Headline Majalah PERANTAU

Pencarian Lokal

Custom Search

Titipan Link Teman

Saturday, May 2, 2009

SAUDARA KELANA

RELIGIUS DI GELANGGANG POLITIK


Philipina sudah menjadi contoh klasik untuk keterlibatan Gereja dalam arena politik yang berhasil. Presiden Ferdinand Marcos dipaksa turun oleh kekuatan yang disebut “People Power”. Di belakang massa rakyat ada Kardinal Jaime Sin. Dan di barisan paling depan ada biarawati. Mereka berunjuk rasa untuk menggulingkan Marcos dengan menghadapi tank-tank militer yang menghadang mereka. Militer tak berdaya menghadapi barisan perempuan berkerudung yang maju hanya dengan merentang spanduk.
Presiden Gloria Arroyo Macapagal rupanya sekarang juga sedang digoncang. Politisi mau mendorong dia sampai ”lengser”. Tetapi siapa yang bisa mengerahkan massa? Mereka kembali memandang kepada para Uskup dan pasukan religius yang dianggap punya ”power” untuk menggerakkan massa. Ternyata Uskup-Uskup hanya menghimbau pemerintah agar bersih dan adil. Mereka tidak turun ke jalan, juga tidak mengerahkan umatnya untuk itu.
Apakah para pemimpin Gereja itu berpolitik? Memang! Baik Kardinal Sin di zaman Marcos maupun Uskup-Uskup Philipina di zaman Arroyo berpolitik. Dan mereka semua terkena kritik. Kardinal Sin dianggap terlalu jauh masuk gelanggang politik praktis. Sedangkan Uskup-Uskup di zaman Arroyo dikritik sebagai yang berpolitik dari ”menara gading” tanpa ikut merasakan bau keringat masyarakat yang berjuang melawan korupsi. Siapa yang benar?
Politik, kata orang, adalah art, kiat atau lebih tepat seni. Sebagai seni, tentu ada keindahannya; dan sebagai kiat ada ketrampilan dalam mengatur tindakan agar tepat dan bermanfaat. Maka politik adalah seni mendayagunakan komponen-komponen masyarakat, agar mendatangkan manfaat untuk seluruh warga masyarakat. Politik dalam arti itu tentu baik dan indah. Tetapi kalau para politisi justru menyalahgunakan komponen masyarakat hanya untuk mencari kursi dan duit maka politik menjadi buruk dan busuk. Semua warga masyarakat punya hak politik untuk membetulkan arah permainan politik agar tetap terfokus pada kebaikan warga masyarakat seluruhnya. Juga orang-orang Gereja, termasuk para Fransiskan, punya hak untuk itu, lebih-lebih untuk mengarahkan para politisi kepada kepentingan warga masyarakat yang paling tidak berdaya.
Pertanyaannya ialah cara manakah yang boleh dipakai? Menyerukan moral politik? Menggerakkan massa? Menebar spanduk dengan iringan yel-yel tolak itu, turunkan itu? Khusus untuk biarawan-biarawati, pertanyaannya ialah cara mana yang sesuai dengan panggilan hidup mereka?
Cara apa pun yang dipakai, kalau tujuannya untuk menjamin tercapainya kesejahteraan masyarakat kecil, tindakan politik kita pasti baik. Untuk itu, para Fransiskan harus menyerukan moral politik, bahkan boleh turut berjemur diri di Bundaran Hotel Indonesia untuk menentang politisi yang korup.
Tetapi kalau suara politik kaum religius hanya untuk pamer kuasa atau, lebih buruk lagi, merebut kuasa, aksinya tidak lagi mengungkapkan panggilannya. Dan ancaman itu ada, bukan dari polisi atau dari Badan Intelijen Negara (BIN), tetapi dari diri kita sendiri. Mereka yang sekarang tampil sebagai pendekar HAM sedang naik daun. Dengan klaim bahwa suara mereka adalah “voice of the voiceless”, mereka mudah mendapat sponsor untuk menyebarkan suaranya melalui berbagai media sampai ke dunia internasional. Karena itu mereka mempunyai kekuatan, memiliki “power” yang membuat para penguasa takut dan gentar.
Itulah ancaman pertama bagi orang Gereja yang terjun di gelanggang politik. Mereka mendapat “kuasa”. Padahal kuasa dan kekorupan bersahabat akrab. Orang yang punya kuasa gampang melorot menjadi bejat. Ancaman itu menjadi kenyataan kalau kekuasaan didukung popularitas yang mendatangkan arogansi yang membuat telinga orang menjadi tuli sehingga tidak lagi mampu mendengarkan orang lain.
Ancaman kedua ialah perpecahan. Politik gampang menjadi kekuatan yang membawa perpecahan. “Kita” terbagi menjadi “aku” – “kau” dan “kami” – “kita”. Maka mereka yang merasa dipanggil sebagai pembawa damai patut waspada. Sebab menjadi pembawa damai dan sekaligus pembawa perpecahan rasanya sukar dipadukan, walaupun belum tentu jahat.
Ancaman ketiga dan paling serius ialah pendangkalan hidup keagamaan kita. Semarak penampilan agama dalam gelanggang politik bisa membuat agama kelihatan relevan dan bermakna. Tetapi agama bukan hura-hura. Nasihat-nasihat Injil yang mau dijadikan pedoman hidup kaum religius bukanlah nilai-nilai yang bisa meresapi orang melalui unjuk rasa dan unjuk kuasa. Semakin kuat dan kuasa penampilan luar kita, kita cenderung mengukur mutu hidup kita dari “aspek kulitnya dan bukan isinya” dengan akibat hidup kita menjadi dangkal.
Apa yang kita butuhkan untuk tidak jatuh dalam bahaya itu? Keheningan! Kita perlukan keheningan agar kita bisa menemukan tempat berpijak dalam lubuk hati kita sendiri. Dari sanalah memancar mata air keadilan dan damai yang tidak bisa dihasilkan oleh ribut-gaduh dan hura-hura gelanggang politik.

No comments:

Post a Comment

Link Teman-Teman