MARKETISASI PENDIDIKAN
Sdr. Darmin Mbula, OFM
Dalam era globalisasi ekonomi kapitalis, politik pendidikan cenderung menuju kepada marketisasi (kapitalisme), komodifikasi dan komersialisasi. Arah dan isi pendidikan sekolah dilihat sebagai aset dalam rangka proses perolehan finansial. Dalam konteks politik pendidikan di Indonesia, hal ini terjadi dengan praktek liberalisasi dan privatisasi pendidikan secara sistematis yang dilegalisasikan melalui sejumlah dokumen dan teks-teks kebijakan pendidikan nasional seperti UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional , UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, RUU BHP dan Kepres No. 77/2007 tentang Komoditas yang tertutup dan terbuka. Dampaknya adalah pendidikan semakin mahal dan nyaris tak terjangkau oleh masyarakat miskin.
Demokrasi yang sehat dan kuat pada tingkat nasional membutuhkan warga masyarakat yang kuat di tingkat lokal. Pendidikan semestinya menjadi jembatan bagi proses demokratisasi bagi bangsa dan negara di dunia. Oleh karena itu, pemerataan pendidikan harus diupayakan secara serius dan sistematis.
Pertanyaannya adalah apakah politik pendidikan neoliberal yang melegitimasikan liberalisasi pendidikan dapat membentuk warga negara yang demokratis dan menjamin kesejahteraan umum serta perdamaian dunia? Ketika sekolah berubah menjadi pasar (kapitalisme global), apa peran strategis kita sebagai fransiskan dan fransiskanes yang menyelenggarakan sekolah-sekolah dengan ribuan subyek didik di seluruh persada Nusantara?
Politik Pendidikan Neoliberal: Marketisasi Pendidikan
Politik pendidikan neoliberal lahir dari globalisasi ekonomi kapitalis. Globalisasi ekonomi adalah proses di mana barang-barang, jasa, investasi, tenaga kerja dan informasi mengalir secara bebas lintas batas-batas nasional dengan tujuan utama untuk mengakumulasi modal secara maksimal. Kapitalisme global meliputi komodifikasi semua jenis usaha manusia untuk menghasilkan nilai dan profit yang surplus. Korporasi transnasional merupakan lingkaran utama di mana nilai surplus diakumulasi sebagai keuntungan yang besar. Hal itu terjadi melalui mekanisme pasar bebas (marketisasi).
Alan Wolfe mengamati bahwa ada mekanisme pasar dalam pendidikan di sekolah. Para siswa merasa diri sebagai pembeli dan para guru di sekolah merasa diri sebagai penjual komoditas. Implikasi marketisasi untuk masa depan pendidikan ialah bahwa jasa pendidikan dijadikan sebagai komoditas yang bisa diperjual-belikan demi keuntungan yang sebesarnya-besarnya bagi pemilik modal. Helen Raduntz mengungkapannya bahwa marketisasi pendidikan dalam ekonomi kapitalis tidak berkaitan dengan kualitas pendidikan atau dengan kepeduliaan sosial, etis dan keadilan, tetapi berkaitan dengan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya (M W Apple ed., Globalizing Education, Poicies, Pedagogies, & Politics, 2007).
Dalam proses marketisasi, pendidik dimarginalisasi dalam kemurahan hati para pelatih (trainers) dan manager bisnis. Pembelajaran di ruang kelas telah menjadi otomatis melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Pengetahuan pendidik (guru dan dosen) dikomodifikasi dan dipaketkan untuk online learning. Kursus-kursus kemanusiaan yang nilai pasarnya rendah disingkirkan sebagai model instrumental. Bagi Noble, kecenderungan-kecenderungan itu menandakan model pendidikan yang sungguh-sungguh kapitalis. Akibatnya, terjadi injeksi kompetisi dalam lembaga-lembaga pendidikan, suatu ketidakadilan dalam perlengkapan pendidikan dan suatu kencenderungan meningkatnya spesialisasi yang sempit. Apa yang ditinggalkan adalah sebuah ”tubuh”yang dipotong-potong, tidak lagi dalam suatu posisi melahirkan banyak gagasan kritis dan kreatif, tetapi melahirkan tenaga kerja yang terampil yang dibutuhkan kaum kapitalis (Noble D., Digital Diploma Mills: The Automation of Higher Education, 2002). Universitas sebagai rumah penuh kuasa untuk melahirkan gagasan merupakan target utama untuk investasi, industri-industri yang berbasis pengetahuan seperti telekomunikasi, komputer, elektronik dan bioteknologi. Karena invetasi ini besar keuntungannya, maka gagasan dan pikiran mereka dilindungi dengan undang-undang copyright dan hak paten,
Pendidikan tidak terlibat secara langsung dalam produksi dan komoditas untuk akumulasi modal tetapi pendidikan terlibat secara tidak langsung sebagai produsen pengetahuan dan tenaga terampil, oleh karena itu pendidikan dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari infrastruktur yang mendukung secara langsung penumpukan modal. Pada titik ini, marketisasi pendidikan memasuki arena politik untuk menyingkapkan ”agitasi” demokratis demi kualitas dan keadilan. Munculnya ketidakadilan yang baru dalam dunia pendidikan sebagai hasil marketisasi membuktikan bahwa ketidakadilan bukan hanya konstruksi teoritis atau sesuatu yang secara subyektif dialami oleh individu, tetapi ketidakadilan mempunyai basis obyektif dalam relasi struktural dari model produksi kapitalis.
Kebangkitan Education-state
Pendidikan neoliberal yang melahirkan marketisasi pendidikan sama sekali tidak mampu membentuk sebuah tatanan dunia baru, sebuah masyarakat yang demokratis yang menjamin kesejahteraan umum dan perdamaian dunia serta keutuhan alam ciptaan. Oleh karena itu, paradigma baru dalam bidang politik pendidikan sangat dibutuhkan, yaitu sebuah konsep education-state untuk mendidik warganya dan peserta didik guna memliliki kemampuan-kemampuan demokratik.
Education-state berkeyakinan bahwa pendidikan adalah hak dasar manusia sebagai manusia. Karena itu pendidikan harus diselenggarakan dengan menjunjung tinggi hak asasi, demokrasi, keadilan dan tidak diskriminasi di tengah kemajemukan bangsa. Model penyelenggaraan pendidikan semacam itu dapat berfungsi untuk mempertahankan demokrasi dan menjamin kesejahteraan umum. Mark Olssen dan John Cood mengingatkan kita bahwa pendidikan merupakan sebuah kekuatan utama untuk merekonstruksi warga negara yang demokratis ( Mark Olsssen dkk, Education Policy: Globalization, Citizenship & Democracy, 2004). Karena itu politik dilihat dari perspektif pendidikan adalah pendidikan untuk demokrasi (education for democracy) dan demokrasi dalam pendidikan (democracy in education). Keunggulan dan pemerataan pendidikan harus diupayakan secara serius dan sistematis sehngga kesenjangan dalam dunia pendidikan bisa diminimalkan dan pendidikan bisa menjadi jembatan bagi proses demokratisasi bangsa.
Held dan McGrew’s menyatakan bahwa pendidikan harus bertujuan mewujudkan demokrasi sosial kosmopolitan global. Dan kita melihat kebangkitan education state sebagai dasar untuk munculnya tatanan dunia baru yang penuh demokratis, adil dan menjunjung tinggi hak asasi serta menghargai nilai-nilai kemajemukan. Dalam konteks globalisasi, kita perlu membiasakan anak-anak memahami eksistensi bangsa dalam kaitan dengan eksistensi bangsa lain dan segala persoalan dunia
Pendidikan demokrasi tidak hanya peduli dengan belajar tentang demokrasi tetapi juga dengan keterlibatan dalam berdemokrasi. Pendidikan demokrasi tidak hanya melalui kurikulum tetapi juga melalui ekstrakurikuler dengan fokus pada pembelajaran langsung dan tidak langsung melalui partisipasi dalam lembaga sekolah, forum komunitas sekolah, dan forum antar sekolah demi relasi pendidikan yang lebih luas. Pendidikan untuk demokrasi yang sungguh-sungguh efektif akan melibatkan transformasi budaya sekolah. Sebagaimana dikatakan oleh Beane dan M. Apple bahwa peningkatan partisipasi pada akar rumput dan sekolah dapat memberdayakan individu dan kelompok yang sampai sekarang dibisu-diamkan secara luas dan menciptakan cara-cara baru dalam hubungan antara dunia real dan masalah-masalah sosial dengan sekolah sehingga sekolah secara integral dihubungkan dengan pengalaman-pengalaman masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Dewasa ini, kita membutuhkan bukan sekedar konsep negara kesejahteraan (the welfare state), tetapi negara harus menjadi suatu negara pendidikan (education state) yang mendidik warganya demi tercapainya kesejahteraan masyarakat (the welfare community). Penulis meyakini bahwa hanya dalam negara pendidikanlah, politik pendidikan menghasilkan kebijakan-kebijakan pendidikan nasional yang menjamin pendidikan demokratis dan demokrasi dalam pendidikan demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Pendidikan di sekolah-sekolah Fransiskan
Pendidikan di sekolah-sekolah Fransiskan tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Peserta didik adalah anak-anak yang unik dan berasal dari berbagai suku, tradisi dan keluarga yang berbeda-beda. Pendidikan di sekolah-sekolah Fransiskan tidak hanya tempat dan ruang kelas untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan, tetapi merupakan pusat pembudayaan dan peradaban manusia yang disinari Kabar Baik (Injil) dengan semangat St. Fransiskus dari Assisi yang sungguh peduli terhadap lingkungan hidup, persaudaraan dan perdamaian, serta solidaritas dengan kaum marginal. Oleh karena itu pendidikan di sekolah-sekolah Fransiskan-Fransiskanes tidak untuk mencari keuntungan finansial yang sebesar-besarnya, apalagi untuk menumpuk modal besar, tetapi merupakan panggilan hidup dan jiwa untuk memenuhi bumi dengan injil, untuk membebaskan orang –orang yang tertindas, miskin dan bodoh.
Agar pendidikan di sekolah Fransiskan-Fransiskanes sungguh-sungguh menjadi sebuah panggilan hidup dan jiwa untuk mencerdaskan dan membebaskan serta menyejahterahkan anak-anak bangsa, maka kita perlu melakukan hal-hal yang strategis sebagai berikut:
Pertama, pendidikan di sekolah-sekolah Fransiskan-Fransiskanes harus benar-benar menjadi gerakan untuk membela dan memihak anak-anak yang miskin dan ’bodoh’. Visi dan misi pendidikan di sekolah-sekolah kita adalah pemihakan terhadap rakyat kecil dan tertindas untuk menciptakan suatu sistem sosial baru yang lebih adil dan demokratis. Sebuah pendidikan yang sungguh-sungguh diperuntukkan guna menyadarkan dan mengentaskan masyarakat miskin dari jeratan struktural yang hegemonik dan pembodohan menuju pada proses pencapaian pembebasan kemanusian. Pendidikan yang memerdekakan dan mampu memberikan pencerahan bagi semua manusia. Oleh karena itu sekolah-sekolah yang kita layani terbuka lebar-lebar bagi mereka yang termarginalisasi. Sekolah –sekolah kita perlu meningkatkan solidaritas dan kerjasama antar yayasan dan teraket kita.
Kedua, pendidikan adalah proses bertumbuh bersama dalam nilai dan rahmat ( value and grace) Pendidikan menumbuh-kembangkan peserta didik untuk menjadi pribadi bagi yang lain. Pendidikan di sekolah-sekolah kita harus memekarkan potensi peserta didik bukan untuk bersaing tetapi untuk bekerjasama, untuk bertanggungjawab dan peka terhadap sesama dan lingkungan hidup di sekitar mereka. Tugas pendidikan Fransiskan adalah humanisasi kehidupan. Pendidikan sebenarnya adalah sebuah proses bertumbuh bersama dengan dan ke arah makna yang tidak lain dari pada bertumbuh dalam nilai dan rahmat.
Ketiga, pendidikan di sekolah-sekolah kita berbasis holistik dan berorientasi pada kepedulian terhadap lingkungan hidup di sekitar kita. Keberhasilan pendidikan saat ini hanya didasarkan pada besarnya jumlah lulusan yang terserap di lapangan industri. Pendidikan dipakai sebagai instrumen untuk melahirkan kuli-kuli bagi sektor industri, bukan sebagai proses pencerdasan, pendewasaan masyarakat. Reduksionisme pendidikan sebagai lembaga kursus keterampilan itu bertolak dari pandangan bahwa pendidikan merupakan instrumen bagi penyiapan tenaga kerja industri atau untuk ekonomi global, sehingga ukuran keberhasilan pendidikan terletak pada terserap pada ekonomi global. Bahaya dari pandangan ini adalah mengasingkan peserta didik dari lingkungan alam sekitar, lingkungan sosial maupun lingkungan budayanya. Sekolah-sekolah yang dilayani Fransiskan janganlah terjebak pada reduksionisme ini, tetapi mengembangkan pendidikan yang holistik. Pendidikan lebih sebagai proses untuk tumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan perkembangan jiwa serta karakter anak itu sendiri.
Keempat, pendidikan di sekolah-sekolah Fransiskan –Fransiskanes harus membuat peserta didik untuk sadar diri sebagai warga bumi. Pendidikan di sekolah-sekolah kita harus menuntun ke antropo-etika (etika manusia), mampu membentuk suara hati peserta didik yaitu suara hati antropologis; suara hati ekologis; suara hati warga bumi dan suara hati spiritual akan kondisi manusiawi. Pendidikan kita juga hendaknya mencakup perkembangan terpadu antara otonomi individu, partisipasi kelompok dan kesadaran sebagai bagian umat manusia. Oleh karena itu pendidikan perlu menyadarkan peserta didik akan keberdaan kita sebagai warga bumi untuk berdamai dan bersahabat dengan bumi.
Kelima, Pendidik (guru) di sekolah-sekolah Fransiskan-Fransiskanes bukan hanya tugas profesi tetapi sungguh-sungguh sebagai panggilan jiwa. Iming-iming komisi dari pelbagai industri telah menjadikan profesi guru dilihat sebagai broker dari industri pariwisata, industri penerbitan, industri tekstil, industri sepatu dan lain sebagainya. Posisi ekonomi guru tidak pernah kaya dengan bertindak sebagian broker industri, tetapi peran broker-nya membuat pendidikan menjadi rusak dan profesi guru menjadi rendah, terpuruk. Peran guru sebagai broker juga telah mereduksi fungsinya sebagai pendidik yang seharusnya mencerdaskan, membuat kritis dan mendewasakan murid. Oleh karena itu pendidik di sekolah-sekolah Fransiskan-Fransiskanes bukanlah broker-broker, tetapi guru sebagai panggilan hidup dan jiwa untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Headline Majalah PERANTAU
Pencarian Lokal

Custom Search
Titipan Link Teman
Saturday, May 2, 2009
FOKUS
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment