan, semoga mereka yang kaya Kau jatuhkan dan jadi miskin, dan kami yang miskin Kau angkat jadi kaya.” Siapa tahu Tuhan membantu mereka menjadi sejahtera melalui tangan orang-orang yang punya. Yah, siapa tahu?
Memang tepat pertanyaan ini: Apakah jika mereka telah mempunyai ‘rumah’ di kolong jembatan itu mereka dapat dikatakan sudah sejahtera? Tentu saja tidak. Tapi, bagi mereka itu lebih baik dari pada tidak mempunyai tempat berteduh sama sekali. Walaupun tak punya harta berharga, mereka masih punya harapan bahwa anak-anak mereka dapat bertahan hidup, bahkan tumbuh sehat jika mampu, agar nasib keluarga dapat terangkat. Walaupun setiap hari mereka harus menerima kenyataan bahwa ‘kesejahteraan’ itu nyatanya hanya milik orang-orang ‘yang berpunya’, atau yang setidaknya tercukupi kebutuhan-kebutuhan dasarnya. Bukan milik mereka yang kebutuhan dasar sehari-hari pun tidak selalu terpenuhi. Tetapi mereka berhak berharap untuk menjadi sejahtera kan? Walaupun itu hanya harapan. Mereka berhak bermimpi kan? Walaupun mungkin akan terus tinggal sebagai mimpi? Jika mimpi untuk menjadi sejahtera adalah milik semua orang, mengapa kenyataan kesejahteraan hanya dimiliki oleh sebagian orang? Mimpi dapat jadi tak terwujud karena orang tidak mau bangun dari tidur. Namun, mimpi juga tidak dapat terwujud karena sesudah bangun orang pun tak diberi kesempatan untuk meraih mimpinya.
Saling-silang
Bagi siapa saja, kesejahteraan memang tidak datang dengan sendirinya. Ia menginginkan manusia mengejarnya, berlari, agar tidak saja manusia ‘kenyang perutnya’ tetapi juga lincah, kuat dan bahagia. Andaikan setiap orang di muka bumi ini telah tercukupi kebutuhannya akan sandang, pangan, dan papan, akankah pencarian untuk kesejahteraan berakhir? Saya rasa tidak. Kesejahteraan menyangkut juga yang batiniah: Apakah hati saya damai karena hubungan yang baik dengan tetangga? Apakah saya mampu berekreasi setelah sibuk bekerja? Apakah relasi saya dengan Sang Sumber Hidup terpelihara baik?
Namun, orang yang lapar akan sulit untuk mengganti rasa laparnya dengan berekreasi sepanjang hari. Bahkan orang yang tak punya rumah tidak akan tahu siapa tetangganya untuk disapa. Kesejahteraan bagi para tunawisma, pemulung dan anak-anaknya pertama-tama adalah mempertahankan hidup: makan supaya dapat bekerja lagi, sandang supaya dapat bergaul dengan orang lain dan tempat tinggal yang tetap sebagai penanda identitas yang lebih jelas. Untuk mendapatkan kesejahteraan itu mereka harus mengejarnya.
Bagi penguasa yang berhati nurani, yang tahu kekuasaannya berasal dari rakyatnya, kesejahteraan berarti terpenuhinya kebutuhan rakyatnya. Penguasa yang berhati nurani menghendaki rakyatnya hidup dalam ketercukupan, keteraturan, kenyamanan, kerukunan. Ada yang kaya, ada yang sederhana, tetapi tidak ada yang miskin. Setiap titik kemiskinan adalah penodaan atas janjinya terhadap rakyatnya. Penguasa yang berhati nurani akan mendorong dan membantu rakyatnya untuk giat bekerja; menyusun kesejahteraan hidupnya, membangun kesejahteraan masyarakatnya. Untuk mendapatkan kesejahteraan itu pemerintah harus mengejarnya.
Kesejahteraan bermakna “ke-saling-silang-an” karena dalam mencapainya seseorang tidak dapat mengabaikan orang lain. Tanpa pemerintah kesejahteraan akan menjadi kekacauan. Tanpa rakyat, siapa yang akan bekerja demi kesejahteraan bersama? Kesejahteraan harus diperjuangkan secara bersama-sama, karena akan dimiliki bersama. Untuk mencapai kesejahteraan setiap orang harus menganggap orang lain adalah saudara-saudarinya; untuk berbagi dan menerima, untuk memahami dan dipahami, untuk mengerti dan dimengerti, untuk menguatkan dan dikuatkan.
Bagi kita yang berkecukupan apa makna kesejahteraan itu? Jika kita setuju bahwa kesejahteraan adalah hak semua orang dan harus diwujudkan secara bersama-sama, tentu kita juga akan berjuang untuk diri kita, keluarga, tetapi juga untuk orang lain: berlaku adil, tidak serakah, hemat, belas kasih, peduli. Karena setiap orang ingin sejahtera.
No comments:
Post a Comment