Headline Majalah PERANTAU

Pencarian Lokal

Custom Search

Titipan Link Teman

Saturday, May 2, 2009

CERPEN

PESAN TERAKHIR
Angela Marici, FMM



Kriiiing..kriiiing...kriiing........……Kring….
”Haloooo…,dengan Fery di sini ‘met siang…”
“Hai, Fer, ini aku, Ayu”, dengan nafas terengah-engah. “Ada kabar buruk untukmu “.
“Kabar buruk…., kabar buruk apa?”,tanya Fery dengan suara menekan dan mulai terasa jantungnya berdetak kencang. Ia berharap Ayu hanya menggodanya saja, tetapi dari suaranya sepertinya ada sesuatu yang serius yang mau disampaikan Ayu. “Sorry ya Fer…aku terpaksa memberitahumu by telpon”, jawab Ayu dengan suara setengah nervous. “Akuu..aku..cuman mau memberi kabar kepadamu kalau ….” Tiba-tiba Ayu terdiam, perasaanya kalut, tak tega rasanya harus memberitahu Fery bahwa dia telah kehilangan orang yang dia kagumi dan sekaligus dia hormati. Fery pasti shock kalau kuberitahu pastor Fransiskan itu telah meninggal dunia semalam, ditabrak lari oleh sebuah mobil buggy yang berlari kencang menghindari lampu merah. Apalagi, karena Pastor Fransiskan itu, Fery telah banyak berubah selama tiga tahun belakangan ini. Mereka menjadi sahabat yang sangat akrab hingga Fery selalu menyapanya dengan panggilan sayangnya “Father”. Bagi Fery, pastor tua asal negeri kanguru itu adalah tokoh inspiratifnya di zaman edan ini.

“Haloo…Ayu….kenapa diam, kabar buruk apa….? Kamu jangan bikin aku penasaran dong, aku sahabatmu. Aku siap mendengarkan kabar apapun, bahkan yang terburuk sekalipun.”
“Oke....Fer,”jawab Ayu dengan suara yang lebih tenang dan hati-hati. “...Father Nasarius-mu meninggal dunia semalam, beliau ditabrak”, jelas Ayu pelan.
“Apaaaa...O...tidaaaak. Aku pasti salah dengar Ayu! Kamu pasti bohong. Aku tahu hari ini tanggal 1 April dan itu tidak berarti kamu harus bohong seperti ini,”teriak Fery keras. “ ini benar Fer, jenazahnya sudah berada di gereja St. Antonius,” tambah Ayu dengan suara lebih lembut lagi. Misa requiem Pkl.12.00 siang. Segera datang ya Fer, aku tunggu kamu di sana.

********
Hampir satu tahun lamanya, setiap akhir pekan kubur Father Nasarius menjadi acara kunjunganku. Waktu yang cukup panjang untuk bergulat menerima kenyataan kalau dia telah dipanggil selamanya. Kalau ia telah pergi cuti abadi bersama sang kekasihnya di Surga. Aku selalu saja mengenangnya. Ia telah meletakkan satu memo kecil -sebuah catatan kaki di sudut hatiku-. Ada sekian banyak hari telah kami lalui bersama. Bulan-bulan dan tahun-tahun yang indah telah kami lewati dan setiap perjumpaan selalu saja ada yang menggores dan menggugah hati nuraniku dan meningkatkan cita rasa iman katolik di dalam hatiku. Father Nasarius, sosok yang selalu menampilkan matahari dikala hatiku gelap berawan. Ia tak pernah bosan untuk memapahku bila aku jatuh dan jatuh lagi dalam lembah keputusasaan. Kala lalulintas pikiranku macet ia selalu membimbingku untuk menemukan lampu hijaunya. Mengenangnya adalah adalah bagaikan memiliki sebuah kaset rekaman. Kapan dan di mana pun aku bisa memutarnya di kepalaku. Ia pernah mengajariku untuk untuk mengalami cinta persaudaraan dan kekeluargaan di dalam sebuah panti asuhan. Aku menemukan kecintaannya yang besar pada mereka yang tidak mengalami keutuhan rumah tangga seperti yang aku alami. Ketika kutanya apa alasannya hingga Father melakukan semuannya itu, “Apakah karena jadual ataukah sebuah keharusan sebagai seorang Fransiskan?” Jawabannya selalu sederhana dan tanpa nada gusar,”Semua untuk Yesus. Kita dipanggil untuk hidup sebagaimana Yesus hidup”. Sungguh jawaban yang tidak bertele-tele. Banyak hal yang ku-pelajari dari padanya bukan saja yang keluar dari perkataannya tetapi juga dari tindakan yang penuh kesederhanaan yang dibaluti rasa cinta yang tulus. Semangat kerja keras dan kerendahan hati, sangat memancar kuat dari dalam dirinya. Bukan suatu tindakan yang dibuat-buat.

Sore itu rupanya perjumpaan yang terakhir di pendopo pastoran, sebelum maut menjemputnya. Saat itu aku bertemu dengan Father hanya untuk sekedar sharing akan ketertarikanku pada hidup yang digulatinya dan identitasnya sebagai seorang Fransiskan. Ketika berjalan hendak pulang, ia merangkul pundakku dengan hangat seperti seorang ayah dan berbisik, “Fery, aku tak punya sesuatu yang istimewa untukmu. Ini ada kalung Tau untukmu, memang kelihatannya sudah usang, tapi.... ini telah menjadi saksi bisu akan perjalanan dan perjuanganku selama lima puluh tahun sebagai seorang Pastor dan religius Fransiskan. Bagiku orang yang punya hati untuk mencintai yang pantas memakai kalung Tau, dan kau telah pantas untuk memakainya. Cintai apa saja yang ada di muka bumi ini termasuk yang paling dekat denganmu yaitu kelemahan dan kerapuhanmu. Kau tak mesti masuk biara Fransiskan untuk menghayati semangat kefransiskanan. Tetapi bukan berarti engkau Fransiskan tulen hanya dengan memakai kalung Tau ini, kalau ternyata hidup, perkataan, dan tingkah lakumu tidak mencerminkan pribadi yang Fransiskan.”, katanya sambil menepuk pundakku. “Kenakanlah kalung Tau ini, sebagai ikon yang mengendalikan seluruh perjalanan hidup dengan segala keinginanmu yang tidak beraturan. Lakukanlah segala sesuatu yang benar dan baik dengan hati yang penuh cinta. Saya yakin dan percaya kau tak akan kembali lagi ke duniamu yang dulu. Untungnya kau belum terlalu jauh terjerumus dalam dunia obat-obat terlarang itu. Tak ada kata terlambat untuk bertobat dan berubah”. “Fery, kau anak yang baik. Jalan hidupmu masih membentang luas ke depan. Apapun pilihan hidupmu kelak lakukan yang terbaik”. “Aku selalu mendoakanmu. Usiaku sudah lanjut dan aku tak bisa mendampingimu terus. Berdoalah bila kau mengalami kesulitan dan pandanglah kalung Tau ini bila hatimu mulai menyesatkan engkau pada hal-hal yang tidak berguna,” pesannya lembut. “Father, terima kasih ya,” kataku sambil mengangguk pelan.

Pagi ini, di dalam kamarku tidak sadar aku meneteskan air mataku mengingat pesan terakhir Father. Father tidak pernah memaksaku tetapi selalu berharap agar aku melakukan yang terbaik setiap harinya. Kulihat mataku di cermin yang memerah karena menangis. Kubasuh lagi mukaku di wastafel yang ada di sudut kamarku. Tiba-tiba kudengar ada yang mengetok halus di pintu kamarku. Tok ...tok..tok..”Siapa?” jawabku pelan sambil melap mukaku. “Selamat pagi Pater Fery, maaf saya ini Frater Edo, hanya mau mengingatkan Pater bahwa Misa perayaan Panca Windu hidup Imamat Pater akan diundur sepuluh menit, karena Mgr. Alex masih dalam perjalanan”. “Oke...terima kasih Frater atas infomasinya, saya akan tunggu di samping sakristi”, jawab Pater Fery tanpa membuka pintu kamarnya. “ Terima kasih Father, untuk semua cintamu yang memekarkan hidup panggilanku,” ucap Pater Fery dengan perasaan bahagia.

No comments:

Post a Comment

Link Teman-Teman